Jakarta, TheStance – Selain Soeharto yang diprotes luas usai diberi gelar pahlawan oleh Presiden Prabowo Subianto pada peringatan Hari Pahlawan Senin (10/11/2025), sosok Sarwo Edhie Wibowo yang turut dipahlawankan juga disorot.
Pemerintah menyebut Sarwo Edhie adalah pahlawan perjuangan bersenjata yang memimpin pasukan dalam berbagai pertempuran. Padahal, sejarah menyebut baik Soeharto maupun Sarwo Edhie memiliki catatan hitam hak asasi manusia (HAM).
Keduanya menjadi tokoh sentral pembantaian ratusan ribu, bahkan diduga jutaan, nyawa akibat persekusi tanpa peradilan pasca Gerakan 30 September 1965 (G30S), salah satu lembar terkelam dalam sejarah Indonesia.
Tak hanya menyoal penculikan dan pembunuhan tujuh perwira Angkatan Darat, perstiwa G30S juga memicu aksi kekerasan dan pembantaian besar-besaran pada tahun-tahun sesudahnya.
Pembantaian itu menyasar mereka yang dituding sebagai anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI), yang merembet dengan pembunuhan tanpa pengadilan terhadap kelompok nasionalis dan sukarnois.
Menurut catatan sejarawan, sejak Oktober 1965 hingga Maret 1966, antara 200.000 hingga lebih dari 500.000 orang tewas. Amnesty Internasional menyebut satu juta orang ditahan tanpa proses pengadilan.
Jika proses peradilan itu benar-benar ada untuk para korban, Sarwo Edhie Wibowo patut disorot karena menjadi salah satu pelaku operasi brutal pembantaian massal "kaum kiri" pasca peristiwa G30S.
Duet Maut Soeharto dan Sarwo Edhi

Saat itu, bermodalkan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), Soeharto selaku Panglima Kostrad (Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat), menunjuk Sarwo Edhi sebagai pemimpin operasi penumpasan PKI.
Tanpa ragu, Sarwo Edhie yang berpangkat Komandan RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) mengiyakan misi yang diperintahkan. Dia menyatakan berpihak pada Soeharto.
Kabar ini diteruskan Kolonel Herman Sarens kepada Soeharto. Kesigapan Sarwo Edhie juga ditengarai dibakar oleh api amarah atas kematian Ahmad Yani, selaku teman dan pelindungnya di Angkatan Darat, yang juga dibantai di peristiwa G30S.
“Ini merupakan awal kerja sama Soeharto-Sarwo yang kemudian menjadi duet yang sangat klop selama aksi pemberantasan PKI,” ungkap Probosutedjo, adik Soeharto, dalam memoarnya, Saya dan Mas Harto karya Alberthiene Endah.
Hubungan Sarwo Edhie dengan Ahmad Yani dimulai pada tahun 1959. Saat itu Ahmad Yani merekomendasikan Sarwo Edhie menjadi Komandan Sekolah Para Komando Angkatan Darat atau SPKAD menggantikan Kapten Wijogo Atmodarminto.
Karir militer Sarwo Edhie makin melejit ketika Ahmad Yani--saat itu Menteri Panglima Angkatan Darat--menunjuk dia sebagai Kepala Staf RPKAD. Pada Februari 1966, Ahmad Yani resmi menetapkan Sarwo Edhie menjadi Komandan RPKAD.
Ia menggantikan Kolonel Moeng Parhadimoeljo hingga 1967. Sarwo Edhie dan Ahmad Yani berasal dari daerah yang sama yaitu Purworejo, Jawa Tengah. Kedekatan itu faktor yang mendorong Soeharto mempercayainya menumpas orang-orang PKI.
“Mereka berdua merupakan sahabat erat, teman satu daerah asal, dan malahan teman satu kompi sejak masih dalam kesatuan Pembela Tanah Air (Peta) di zaman pendudukan Jepang,” tulis Julius Pour dalam biografi Benny Moerdani.
Gerak Cepat Merebut Kendali Strategis

Sarwo Edhie memimpin pasukan untuk merebut Gedung Radio Republik Indonesia (RRI) dan Kantor Telekomunikasi pada 1 Oktober 1965.
Berhasil menguasai Gedung RRI, keesokan harinya, Soeharto memerintahkan Sarwo Edhie melanjutkan misi menguasai Pangkalan Udara Halim. Sempat terjadi konflik antara RPKAD dengan pasukan dari batalyon Jawa Tengah.
John Roosa, dalam bukunya Dalih Pembunuhan, menyebutkan seorang perwira Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI), Komodor Dewanto, berhasil mencegah pertempuran besar-besaran antara RPKAD dan pasukan Batalyon 454.
Sarwo Edhie, juga sempat menemui para perwira Angkatan Udara untuk meyakinkan bahwa Soekarno sudah pergi sehingga Halim tidak menjadi ancaman bagi Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI).
Bandar udara itu berhasil dikuasai Pasukan RPKAD pimpinan Sarwo Edhie pada pukul 06.10. Berhasil menjalankan misi di ibu kota, pada 18 Oktober 1965 Sarwo Edhie bertolak ke Jawa Tengah atas instruksi Soeharto untuk mengondisikan Semarang.
Sesampainya di Semarang, Sarwo Edhie memerintahkan pasukannya mengambil alih Markas Kodam Diponegoro yang dikuasai simpatisan PKI. Dalam operasinya, menurut laporan Tempo, ia menangkap 1.050 orang terduga simpatisan G30S.
Selang beberapa hari, pada 22 Oktober 1965, Sarwo Edhie melanjutkan operasi penumpasan di Surakarta. Bersama RPKAD ia menangkap 40 pemuda yang diduga kelompok yang terafiliasi G30S.
Mertua mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu juga turut andil membekali masyarakat dengan pelatihan militer untuk membantu menjalankan operasi penumpasan simpatisan PKI secara swadaya.
Karir Sarwo Edhie Pasca Operasi G30S
Di Boyolali, bersama rakyat anti PKI, Sarwo Edhie menyisir daerah persembunyian massa PKI. Aksi penumpasan Sarwo Edhie bersama warga anti-PKI dilakukan setelah tersiar kabar akan terjadi gelombang demonstrasi besar-besaran oleh massa PKI.
Berperan besar atas penumpasan PKI setelah peristiwa G30S, nama Sarwo Edhie membumbung tinggi. Reputasinya semakin moncer hingga pada akhirnya justru dijegal oleh Soeharto sendiri.
Menurut putri Sarwo Edhie, yakni Kristiani Herrawati atau Ani Yudhoyono, dalam bukunya Kepak Sayap Putri Prajurit, sepak terjang ayahnya di dunia militer seperti dimatikan dengan cara menugaskan Sarwo Edhie ke luar negeri.
“Papi amat terpukul dengan keputusan pemerintah yang menempatkan dirinya di Rusia, selagi karier militernya sedang begitu cemerlang,” ujar Ani di buku tersebut.
Meski akhirnya batal dikirim ke Rusia, Sarwo Edhie tetap dibuang. Dia diberi penugasa sebagai panglima teritorial Pangdam XVII/Cenderawasih, di Papua.
Selepas dari Papua, ia dipindahtugaskan ke Magelang sebagai Gubernur AKABRI pada tahun 1970 hingga 1974. Perjalanan karier militernya resmi terhenti, karena setelah itu Sarwo Edhie sepenuhnya ditugaskan sebagai duta besar.
“Aku bisa merasakan betapa hati papi dibuat luruh ketika dia harus melepaskan seragam militernya dan menjadi seorang duta besar,” tulis Ani Yudhoyono.
Semula Sarwo Edhie bersedia menjadi duta besar untuk Australia di Canberra, tetapi posisi itu sudah ditempati Mayjen TNI Hertasning. Ia pun ditugaskan ke Korea Selatan sekaligus menjadi duta besar pertama Indonesia di sana.
Usai merampungkan tugasnya, rezim Orde Baru semakin menjauhkan Sarwo Edhie bahkan menugaskannya hingga ke Brasil.
Dituding Ambisius, Karir Dimatikan

Menurut istri Sarwo Edhie, Sunarti Sri Hadiyah, perlakuan Soeharto itu dipicu peristiwa Bogor. Kepada pakar militer Salim Said, ia menyebut Soeharto menganggap Sarwo Edhie sebagai saingannya.
Sarwo Edhie yang sempat menjadi jajaran orang penting pada masa awal kekuasaan Soeharto, perlahan disingkirkan. “Bapak dicurigai sebagai orang ambisius oleh Soeharto,” kata Sunarti.
“Soeharto marah, Soeharto menganggap komandan RPKAD (Sarwo Edhie) punya rencana sendiri yang berbeda dengan kebijakannya sebagai pimpinan sementara Angkatan Darat,” kata Salim Said sebagaimana dikutip Historia.
Seiring meredupnya karir militer Sarwo Edhie, hubungannya dengan Soeharto pun renggang, sekalipun dia mendukung penuh Soeharto dalam tragedi kemanusiaan terkelam di Indonesia, yakni pembantaian 1965-1966.
Kedua tokoh itu belakangan bersanding sebagai pahlawan nasional, lewat keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 116/TK/Tahun 2025 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional, yang diteken Prabowo (menantu Soeharto).
Amnesty International Indonesia bersama Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) menilai Soeharto dan Sarwo Edhie gelar tidak layak diberi gelar pahlawan.
“Menobatkan soeharto dan Sarwo Edhie Wibowo sebagai pahlawan berarti menegakkan penderitaan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid dalam keterangan tertulisnya.
Menurut dia, kedua orang itu merupakan tokoh utama kekerasan negara di era Orde Baru. Soeharto berperan dalam beberapa kasus kejahatan kemanusiaan mulai dari pembantaian massal 1965-1966 hingga penembakan misterius 1982-1985.
Sudah Didorong Sejak Era SBY
Wacana pemberian gelar pahlawan Sarwo Edhie sebetulnya mengemuka sejak tahun 2013 saat era menantunya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terpilih menjadi presiden.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Natalius Pigai kala itu tegas menolak rencana pemberian gelar pahlawan kepada mertua mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu. Tahun ini, Pigai yang diberi kursi menteri HAM memilih "no comment.
“Pemberian gelar pahlawan tersebut sangat tidak etis diberikan kepada seorang pimpinan Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat yang diduga ikut berperan atas peristiwa 1965,” kata Pigai pada Kamis (28/11/2013) sebagaimana dikutip Tempo.
Pada masa rezim Joko Widodo, rencana pemberian gelar pahlawan Sarwo Edhie kembali bergulir. Anak korban tahanan politik 1965 sekaligus aktivis kemanusiaan, Soe Tjen Marching membuat petisi penolakan Sarwo Edhie sebagai pahlawan pada 2014.
Sebanyak 6.899 orang menandatangani petisi Soe Tjen, menolak pemberian gelar pahlawan kepada Sarwo Edhie. Ikhtiar Soe Tjen terwujud. Pada 07 November 2014, saat acara pemberian gelar pahlawan nasional, nama Sarwo Edhie ditangguhkan.
“Terima kasih atas dukungan masyarakat yang menandatangani dan menyebarkan petisi yang saya buat. Saya yakin, gugurnya wacana Sarwo Edhie sebagai pahlawan tidak lepas suara kalian semua,” kata Soe Tjen.
Namun di rezim Prabowo, proses pemberian gelar pahlawan keduanya terbilang mulus. Nama Sarwo Edhie resmi menyandang gelar pahlawan nasional bersama mantan presiden Soeharto, kendati mendapat kritik publik.
“Ini adalah sebuah kehormatan yang luar biasa atas jasa dan pengabdian Beliau sebagai seorang prajurit, yang kemudian menjadi salah satu tokoh,” kata Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Baca Juga: Gelar Pahlawan Soeharto dan Simbol Matinya Reformasi
Mewakili keluarga Sarwo Edhie dalam pemberian gelar pahlawan kakeknya tersebut di Istana Negara, AHY gamblang menyebut pemberantasan G30S sebagai jasa terbesar Sarwo Edhie.
“Beliau memiliki jasa yang penting dalam pemberantasan G30S/PKI. Ini sudah tentunya menjadi pengingat kepada kami semua, keluarga besar, dan generasi penerus untuk bisa melanjutkan segala legacy dan sekaligus cita-cita dan nilai-nilai perjuangan Beliau semasa hidupnya,” kata AHY selepas acara penganugerahan.
Harap dicatat, "jasa Sarwo Edhie" itu berujung hilangnya nyawa 3 juta anak bangsa Indonesia di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali saja. Angka itu dia ungkap sendiri di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tahun 1989.
“Hingga akhir hayatnya, Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo tidak pernah meralat sama sekali angka jumlah korban tiga juta yang telah disebutkannya,” tulis Rum Aly dalam Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966. (mhf)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance