Oleh Muslimin Machmud, Guru Besar Pertama Bidang Komunikasi Media Tradisional di Indonesia yang masuk di Daftar 100 Tokoh Terbaik Sulawesi Selatan 2021-2023. Kini menjadi Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).

Saya membaca berita itu dua kali.

Pertama karena tak percaya.

Kedua karena terharu.

Dua guru di Luwu Utara akhirnya direhabilitasi oleh Presiden, setelah beberapa tahun menanggung hukuman yang tidak seharusnya di terima.

Bukan karena korupsi.

Bukan karena mangkir kerja.

Bukan juga karena malas mengajar. Melainkan karena membela rekan-rekannya guru honorer.

Kisahnya dimulai dari ruang kelas.

Dari seorang guru yang melihat ketidakadilan dan tidak tahan diam.

Dia melihat rekan-rekannya yang sudah mengabdi belasan tahun, masih hidup dari honor ratusan ribu rupiah per bulan.

Sementara para pejabat sibuk berbicara tentang pahlawan tanpa tanda jasa di podium.

Ia bersuara.

Ia menulis.

Ia menegur.

Dengan kata-kata, bukan dengan kemarahan.

Tapi sayang di sistem yang alergi terhadap suara berbeda, kadang dibalas dengan hukuman.

Laporan dibuat.

Surat teguran turun.

Dia dicopot.

Dicap tidak disiplin.

Tidak loyal.

Dan sejak itu, kehidupannya berubah. Dia kehilangan jabatan.

Hilang pula rasa dihormati di lingkungan kerjanya.

Namun satu hal yang tidak hilang yaitu idealismenya.

Dia tetap mengajar dengan hati yang mungkin perih.

Mengajarkan anak-anaknya agar berani berkata benar, padahal dirinya dihukum karena hal itu.

Lalu waktu berjalan.

Laporan demi laporan berganti.

Pemerintah pun berubah.

Tapi namanya tetap tercoreng di arsip birokrasi.

Sampai akhirnya datang kabar itu.

Presiden menandatangani surat rehabilitasi.

Namanya dipulihkan.

Martabatnya dikembalikan.

Seolah negara berkata, maaf, kami salah.

Saya membayangkan wajahnya saat menerima kabar itu.

Mungkin tidak bersorak.

Mungkin hanya menarik napas panjang.

Antara lega dan getir.

Karena keadilan yang datang terlambat tetap meninggalkan luka.

Tapi tetap saja, langkah itu berarti.

Satu keputusan yang mengembalikan harapan.

Bahwa kebenaran masih punya tempat di republik ini.

Guru itu bukan sekadar pahlawan tanpa tanda jasa.

Guru adalah simbol bahwa suara dari bawah bisa didengar kalau ada keberanian untuk tetap menyuarakannya.

Dan presiden telah melakukan sesuatu yang jarang dilakukan pemimpin sebelumnya yaitu memperbaiki kesalahan negara terhadap warganya sendiri.

Rehabilitasi itu bukan hadiah.

Itu pengakuan.

Bahwa membela sesama guru honorer bukanlah pelanggaran. Melainkan panggilan nurani.

Saya yakin di banyak daerah lain ada banyak guru seperti dia.

Yang memilih diam karena tahu risikonya.

Yang ingin membela, tapi takut kehilangan pekerjaan.

Hari ini kita melihat contoh nyata bahwa keberanian tidak selalu berujung hukuman.

Kadang hanya perlu waktu untuk diakui.

Guru di Luwu Utara itu sudah membayar mahal untuk keberaniannya.

Dan sekarang guru itu juga telah memberi pelajaran besar, bukan hanya untuk muridnya, melainkan untuk bangsa ini.

Bahwa menjadi guru sejati bukan hanya soal mengajar di kelas. Namun juga soal membela yang lemah.

Meskipun harus berhadapan dengan kekuasaan.

Rehabilitasi yang kini diberikan Presiden bukan sekadar tindakan administratif.

Ini adalah pengakuan moral bahwa dalam tata kelola pemerintahan, niat baik tidak boleh dikorbankan di altar prosedur.

Bahwa aparatur yang berani berpihak pada kemanusiaan seharusnya dilindungi, bukan dikorbankan.

Kasus ini juga menyentil dunia pendidikan kita.

Selama ini guru diajarkan untuk menanamkan nilai-nilai moral kepada murid-murid nya, tentang kejujuran, empati dan keberanian membela kebenaran.

Namun, di sisi lain sistem yang menaungi para guru justru sering mengabaikan nilai-nilai yang sama.

Ironi inilah yang membuat banyak pendidik merasa terasing di negeri sendiri.

Baca Juga: Luka di Tanah Zamrud

Kisah guru itu kini menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa kebenaran mungkin kalah dalam keputusan hukum, tetapi tidak akan hilang dari ingatan publik.

Dan bahwa negara, betapapun lambatnya, masih punya ruang untuk memperbaiki kesalahan.

Rehabilitasi ini menegaskan satu hal penting bahwa guru bukan hanya pengajar, tetapi penjaga nurani bangsa.

Dan ketika seorang guru dijatuhi hukuman karena kebaikan, sesungguhnya yang perlu direhabilitasi bukan hanya dirinya, melainkan cara kita menegakkan keadilan di negeri ini.***

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance.