Jakarta, TheStance – Isu kesehatan mental anak dan remaja kembali disorot menyusul temuan Polda Metro Jaya yang mengungkap dugaan awal motif di balik bom rakitan di Masjid SMAN 72 Kelapa Gading, Jakarta Utara, pada Jumat (7/11/2025).
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Iman Imanuddin menyampaikan bahwa pelaku merupakan siswa aktif SMAN 72 Jakarta yang bertindak secara mandiri tanpa keterkaitan dengan jaringan teror mana pun.
Pelaku dikenal sebagai pribadi yang tertutup, jarang bergaul, dan memiliki ketertarikan terhadap konten kekerasan serta hal-hal ekstrem.
Pelaku yang masih berstatus anak berkonflik dengan hukum (ABH) diduga bertindak atas dorongan emosional karena merasa terisolasi dari lingkungan sekitarnya.
“Dorongannya seperti merasa sendiri, merasa tidak ada yang menjadi tempat untuk menyampaikan keluh kesahnya, baik itu di lingkungan keluarga maupun lingkungannya sendiri dan di sekolah,” ungkap Iman, di Jakarta, Selasa (11/11/2025).
Pelaku Merupakan Korban Bullying di Sekolah

Insiden ledakan di SMA Negeri 72 Jakarta ini seolah kembali membuka luka lama, yakni masalah kesehatan mental remaja di sekolah.
Lebih mengejutkan lagi, pelaku yang diduga memicu ledakan ternyata juga merupakan korban perundungan atau bullying di lingkungan sekolahnya.
Atas insiden ini, Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming pun mengingatkan kembali pentingnya menjaga kesehatan mental, selain kesehatan fisik yang selama ini lebih digencarkan.
Wapres Gibran juga menyinggung soal perilaku bullying di kalangan anak-anak sekolah. Dia merujuk pada kasus ledakan di SMA 72 Jakarta di mana terduga pelaku diduga memiliki motif balas dendam lantaran kerap dirundung.
Ia berharap peristiwa ini tidak terulang dan sekolah bisa menjadi tempat yang aman bagi anak-anak.
"Sekolah harus jadi tempat yang aman dan nyaman bagi anak-anak. Tempat yang bebas bullying," tegas Wapres Gibran, saat memberikan arahan di depan sejumlah kepala daerah dalam rapat koordinasi nasional, bertepatan dengan peringatan Hari Kesehatan Nasional 2025, Rabu (12/11/2025).
Masalah Kesehatan Mental Remaja Semakin Meningkat

Kesehatan mental remaja memainkan peranan penting dalam menentukan kualitas hidup dan kesejahteraan mereka. Namun mirisnya, akhir-akhir ini masalah kesehatan mental di kalangan remaja justru semakin meningkat.
Sebuah survei yang dilakukan oleh I-NAMHS (Indonesia National Adolescent Mental Health Survey) pada tahun 2022 menunjukkan sebanyak 15.5 juta atau sekitar 34.9% remaja mengalami masalah kesehatan mental.
Perbandingannya, satu dari tiga anak usia 10-17 tahun di Indonesia disebut memiliki masalah kesehatan mental. Kemudian, data WHO juga menunjukkan 1 di antara 7 anak berusia 10-19 tahun mengalami kondisi gangguan kesehatan mental.
Menurut WHO, anak dan remaja dengan kondisi kesehatan mental sangat rentan terhadap pengucilan sosial, diskriminasi, stigma yang bisa berpengaruh pada kesiapan untuk mencari bantuan, kesulitan pendidikan, perilaku berisiko, kesehatan fisik yang buruk, dan pelanggaran hak asasi manusia.
Diperkirakan, pada tahun 2025 jumlah anak dengan persoalan kesehatan mental bisa meningkat, merujuk kunjungan anak dan remaja ke sejumlah biro psikologi yang naik sekitar 20-30 persen.
Kalangan Psikolog klinis mengingatkan bahwa ini adalah alarm serius dimana "banyak anak Indonesia yang tidak baik-baik saja".
Meski demikian, kesadaran terhadap pentingnya kesehatan mental bagi remaja ini, seharusnya tidak hanya menjadi tanggung jawab orang tua dan keluarga semata, tapi juga masyarakat dan pemerintah.
Dibutuhkan peran aktif semua pihak dan berbagai institusi untuk mendukung kesejahteraan dan kesehatan mental remaja.
Potret Kegagalan Sistem Pendidikan Lindungi Psikologis Siswa

Psikolog Tika Bisono menilai peristiwa ledakan yang terjadi di SMA 72 Jakarta itu bukan sekadar kasus tunggal, melainkan potret kegagalan sistem pendidikan dalam melindungi kesejahteraan psikologis siswa.
"Setiap manusia punya batas daya tampung emosi," ujar Tika Bisono.
Menurut Tika, tindakan ekstrim seperti ini biasanya terjadi karena seseorang sudah tidak sanggup lagi menahan tekanan yang terus menumpuk tanpa penyaluran yang sehat.
"Manusia itu punya semacam reservoir untuk menampung hal-hal negatif. Tapi kalau terus diisi tanpa ada penyaluran, akhirnya luber," jelasnya.
Jika tekanan itu dibiarkan tanpa outlet yang sehat, maka emosi negatif akan masuk ke alam bawah sadar dan menjadi trauma tak terselesaikan.
Ketika daya tahan mental seseorang runtuh, tindakan ekstrim seperti melukai diri sendiri atau orang lain bisa terjadi.
Tika menekankan bahwa masa remaja adalah fase paling rentan dalam perkembangan manusia, fase transisi antara anak-anak dan dewasa, di mana identitas diri sedang terbentuk.
"Remaja itu lagi butuh banget penerimaan, pengertian, dan pendampingan. Tapi seringkali, justru yang mereka dapat adalah tekanan dan penghakiman," jelas Tika.
Sementara, banyak orang tua lupa bahwa mereka dulu juga pernah mengalami fase kebingungan yang sama. Akibatnya, hubungan orang tua dan anak menjadi renggang, dan remaja merasa tak punya tempat untuk bersandar.
"Kalau remaja tidak punya satu orang pun yang bisa dia percaya, dia merasa sendirian. Dari situ, hal-hal ekstrem bisa muncul," ungkap Tika.
Pelaku Juga Korban, Berhak Mendapat Pendampingan

Terkait insiden peledakan yang terjadi di SMA 72 Jakarta, Tika menegaskan bahwa pelaku yang ternyata korban bullying tetap membutuhkan bantuan psikologis, bukan hanya hukuman.
"Tidak ada remaja yang bercita-cita ingin jadi pelaku ledakan. Semua anak ingin dihargai, diterima, dan dianggap," tegasnya.
Oleh karena itu, ketika penghargaan dan rasa aman itu hilang, banyak remaja akhirnya mencari cara ekstrim untuk menunjukkan diri atau meluapkan amarah yang tak tertampung.
"Pilihan mereka cuma dua; membalas atau menghancurkan diri sendiri. Dan ini harusnya jadi peringatan keras buat semua pihak," ungkapnya.
Dia juga menyoroti sistem sekolah di Indonesia yang menurutnya masih kurang peduli pada masalah kesehatan mental siswa.
"Sekolah di luar negeri besar-besar, tapi mereka peduli. Di sini, sekolah malah abai. Makanya kasus kayak gini bakal terus terulang," ujarnya dengan nada tegas.
Kondisi ini masih diperparah keberadaan guru BK di sekolah yang masih belum cukup, apalagi jika tidak memiliki latar belakang pendidikan psikologi.
"Bayangkan dua-tiga guru BK harus ngurus 300 siswa. Mana mungkin? Bahkan banyak guru BK bukan lulusan BK atau psikologi. Ini bahaya," tegasnya.
Tika pun menyarankan agar setiap sekolah wajib memiliki psikolog tetap dan sistem pendampingan yang profesional untuk siswa, terutama bagi mereka yang terindikasi korban perundungan atau mengalami tekanan berat.
Menurutnya, setiap pelaku kekerasan di sekolah adalah cermin dari sistem yang gagal membentuk rasa aman bagi siswa.
"Kalau anak sampai melakukan tindakan ekstrim, berarti dia sudah berteriak lama, tapi tidak ada yang mau mendengar," tandasnya.
Sinkronisasi Peran Orangtua dan Sekolah

Senada, Psikolog dan pendidik, Najelaa Shihab, menyebut permasalahan kesehatan mental dipengaruhi oleh banyak sekali faktor.
Mulai dari pengasuhan di rumah, pembelajaran guru di sekolah, interaksi dengan teman sebaya, juga pengalaman dan kecenderungan individual anak dan remaja, bisa mempengaruhi kesehatan mentalnya.
"Sangat penting, sinkronisasi orang tua dan sekolah untuk menjaga kesehatan mental anak dan remaja. Karena masalah di satu konteks bisa tereskalasi di konteks lain kalau tidak ada rencana aksi bersama," ucap Najelaa.
Tidak hanya di Indonesia, beberapa negara seperti Korea Selatan, Kerajaan Bersatu (United Kingdom/UK), dan Amerika Serikat juga menghadapi problem serupa.
Secara global, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga memperkirakan satu dari tujuh anak usia 10-19 tahun mengalami kondisi gangguan kesehatan mental.
Pendiri Sekolah Cikal ini menyebut hubungan yang kuat dengan anak menciptakan lingkungan dan ruang yang aman bagi anak.
Oleh sebab itu, orang tua dan guru juga patut menjadi figur yang dipercaya oleh anak untuk terbuka dalam mengomunikasikan yang dialami, dirasakan, dipikirkan. Untuk itu, Pemerintah wajib membangun sistem yang ramah anak.
Dengan pondasi koneksi ini, Najelaa menyebut anak bisa diberi tantangan yang sesuai. Anak belajar dan tumbuh kalau ia berhasil melewati situasi sulit dan merasakan sukses.
Baca Juga: Imbas Ledakan di SMA 72 Jakarta, Wacana Pembatasan Game PUBG Mengemuka
"Bisa dengan mengajak anak menetapkan target, melakukan self assesment dan terus menekankan pentingnya proses bukan hanya berfokus pada hasil," ujar Najelaa.
"Kita tidak ingin anak kita cepat menyerah atau menghindari yang susah, tapi anak yang terus memilih berkomitmen pada apa yang menjadi tujuan belajarnya dan mandiri dalam mencapainya," pungkasnya. (est)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance