Jakarta, TheStance - Tidak pernah terlintas dalam benak Omar Mwannes Yaghi bahwa dari kamp pengungsiannya di Amman, Yordania, dia akan sampai ke hadiah Nobel.
Pada Rabu, 8 Oktober 2025, Yaghi dan dua ilmuwan lain, Susumu Kitagawa (Jepang) dan Richard Robson (Australia), disebut oleh Akademi Ilmu Pengetahuan Kerajaan Swedia sebagai penerima Hadiah Nobel Kimia 2025.
Mereka mendapat hadiah uang tunai 11 juta Kron Swedia, atau setara Rp19,2 miliiar.
Ketiganya diapresiasi atas kontribusinya dalam pengembangan kerangka logam organik (Metal-Organic Frameworks atau MOF), suatu konstruksi molekuler berpori yang memungkinkan gas dan bahan kimia mengalir melalui celah-celahnya.
Temuan ini dapat dimanfaatkan untuk menangkap karbon dioksida, menyimpan gas beracun, memecah sisa obat-obatan di lingkungan, hingga mengumpulkan air dari gurun.
Terobosan ini awalnya dimulai oleh Robson, yang paling senior dari ketiganya. Saat ini Robson sudah berusa 88 tahun.
Pada 1989, Robson menemukan bahwa ion dari logam seperti tembaga ternyata juga dapat digabungkan dengan ion lain semudah penggabungan ion karbon dan nitrogen. Dengan catatan penggabungan ion di tingkat molekuler ini dikontrol ketat.
Robson menyebut kombinasi buatan berbasis logam ini Metal-Organic Frameworks (MOF).
Yaghi dan rekannya, Kitagawa, melakukan terobosan bersejarah pada 2010 berbasis temuan Robson. Keduanya menemukan bahwa MOF dapat dirancang lebih fleksibel, lebih rasional, dan dimodifikasi menggunakan struktur molekul berpori.
Potensi solutif terobosan ini sangat besar. Basis teoretis yang dibangun Robson akhirnya menemukan pijakan aplikatif lewat penelitian Yaghi-Kitagawa.
Menangkap air dari udara kini bukan mustahil. Di gurun pasir, kombinasi MOF yang disusun Yaghi-Kitagawa dapat menarik molekul air dari udara, hingga berpotensi mengatasi masalah kekeringan.
Desain MOF lain yang memungkinkan misalnya menarik molekul zat beracun dari udara demi kesehatan lingkungan. Kemungkinan aplikasi sangat luas, mencakup polusi hingga emisi rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global.
"Anda dikenal sebagai Bapak Metal-Organic Framework," kata Adam Smith dari panitia Nobel ketika menelpon Yaghi.
Dari Keluarga Pengungsi Palestina
Yaghi sedang berada di bandara menunggu pesawat ketika panitia Nobel menelponnya, memberitahukan bahwa dia, Kitagawa dan Robson, dinobatkan sebagai pemenang Nobel Kimia 2025.
"Saya tercengang, perasaan saya meruap," katanya
Dalam wawancara dengan Adam Smith dari panitia Nobel, Yaghi bercerita kalau dia berasal dari keluarga sederhana. Ayah ibunya adalah pengungsi dari Palestina.
Ayah ibunya tinggal di kamp pengungsi Palestina di Amman, ibu kota Yordania, dan Yaghi lahir di sana 60 tahun lalu ---pada 1965.
"Ayah saya hanya bersekolah sampai kelas 6 SD, sedang ibu saya tidak bisa baca tulis," katanya. “Saya tumbuh dalam keluarga pengungsi. Setiap hari saya berjalan tiga mil ke sekolah, bolak-balik. Saya mengalami kesulitan,” tambahnya.
Kehidupan di kamp pengungsi sangat suit. Yaghi bercerita dia harus bangun subuh untuk membuka kran air yang hanya mengalir beberapa jam dalam satu pekan. Ia juga harus berbagi kamar dengan sembilan saudara kandungnya dan ternak mereka di sebuah rumah tanpa listrik.
“Kami berdua belas orang tinggal di satu ruangan kecil, berbagi ruang dengan ternak,” kenangnya.
Kecintaan pada Kimia
Ketertarikannya pada sains khususnya kimia bermula ketika ia berusia sepuluh tahun, saat berkunjung ke perpustakaan umum di Amman. Yaghi terpaku pada diagram batang dan bola. Dari situlah ketertarikan pada kimia muncul.
Menginjak usia 15 tahun, atas dorongan ayahnya, dia hijrah ke New York. Di sana ia mengasah kemampuan berbahasa Inggrisnya sebelum akhirnya pindah ke State University of New York di Albany pada 1983, dan meraih S1 di bidang Kimia.
Perjalanan akademik Yaghi cukup panjang. Setelah lulus S1, dia memperoleh gelar Ph.D dalam kimia dari University of Illinois, Urbana, dan bekerja sebagai dosen. Dia menjadi profesor kimia di Universitas Michigan dari tahun 1999 hingga 2006.
Lalu pada 2012, Yaghi pindah ke Universitas California, Berkeley, tempat dia mengajar hingga kini.
Selama lebih dari 30 tahun, Yaghi dan rekan-rekannya terus mengembangkan metode baru untuk menggabungkan logam dengan molekul organik guna menciptakan senyawa hibrida.
Yaghi memang bukan peneliti baru di bidang Metal-Organic Frameworks. Sejak 2014, dia sudah menjadi salah satu ilmuwan terdepan di riset senyawa logam tersebut.
Dia juga sudah mengarang beberapa buku terkait kombinasii molekul logam dan molekul organik yang sering jadi rujukan.
Baca Juga: Anas Al-Sharif, Kisah Jurnalis dan Impian Yang Direnggut oleh Bom Zionis
Kabar Yaghi menyabet penghargaan Nobel sampai ke pemimpin di dataran Arab. Tak hanya dianggap sebagai prestasi ilmiah, penghargaan ini juga merupakan simbol harapan.
Raja Abdullah II dari Yordania lewat di akun X nya @KingAbdullahII menyebut bahwa “Orang Yordania mampu membuat perbedaan dimanapun mereka berada,”
Sementara dari Dubai, Mohammed bin Rashid Al Maktoum, Wakil Presiden sekaligus Perdana Menteri Uni Emirat Arab. menyanjung prestasi Yaghi.
Delegasi Palestina di PBB juga mengapresiasi capaian Yaghi. “Pengungsi Palestina juga dapat memenangkan Hadiah Nobel,” kata mereka.
Sebelum meraih Nobel Kimia 2025, Yaghi sebelumya juga telah sederet penghargaan tingkat internasional lainnya.
Misalnya, penghargaan Wolf dalam Kimia pada 2018. penghargaan Internasional Raja Faisal dalam Ilmu Pengetahuan pada 2015, BBVA Foundation Frontiers of Knowledge pada 2017, dan penghargaan Tang, serta Balzam pada 2024. (mhf)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance