Jakarta, TheStance - Tak seperti sebagian artis yang banting stir ke politik praktis--dan sayangnya berakhir memalukan dengan terlibat korupsi atau pelanggaran etika, Teuku Jordan Zacky Azwar memilih jalan berbeda: berpolitik tanpa harus berpartai.
Padahal, tawaran menggiurkan berdatangan, mulai dari tawaran fasilitas hingga uang mahar miliaran rupiah, agar dia mau bergabung menjadi kader partai politik (parpol). Namun dia menolak itu semua.
TheStance berkesempatan mewawancarai pria yang akrab disapa Jordan itu di sebuah restoran di bilangan Jakarta Selatan, di sela kesibukannya sebagai pendiri agensi event organizer FriendsHub.
Kisahnya dimulai dari algoritma media sosial.
Pria kelahiran 23 Januari 1983 ini gelisah melihat ada rekan sesama artis yang mengumbar hal privasi, seperti urusan ranjang dan hal-hal personal lainnya, demi meraup lebih banyak pengikut.
“Gue kayak.. anjir segininya harus punya follower. Sementara, gue sangat menutup kesempatan orang untuk terlalu masuk ke dalam kehidupan pribadi gue,” ujar lulusan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) tersebut.
Realita itu membuka matanya, membuktikan bahwa media sosial (medsos) bagaikan pisau bermata dua: bisa bikin bodoh dan di sisi lain juga bisa mencerdaskan. Hal ini berlaku dua arah, baik untuk yang membuat konten maupun yang mengonsumsinya.
“Indonesia ini, yang.. which is gue enggak bisa mengontrol, diserbu dengan tren yang begitu banyak tapi justru membodohi. Gue tidak bisa mengubah semua itu, tapi ya udahlah yang penting gue tidak mengikuti arus,” sambung dia.
Gagal Pura-Pura Tak Tahu
Sayangnya, banyak influencer dengan pengikut banyak justru membuat konten tak bermanfaat dan menyingkirkan aspek adab, demi membuat konten viral yang berujung pada pemasukan dari endorsement.
Di tengah tahun politik, tak sedikit dari mereka yang ikut mendengungkan sebuah narasi politik yang menyesatkan, mengandung unsur hoax dan justru memperunyam persoalan. Padahal, efek buruknya bisa mempengaruhi jutaan rakyat Indonesia.
Penasaran, Jordan pun mempelajari algoritma medsos secara otodidak untuk memahami bagaimana konten semacam itu muncul di beranda banyak orang dan mempengaruhi persepsi publik.
Dari situlah dia belajar soal teknik kreasi konten medsos, dan terdorong untuk membuat konten yang sebaliknya: konten lugas tanpa misinformasi menyuarakan suara hatinya dalam memandang isu kebijakan publik dan kebangsaan.
Konten perdananya yang mengupas tema politik dalam nuansa kebangsaan itu muncul pada Maret lalu, menyikapi soal #kaburajadulu yang diberinya judul "Dongeng Siang Bolong: Suara Si Penumpang Ekonomi Vol I."
“Tadinya mau pura-pura gak tahu, lalu tetap bergerak memberikan yang terbaik sesuai dengan peranku di negeri ini. Tapi setiap hari ada saja ‘prestasi’ yang bikin sadar mungkin yang sebenarnya merdeka adalah mereka yang sudah kabur duluan,” tulisnya.
Dia lalu memberi kritik halus pada pemerintah: "Tapi kalau belum bisa kabur setidaknya belajarlah berenang. Karena kapal ini semakin miring. Kepada para nahkoda kapal saya penumpang ekonomi bertanya: kamu mau bawa kami ke mana?"
"Kami kabur, kau caci maki nasionalisme kami. Kami diam, kapal ini makin miring oleh caramu mengemudi. Terlebih, awak kapal giveaway di mana-mana. Yang teruji kompeten cuma bisa pasrah menunggu ombak menggulung mereka.”
Konten tersebut, lanjutnya, hanya menyampaikan besitan isi hati dan pikiran untuk menjaga kewarasan. "Sebelum kewarasan jadi barang ilegal. Karena pura-pura tuli dan pura-pura buta justru lebih cepat bikin gila.”
Disambut Positif, Pacu Semangat "Berpolitik"
Meski konten perdana Jordan itu tak barbar seperti konten influencer pemburu viral, dan tak menyinggung langsung lembaga atau perorangan, faktanya hampir 130 ribu pengguna medsos memberikan like, dengan ribuan di antaranya berkomentar mendukung.
Dari situlah Jordan membangun milestone untuk aktif menyuarakan aspirasinya mengomentari fenomena politik dan problematika kebangsaan di Tanah Air.
“Responnya di luar dugaan gue. Gue ngerasa waras gue juga terjaga. Mau diterima atau enggak itu urusan belakangan. At least apa yang gue tangkep turun menjadi luapan kegelisahan gue. Ya akhirnya terus sampai sekarang,” ujarnya.
Kini, Dongeng Siang Bolong: Suara Si Penumpang Ekonomi sudah mencapai volume 16. Semuanya bisa dilihat langsung dalam Instagram pribadinya di @teukuzacky.
Jordan juga mengaku gelisah dengan kebijakan publik terkait program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang menyedot hingga 44% dari alokasi dana pendidikan di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026.
Apalagi, pelaksanaanya diwarnai 4.711 kasus keracunan, mayoritas di Pulau Jawa dan Kalimantan. “Katanya makan bergizi, tapi praktiknya banyak yang keracunan. Tidak bergizi, tidak merata, porsinya sedikit, tapi duitnya amat sangat besar.”
Ia menilai anggaran besar itu seharusnya dapat digunakan dengan lebih bijak, terutama untuk memberdayakan perekonomian keluarga miskin yang menjadi sasaran MBG.
“Kalau orang tuanya sejahtera, mereka bisa survive, bisa punya penghasilan yang cukup. Secara tidak langsung, keluarga mereka juga tercukupi gizinya,” ujar Jordan.
Kritik Kebijakan Tak Matang, Minim Pengawasan
Menurut dia, kebijakan sebesar MBG semestinya dipersiapkan dengan matang. Namun, sebagaimana diketahui, program nasional bernilai ratusan triliun rupiah ini bahkan tidak memiliki kajian atau naskah akademik, sehingga terkesan asal jalan dan coba-coba.
“Bayangkan kalau orang tua diangkat perekonomiannya, dikasih kesempatan usaha, dikasih modal. Mereka bisa beli makanan bergizi untuk anak-anaknya, bukan cuma satu kali makan. Sejahtera semua, ekonomi naik,” katanya.
Jordan menilai lemahnya perencanaan dan pengawasan program publik seperti MBG bukan hanya tanggung jawab satu lembaga, melainkan cerminan masalah struktural di pemerintahan secara keseluruhan.
Akibat miskin pengawasan, di tengah minimnya kepedulian publik, sementara influencer memberikan narasi tak lengkap mendukung kepentingan di balik kebijakan-kebijakan salah itu, persoalan pun menggunung hingga memuncak dan memicu demo akhir Agustus.
“Gue mempelajari banyak hal dari situ. Memang, kemarin kerusuhan dipicu oleh DPR, tapi kalau versi gue, DPR hanya jadi pemantik. Yang harus dievaluasi adalah semua pejabat publik dari presiden, menteri, sampai stafnya. Jangan cuma DPR doang,” tegasnya.
Menurut Jordan, kemarahan publik yang muncul belakangan ini hanyalah puncak dari penumpukan kekecewaan terhadap sistem pemerintahan yang gagal menata prioritas.
“Permasalahan ini tuh udah numpuk lama. DPR cuma pemicu. Tapi yang bikin orang gelisah sebenarnya banyak kebijakan yang absurd, program yang enggak jelas, cara berpikir pejabat yang jauh dari realita rakyat,” tambahnya.
Sempat Dilamar Partai
Sikap kritis Jordan di akun medsosnya, yang dipadukan dengan gaya bicara lugas tanpa basa-basi karena terbebani pencitraan, tak hanya menarik perhatian publik melainkan juga sejumlah pengurus parpol.
Dia mengaku sempat ada tiga parpol berbeda yang mendekatinya dan menyodorkan tawaran serius. Mereka kepincut memilikinya sebagai "anak wayang di pertunjukan partainya" alias sebagai kader.
“Yang satu udah keluar angka. Yang satu ngajak meeting berkali-kali, gue enggak pernah datang. Yang satu ngejar-ngejar lewat telepon minta ketemu, gue juga enggak hadir,” kata Jordan mengenang.
Ditanya berapa nilai "uang mahar" yang sempat ditawarkan, dia mengaku nilainya besar untuk ukuran seorang artis.
“Ada. Miliaran,” ujarnya.
Namun semua ajakan itu tak ia tanggapi. Bukan soal angka yang tak sesuai ekspektasi, melainkan karena dia paham benar konsekuensi ketika dia bergabung sebagai kader parpol.
Berkaca pada para artis pendahulu dia yang bergabung di parpol, dia melihat bahwa mereka harus menjalankan perannya sesuai dengan arahan dan aturan ketat parpol, dan harus memenuhi "ekspektasi" pentolan partai jika ingin mendapat peran dan jabatan.
“Gue freedom banget, mungkin karena gue Aquarius kali ya. Gue cuma mau ngelakuin hal-hal yang memang gue percaya, bukan yang disuruh sistem,” ujarnya tegas.
Baca Juga: Memelihara Kebencian; Kisah Abu Jendes dkk
Sebagai informasi, Jordan menempuh pendidikan formal di Bandung, dari SD Negeri Sabang (1988–1994), SMP BPP Bandung (1994–1997) dan SMA Negeri 21 Bandung (1997–2000).
Lulus dari jurusan sinematografi IKJ tahun 2004, dia mengasah wawasan dan pola pikir strategis melalui beberapa pendidikan nonformal di luar negeri, salah satunya melalui program Breakthrough Strategic Thinking di New York University pada 2015.
Ini menjelaskan mengapa selaku artis pencipta konten, pria kelahiran Bandung ini bisa mengomentari kebijakan publik secara bernas dan mengena, berbeda dari artis lain yang memilih mengangkat konten seputar urusan ranjang, gosip, atau skandal. (par)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance