TheStance - Menjaga ketenangan hati tidaklah muda di tengah dunia digital era post-truth, di mana kebenaran seringkali kalah oleh persepsi publik yang dibentuk oleh lautan konten di media sosial.
Teuku Jordan Zacky Azwar awalnya gusar terombang-ambing konten para influencer, yang seringkali bermodal narasi bombastis minim verifikasi, tatkala berbicara tentang isu-isu nasional dan kebangsaan.
Sempat tak mau ambil peduli, dia akhirnya memilih mengambil jalan sebaliknya: menyalakan lilin, sekalipun sinarnya kalah berbinar dari ledakan kembang api para influencer politik tersebut.
Dia mulai membuat konten yang isinya adalah curahan kegundahan hati dan kritikan yang semula hanya tersimpan rapat-rapat tatkala melihat arus perkembangan kehidupan politik berbangsa di Tanah Air semakin kehilangan kompas moral.
Tujuan awalnya adalah ingin mengeluarkan isi hatinya terkait dengan kehidupan bernegara dan isu kebangsaan, agar tidak tersimpan sebagai gondok yang membuat hatinya terus risau dan gusar.
“Hanya ingin sedikit menyampaikan besitan isi hati dan pikiran untuk menjaga waras. Sebelum kewarasan jadi barang ilegal. Karena pura-pura tuli dan pura-pura buta justru lebih cepat bikin gila,” tuturnya kepada TheStance pada pertengahan Oktober.
Gayung bersambut, konten-konten artis yang akrab dipanggil Jordan ini disambut positif secara luas oleh para penggemar dan pengikutnya di akun @teukuzacky.
Dia menjadi warna baru di antara dunia konten kreator artis. Tatkala yang lain memilih genre trip, komedi, gosip dan bahkan esek-esek, Jordan memilih berkreasi konten dalam genre politik kebangsaan, tetapi dikemas santai agar relevan bagi rakyat.
Tawaran Miliaran Rupiah
Dalam perjalanannya, konten Jordan yang sedikit banyak menyinggung politik dan meraup dukungan pengikut di media sosial membuat beberapa pengurus partai politik (parpol) naksir merekrutnya jadi salah satu "anak wayang" partai.
Tawaran yang disodorkan tak main-main, nilainya mencapai miliaran rupiah, dan hadir di saat dia menghadapi kejenuhan maksimal di dunia seni peran.
Selama aktif di dunia perfilman, Jordan merasa dirinya hidup di bawah kendali sistem yang menentukan nasib orang lain. Rating, jaringan, dan koneksi menjadi penentu jalan kariernya.
“Ketika gue main sinetron, sinetron gue bisa tiba-tiba disetop karena rating. Gue tergantung dari sistem. Mau dapet job juga tergantung siapa lo kenal. Gue capek sama ketergantungan itu,” katanya.
Dia merasa jenuh dengan sistem dunia seni peran yang dihadapinya. “Gue pura-pura sakit, mengurung diri, enggak mau ke lokasi syuting karena udah enggak suka,” tuturnya.
Maka, tawaran menggiurkan untuk bergabung di parpol pun menjadi jalan keluar bagi Jordan di tengah kebuntuan yang dirasakannya di dunia seni peran.
Namun Jordan sadar betul bahwa mengambil tawaran parpol, sama artinya dia lepas dari sistem ketergantungan di dunia seni peran, ke sistem ketergantungan lain yang bisa jadi lebih barbar, yakni di dunia politik.
Maka, dia memutuskan menolak tawaran tersebut secara halus.
Ogah Bergantung dan Sikut-Sikutan
Meski tahu bahwa uang miliaran rupiah sangat penting, tapi Jordan merasa konsekuensinya sangat mahal. Dia bakal terkooptasi, tak lagi bisa meluapkan pikiran dan pendapatnya dan justru kian bergantung pada parpol.
“Gue punya ketakutan kalau nanti gue harus mengamini sesuatu yang bukan kehendak gue. Kalau tiba-tiba kebijakan partai bertolak belakang dengan hati gue, masa gue harus tetap ngikut? Itu enggak bisa buat gue,” tegasnya.
Bagi Jordan, politik praktis adalah sistem yang kompleks dan sarat akan kepentingan sesaat. Ia khawatir jika masuk ke dalamnya, justru akan kembali terperangkap dalam sistem yang tak sejalan dengan hati nuraninya.
“Gue enggak mau ikut sistem yang enggak sesuai sama hati gue. Kalau gue masuk, tapi malah harus nurut hal-hal yang gue enggak percaya, itu bukan gue,” ucapnya tegas.
Dia menyodorkan bukti berupa realita yang tercipta dari sistem politik praktis saat ini: di tengah banyaknya sumber daya alam dan potensi ekonomi, Indonesia justru terjebak dalam kebijakan yang tidak menyentuh akar persoalan rakyat.
“Lihat aja menteri-menteri, bagaimana mereka bikin kebijakan. Semuanya absurd buat gue. Dengan segala potensi alam yang kita punya, kenapa malah makin tertutup jalannya?” ujarnya.
Fenomena artis yang terjun ke dunia politik, seperti Dedi Mizwar, Rano Karno, hingga Pasha Ungu, juga membuka mata Jordan bahwa popularitas di dunia hiburan tidak otomatis menjamin kelancaran karir di dunia politik.
Artis sekalipun harus bersaing sikut-sikutan, tanpa perlakuan istimewa. Bagi dia, jurus aji mumpung yakni memanfaatkan posisi sebagai figur publik tidak lantas menjamin kesuksesan di dunia politik praktis.
Ketenangan Batin dari Berdikari
Di tengah pergolakan batinnya, Jordan memilih beristirahat cukup lama dari dunia seni peran, lalu membangun lembaga konsultan komunikasi bersama rekan-rekannya, yakni FriendsHub Integrated Communication Agency.
Dia juga mulai aktif di media sosial menyampaikan pandangan dan pendapatnya terkait dengan isu-isu yang terkait dengan rakyat banyak.
“Gue organik aja dengan apa yang gue punya sendiri. Kalau suara gue didengar ya syukur, kalau enggak juga at least gue udah membuat sesuatu sesuai kata hati gue,” ujarnya santai.
Namun, justru di situlah kebahagiaan sejatinya tumbuh. Keputusan berdikari itu rupanya memberinya ketenangan batin: makan dari keringat sendiri, bukan dari profesi yang terkooptasi pada nilai yang tak dia setujui.
Pada akhirnya dia paham bahwa kebebasan adalah hal yang dia dambakan selama ini."Waktu gue vakum dan fokus ke bisnis, gue malah ngerasa hidup. Bisnis jalan, ekonomi bagus, dan gue happy. Jadi gue tahu, gue enggak salah menolak tawaran itu."
Kini, Jordan fokus membangun jalannya sendiri, menekuni dunia bisnis dengan lembaga yang didirikannya, agar bisa menjadi “nahkoda” bagi kehidupannya sendiri.
“Gue enggak mau tergantung sama sutradara, produser, atau stasiun TV. Ketika punya usaha sendiri, gue bisa nentuin mau ke arah mana perusahaan ini,” tuturnya.
Baca Juga: Pilih Mandiri daripada Dikunci: Kisah Jordan dan Tawaran Miliaran dari Parpol
Dan keputusan menolak tawaran bergabung di parpol, menjadi bagian dari perjalanan menemukan kebebasan itu. “Ketika gue menerima tawaran partai, gue pasti akan berada di bawah sistem... Gue enggak mau kehilangan kendali atas diri gue sendiri.”
Kini, Jordan memilih tetap di jalannya sendiri tanpa panggung partai, tanpa patron, tanpa skenario yang dibuat orang lain. Dia menemukan pelajaran bahwa kemerdekaan dalam berpikir dan bertindak ternyata berdampak besar pada ketenangan hati.
Di tengah arus besar dunia hiburan dan politik yang kerap menelan idealisme, Jordan berdiri di tepian dengan keyakinan: bahwa suara hati yang jujur jauh lebih berharga daripada jabatan yang gemerlap.
Ia memang tidak berada di parlemen. Namun dengan tulisan, kritikan, dan keberanian menjaga integritas, Jordan berpolitik dengan caranya sendiri: politik kesadaran, kejujuran, dan kebebasan. (par/ags)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance