
Oleh Muhammad Fawaid, seorang akademisi pemerhati sosial dan ekonomi, dosen di Institut Sains dan Teknologi NU (STINUBA) Denpasar, yang juga Katib Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Bali. Kini aktif menciptakan konten melalui akun Tiktok @m..fawaid.al.
Seruput dulu kopi hangatmu, Bli...
Sebab topik satu ini sering bikin dahi orang Indonesia berkerut seperti kertas nota warung: redenominasi rupiah kebijakan yang selalu muncul, tenggelam, muncul lagi, lalu nongol lagi di 2025 lewat PMK Nomor 70 Tahun 2025.
Jadi, apa sih redenominasi itu?
Bayangkan, jika ente punya uang Rp10.000. Setelah redenominasi, tiga angka di belakang hilang, tapi nilai si uang tetap sama. Jadi Rp10.000 --> Rp10. Roti harga Rp10.000? Jadi Rp10.
Mirip potong kuku: kukunya hilang, jari tetap utuh.
Dan ingat: redenominasi beda dengan sanering. Sanering itu pemotongan nilai uang yang bikin warga di 1959 kelimpungan karena uang 1.000 tiba-tiba tinggal senilai 100. Redenominasi tidak begitu: nol hilang, daya beli tetap.
Kenapa pemerintah kok ngejar-ngejar redenominasi? Karena Indonesia pengen mata uangnya tampil lebih rapi, efisien, dan tidak malu kalau dibandingkan negara lain di meja rapat internasional.
Misalkan diplomat Indonesia berkata: "Harga makan siang kita 50.000."
Diplomat negara lain mungkin nyengir, "Wah, mahal ya?"
Padahal itu cuma ayam geprek plus es teh. Dengan redenominasi, tampakannya lebih elegan: Rp50.000 → Rp50. Dan US$1 yang sekarang Rp16.300 jadi Rp16,3. Rapi. Ringkas. Tidak bikin pusing Excel.
Nol Berkurang, Martabat Bertambah

Berikut ini beberapa kelebihan redenominasi:
Transaksi Lebih Ringkas, Akuntansi Tidak Lagi Menangis
Toko, perusahaan, bank semua bakal hepi. Tidak ada lagi angka sampai belasan digit vanq bikin kalkulator minta cuti.
Kredibilitas Rupiah Naik Level
Digit lebih pendek itu penting secara psikologis. Mata uang kelihatan "lebih bernilai", lebih setara dengan negara tetangga.
Kalau rupiah bisa ngomong, mungkin dia bilang: "Aku bukan lemah, cuma digitku terlalu banyak."
Sistem Administrasi dan IT Lebih Hemat
Data, server, sistem bank semua lebih efisien. Nol hilang, kapasitas lega.
Psikologis Pasar Lebih Adem
Investor lebih nyaman melihat angka yang tidak sepanjang jalan kenangan.
Namun kekurangan Redenominasi aadalah tantangan yang tak bisa dianggap enteng:
Risiko Inflasi Kecil-Kecil Nakal
Ini yang bikin pemerintah harus hati-hati. Pedagang bisa menaikkan harga diam-diam lewat pembulatan.
Yang asalnya Rp1.950 → seharusnya Rp1,95 setelah redenominasi → eh dibulatkan jadi Rp2.00.
Masyarakat: "Loh kok naik?" Pedagang: "Ini pembulatan, Kak."
Biaya Sosialisasi
Tidak Murah Cetak uang baru, edukasi masyarakat, ubah sistem IT semuanya butuh duit. Banyak pula.
Kekhawatiran Masyarakat: Takut Kejadian 1959 Terulang
Banyak orang masih trauma dengan kata "pemotongan nilai uang". Padahal redenominasi bukan itu. Tapi kalau tidak tersosialisasi dengan benar, bisa bikin panik massal.
Butuh Waktu Transisi Panjang
Uang lama dan uang baru harus hidup berdampingan dulu. Dan kita tahu: butuh waktu lama bagi rakyat untuk pindah dari "Rp10.000" menjadi "Rp10" tanpa salah hitung.
Keberhasilan semua ini bergantung pada satu hal: stabilitas ekonomi. Kalau inflasi lagi lari sprint, redenominasi malah bisa bikin kacau.
Baca Juga: Redenominasi Rupiah dan Currency Substitution
Redenominasi itu seperti membersihkan kamar: terlihat sederhana, tapi kalau tidak dilakukan dengan perencanaan, bisa makin berantakan.
Jika dilakukan dengan tepat, ia membuat rupiah tampil lebih gagah, lebih efisien, dan lebih siap bersaing di panggung global.
Intinya, bukan soal menghilangkan nol, tapi memastikan semua orang tetap paham nilainya baik nilai uang, maupun nilai kepercayaan kita pada ekonomi negeri sendiri.
Sudah siap kalau nanti beli nasi goreng harganya jadi Rp12?***
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance