Jakarta, TheStance – Video pernyataan Wakil Ketua DPR, Cucun Ahmad Syamsurijal bahwa 'tidak diperlukan ahli gizi' dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan dapat digantikan lulusan sekolah menengah yang diberikan pelatihan singkat menuai kritik dari sejumlah kalangan.
Pernyataan itu disampaikan Cucun dalam sebuah rapat konsolidasi program MBG di Kabupaten Bandung beberapa waktu lalu, tak lama setelah Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) menyatakan bahwa lembaganya kesulitan mencari ahli gizi untuk ditempatkan di dapur umum.
"Tidak perlu ahli gizi. Cocok enggak? Nanti saya selesaikan di DPR," ujar Cucun.
"Nanti tinggal ibu Kadinkes melatih orang. Bila perlu di sini, di kabupaten ini, punya anak-anak fresh graduate, anak-anak SMA cerdas dilatih sertifikasi, saya siapkan BNPS. Program MBG tidak perlu kalian yang sombong seperti ini," terang Cucun.
Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tersebut belakangan meminta maaf atas pernyataannya tersebut, terutama setelah ia panen kritik dan kecaman di media sosial.
Polemik ini kemudian membuka tabir tentang seberapa penting sebenarnya peran ahli gizi di sebuah Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) atau dapur umum MBG.
Serta benarkah lulusan pendidikan gizi yang ada saat ini benar-benar tak sebanding dengan jumlah dapur umum yang kini hampir 15 ribu, seperti yang disampaikan BGN.
Peran Krusial Ahli Gizi

Dokter dan ahli gizi masyarakat, Tan Shot Yen, menyoroti pernyataan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Cucun Syamsurijal yang menilai bahwa Program Makan Bergizi Gratis (MBG) tidak memerlukan tenaga ahli gizi.
Menurutnya, pernyataan Cucun yang menyebutkan bahwa SPPG tidak memerlukan ahli gizi adalah hal yang tidak masuk akal. Ia menilai Cucun tidak memahami profesi ahli gizi.
Tan juga menyoroti ucapan Cucun yang sebelumnya mengatakan bahwa fresh graduate dan lulusan SMA dapat dilatih untuk menjadi ahli gizi.
“Ibarat pilot diganti dengan petugas darat yg dilatih simulasi tiga bulan tahu-tahu menerbangkan pesawat,” ujar Tan dalam keterangannya, Selasa (18/11/2025).
“Dia juga ga paham beda jabatan struktural dan fungsional,” tambahnya.
Tan menjelaskan, bahwa untuk menyajikan makanan yang benar-benar bergizi dibutuhkan tenaga profesional yang memiliki kompetensi ilmiah dalam penyusunan dan penyajian makanan.
Menurut Tan, kendati tugas para ahli gizi terkesan "hanya urusan makanan", dampak pekerjaan mereka sejatinya sangat serius.
Ahli gizi berperan penting dalam menyusun menu sesuai kebutuhan anak sekolah, melakukan perhitungan gizi secara akurat, menjaga kualitas serta keamanan pangan, hingga mengawasi implementasi menu di lapangan.
Selain itu, ahli gizi juga berfungsi memberikan edukasi gizi kepada orangtua dan siswa, serta melakukan monitoring terhadap dampak Program Makan Bergizi (MBG).
Tan menegaskan, jika MBG dijalankan tanpa supervisi ahli gizi, maka menu berpotensi tidak sesuai kebutuhan anak, porsi tidak memenuhi standar gizi seimbang, serta risiko keamanan pangan dan kontaminasi dapat meningkat.
"Jika ahli gizi tidak diisi tenaga dengan keilmuan gizi, porsi dan kandungan gizi hanya mengira-ngira, sedangkan ahli gizi menghitung sampai ke gram dan metode masaknya," kata Tan.
"Bahan pun bisa diganti seenaknya dan cara masa bisa tidak sesuai standar." tambahnya.
Ketiadaan ahli gizi juga dapat menyebabkan edukasi gizi menjadi salah kaprah, dampak program tidak terukur, serta masalah gizi tidak mengalami perbaikan meski program tersebut mengusung konsep makan bergizi.
"Program MBG, kalau 'B'-nya masih bergizi, maka harus dikelola oleh ahli gizi," ujar Tan.
"Karena ahli gizi itu dapat memastikan bahwa manfaat MBG benar-benar makanan yang bergizi yang sampai ke anak-anak Indonesia." pungkasnya.
Menentukan Standar Menu

Senada, Ketua Umum Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi), Doddy Izwardy, menegaskan bahwa penyediaan makanan bukan sekadar memasak dan membagikan paket konsumsi.
“Pemenuhan gizi itu harus ada standar. Standar itu mengacu pada angka kecukupan gizi yang dianjurkan. Dari situlah perencanaan menu dibuat,” ujarnya.
Apalagi, setiap kelompok penerima, anak sekolah, ibu hamil, ibu menyusui, atau kelompok rentan lain, membutuhkan perhitungan gizi yang berbeda.
"Angka kecupan gizi yang dianjurkan itu adalah angka yang untuk orang sehat sebenarnya. Sehingga ahli gizi yang mengetahui bagaimana kecupan gizi yang dianjurkan. Nah, dari angka gizi yang dianjurkan itu bisa membuat perencanaan menu,” ujar Doddy.
Ia menambahkan, perumusan menu harian, mingguan, atau siklus sepuluh hari merupakan proses teknis yang hanya dapat dilakukan oleh tenaga yang memiliki kompetensi ilmu gizi.
“Misalnya jika nanti kalau bergeser kepada dewasa, atau lansia, atau anak sekolah. Nah, itu perlu diperhatikan di sana. Nah, kompetensi itu tidak dimiliki oleh tenaga kesehatan lainnya,” tegas Doddy.
Kendati demikian, Doddy tidak menolak adanya pelatihan terkait gizi bagi profesi-profesi lain di sektor kesehatan di tengah keterbatasan ahli gizi.
Sebab, idealnya setiap SPPG mempunyai dua ahli gizi, tetapi mencari satu ahli gizi saja masih sulit.
Salah satu kompetensi yang harus dimiliki adalah menghitung angka kandungan gizi dalam makanan untuk memastikan menu yang disajikan mampu menurunkan stunting.
Selain itu, ahli gizi juga punya peran mengawasi mutu bahan, pemilihan pangan, serta daya tahan bahan makanan.
“Nah, itu sebenarnya bisa dilakukan. Tapi kan itu harus dibekali dengan pelatihan. Karena kan MBG ini sebenarnya kan sasaran besarnya itu adalah menurunkan stunting,” tambahnya.
Oleh sebab itu, Persagi telah meneken kesepakatan dengan kementerian dan lemabga terkait untuk memfasilitasi rekrutmen tenaga gizi.
BGN Kesulitan Cari Ahli Gizi

Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana mengakui, ahli gizi punya peran penting untuk memanfaatkan sumber daya lokal yang bakal diolah menjadi menu MBG.
Namun, BGN kini menghadapi tantangan baru yakni kesulitan merekrut ahli gizi.
"Tadinya ahli gizi agak sulit mencari pekerjaan, sekarang menjadi salah satu profesi yang langka. Sehingga tadi Komisi IX memberikan saran agar BGN mencari jalan keluar atas kelangkaan tersebut," kata Dadan beberapa waktu lalu.
Per November 2025, BGN telah membuka 14.773 SPPG di antero Indonesia dan menargetkan penambahan menjadi 25 ribu hingga akhir tahun.
Namun, pertumbuhan dapur umum itu tidak berbanding lurus dengan jumlah ahli gizi yang tersedia.
SPPG yang kini terus bertambah membutuhkan tenaga terlatih dalam perencanaan menu, pengawasan mutu, hingga pembacaan antropometri keahlian yang selama ini melekat pada tenaga gizi profesional.
Sebagai solusinya, BGN akan membidik profesi terkait lainnya untuk menggantikan ahli gizi di dapur-dapur MBG.
Saat ini, BGN mencari orang-orang lulusan program studi kesehatan masyarakat hingga teknologi pangan untuk bekerja di dapur MBG
"Dan mungkin kita sudah akan mengarah kepada profesi lain, atau keilmuan lain yang masih terkait, contohnya (lulusan) kesehatan masyarakat dan juga teknologi pangan atau pengolahan pangan," kata Dadan.
Stok Ahli Gizi Cukup

Guru Besar Ilmu Gizi Institut Pertanian Bogor Hardinsyah meyakini bahwa Indonesia punya cadangan tenaga gizi yang sangat besar.
Saat ini, ia menyebut, setidaknya ada 233 program studi gizi yang tersebar di kampus-kampus se-Indonesia dengan jumlah lulusan mencapai 11.000 orang per tahun.
“Jumlah dapur SPPG bahkan belum mencapai itu. Kalau target 30.000–40.000 dapur, seharusnya dalam dua tahun bisa terpenuhi,” kata Hardinsyah.
Oleh karena itu, ia menilai masalah sesungguhnya bukan pada ketersediaan tenaga gizi, melainkan ketiadaan arus informasi yang jelas.
Lulusan gizi tidak mengetahui di mana SPPG dibangun, berapa kebutuhan tenaga, dan siapa yang harus dihubungi.
“Itu gap informasinya. Di Papua, Maluku, Aceh, berapa dapur dibangun Januari? Siapa rekrut? Banyak yang tidak tahu,” katanya.
Senada, Ahli Gizi Tan Shot Yen juga tak sepakat jika ahli gizi di Indonesia dikatakan terbatas.
Ia menyebut, ahli gizi sebenarnya sudah tersedia di hampir kabupaten, tapi mereka mengaku enggan terlibat dalam program MBG.
Alasannya pun beragam, salah satunya perkara kontrak kerja atau jam kerja yang tidak jelas sebagai salah satu penyebab keengganan lulusan pendidikan gizi bekerja di SPPG.
"Banyak sekali yang mengeluhkan overtime, jam kerja yang tidak jelas," ungkap Tan.
Adapula kasus pimpinan SPPG yang disebut Tan kadang bersikap semena-mena dalam mengganti menu.
"Kalau ngadepin yang begini terus, ya, selamat tinggal." ujarnya.
Menyiapkan Strategi perekrutan Ahli Gizi

Guru Besar Pangan dan Gizi IPB Prof Ali Khomsan menilai pemerintah perlu menyiapkan strategi perekrutan ahli gizi secara matang agar Program MBG dapat berjalan optimal.
Menurutnya, kebutuhan tenaga gizi dalam jumlah besar tidak bisa dipenuhi tanpa pemetaan dan perencanaan lintas sektor.
“Kita juga tahu bahwa lulusan sarjana gizi atau diploma gizi ini sebagian bekerja di tempat lain yang bukan MBG. Oleh karena itu, perlu perencanaan atau strategi yang baik untuk bagaimana bisa merekrut para ahli gizi sesuai dengan yang tersedia,” ujarnya.
Ali menekankan pentingnya pemetaan menyeluruh mengenai sebaran tenaga gizi di Indonesia.
Pemerintah dinilai perlu mengetahui daerah mana yang memiliki kekurangan maupun surplus tenaga gizi agar penempatan personel SPPG dapat dilakukan secara efektif.
Selain pemetaan tenaga yang sudah ada, pemerintah juga harus memperhitungkan kapasitas lembaga pendidikan gizi. Ia menyoroti perlunya data mengenai kampus mana saja yang menghasilkan lulusan gizi serta berapa banyak jumlah lulusan yang siap memasuki dunia kerja setiap tahunnya.
“Dengan begitu, kita bisa mengetahui populasi ahli gizi yang baru lulus dalam beberapa bulan ke depan dan peluang mereka direkrut untuk program MPG,” kata Ali.
Ia menambahkan, pemenuhan kebutuhan ahli gizi tidak bisa dilakukan oleh BGN semata. Diperlukan sinergi lintas sektor antara lembaga pendidikan, pemerintah, dan asosiasi profesi seperti Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi).
“Ini semuanya perlu sinergi dari berbagai sektor, baik pendidikan tinggi yang menghasilkan lulusan gizi, BGN sendiri, dan juga asosiasi ahli gizi,” tuturnya.
Tanpa strategi rekrutmen dan distribusi yang terencana, sejumlah pakar memperkirakan akan muncul kelangkaan tenaga gizi yang berdampak pada kualitas layanan gizi di lapangan.
“Nah terkait dengan kelangkaan, maka ini adalah sesuatu yang mungkin atau pasti akan terjadi, karena dengan hampir 30.000 SPPG, maka kalau setiap SPPG memerlukan satu ahli gizi, maka akan diperlukan sejumlah itu pula tenaga ahli gizi,” katanya. (est)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance