Jakarta, TheStance – Masuknya Revisi Undang-Undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 bukan sekadar prosedur legislasi, melainkan pertaruhan besar.

Khususnya, bagi insan pesantren. Pertanyaan mendasarnya bukan soal "kapan disahkan", melainkan apakah revisi ini benar-benar bakal menjadi payung pelindung bagi santri, atau sekadar formalitas yang gagal menyentuh akar diskriminasi pendidikan.

Rancangan ini berambisi mengodifikasi berbagai aturan pendidikan. Namun, paradoks muncul ketika UU Nomor 18/2019 tentang Pesantren justru dikecualikan dari kodifikasi tersebut.

Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian, menekankan bahwa pengecualian UU Pesantren dari kodifikasi RUU Sisdiknas justru untuk menjaga kekhasan lembaga tersebut.

“Sehingga, ketentuan dalam UU Pesantren tetap berlaku dan memiliki kekuatan hukum tersendiri,” ujarnya dalam Konferensi Pendidikan Pesantren, Jakarta, Minggu (5/10/2025)

Hetifah menjanjikan RUU Sisdiknas akan memperkuat eksistensi pesantren dengan memberikan "bab khusus". Namun, realitasnya, yang bahkan diakui oleh Hetifah, ada kesenjangan. Ironi terbesar terletak pada nasib lulusan pesantren.

Meski negara mengakui pendidikan pesantren sebagai bagian integral sistem pendidikan nasional (Pasal 15 UU 18/2019), sistem yang sama justru menolak mereka. Lulusan aliyah (setingkat SMA) kerap terganjal saat ingin mendaftar perguruan tinggi umum.

Ini adalah bukti kegagalan sistemik dalam menerjemahkan "pengakuan" menjadi "kesetaraan".

Birokrasi Baru: Solusi atau Beban Tambahan?

HNW

Sorotan kritis datang dari Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Hidayat Nur Wahid (HNW). Ia menuntut struktur birokrasi di Kementerian Agama beradaptasi dengan beban kerja pesantren yang kompleks.

Bukan hanya soal pendidikan, tapi juga dakwah dan pemberdayaan. HNW menilai Direktorat Pendidikan Islam tidak lagi cukup. Ia berharap peningkatan status menjadi Direktorat Jenderal (Dirjen) Pesantren.

“Kalau hanya fungsi pendidikan, cukup dikelola oleh Direktorat Pendidikan Islam. Namun karena pesantren juga memiliki fungsi dakwah dan pemberdayaan masyarakat, sebagaimana ketentuan dalam UU Pesantren, maka perlu ada peningkatan status, kewenangan dan anggaran dari sebelumnya yakni Direktorat Jenderal Pesantren,” ujarnya di Jakarta Pusat, Rabu (12/11/2025).

Meski pembentukan Dirjen Pesantren telah disetujui Presiden, HNW mengingatkan bahwa lembaga baru ini berpotensi menjadi pisau bermata dua: menjadi akselerator kemajuan, atau justru menjadi monster birokrasi yang membelenggu pesantren.

Dirjen baru ini diharapkan tidak tumpang tindih dan tidak mengontrol pesantren secara berlebihan, yang justru bakal merepotkan dunia pesantren.

Fokus utama seharusnya adalah perjuangan hak substantif, seperti pengelolaan dana abadi pesantren dan keadilan bagi seluruh tipologi pesantren (Salafiyah, Mu‘adalah, dan Terpadu).

“Kita pernah menolak rencana revisi Undang-Undang Pesantren karena hanya mengakui satu jenis pesantren. Padahal realitas di lapangan Pesantren sangat beragam, dan semuanya berkontribusi penting bagi bangsa,” tegasnya.

Tantangan Pesantren dan Romantisme Sejarah

ponpes

Secara teknis, sejauh ini draf RUU Sisdiknas memang menempatkan pesantren dalam BAB VI (Pasal 138-144) dan menyebutnya secara eksplisit di setiap jenjang pendidikan dasar hingga menengah.

Namun, tanpa penegakan hukum yang kuat, pasal-pasal ini berisiko hanya menjadi macan kertas. Hetifah menegaskan regulasi diharapkan menjadi solusi atas diskriminasi tersebut.

“Perpres No. 39 Tahun 2019 mengamanatkan penyelenggaraan satu data pendidikan, termasuk pendidikan pesantren, sehingga menjadi dasar kebijakan yang setara bagi seluruh jenis pendidikan dalam sistem pendidikan nasional,” sambung Hetifah.

Di luar isu regulasi, pesantren dihadapkan pada tantangan internal, yakni kasus kekerasan. Isu "Pesantren Ramah Anak" pun mengemuka. HNW menyeimbangkan narasi ini dengan menegaskan bahwa keramahan tak boleh menggerus kedisiplinan.

“Pesantren justru unggul karena disiplin dan pembinaan akhlak melalui keteladanan para kiai dan ustadz,” ujarnya, sembari memberikan masukan agar pesantren juga memberikan layanan pendampingan psikologis bagi para santri.

HNW mengingatkan kontribusi tokoh pesantren dalam kemerdekaan adalah fakta tak terbantahkan yang seharusnya dikonversi menjadi keberpihakan kebijakan yang nyata.

“Sejak masa perumusan BPUPK, tokoh-tokoh dari NU, Muhammadiyah, dan PUI (Partai Umat Islam), bahkan yang dari Partai-partai Islam seperti Syarekat Islam, Penyadar, Partai Islam Indonesia, Masyumi, semua para Kiyai dan Santri yang berakar dari pesantren, dan mereka masing-masing telah berkontribusi besar dalam perjuangan kemerdekaan,” ujarnya.

Baca Juga: Di Balik Polemik Tayangan Trans7, Nilai Etika Pesantren Akan Masuk Kurikulum Nasional

Arah masa depan pesantren dalam RUU Sisdiknas akan menjadi tolok ukur sejauh mana negara benar-benar memaknai keadilan dalam pendidikan.

Jika regulasi hanya berhenti pada simbol pengakuan tanpa keberpihakan konkret terhadap akses, fasilitas, dan kesetaraan hak santri, maka revisi ini bakal berakhir juga sebagai macan kertas.

Sebaliknya, bila pesantren ditempatkan sebagai mitra sejajar dalam sistem pendidikan nasional bukan sekadar pelengkap, revisi RUU Sisdiknas akan menjadi momentum meneguhkan kembali peran vital pesantren dalam membentuk karakter bangsa. (par)

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance