Jakarta, TheStance – Pemerintah tengah mempertimbangkan pembatasan sejumlah game online bertema kekerasan setelah dugaan pengaruh permainan tersebut dalam insiden ledakan di SMAN 72 Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Fokus utama pemerintah tertuju pada game bergenre perang yang menampilkan penggunaan senjata api, seperti PlayerUnknown's Battlegrounds (PUBG).
Sebelumnya, dalam rapat terbatas di kediamannya di Kertanegara, Jakarta Selatan, Presiden Prabowo Subianto meminta jajarannya untuk mencari solusi agar pengaruh buruk game online dapat diminimalkan.
"Beliau (Presiden Prabowo) menyampaikan bahwa kita harus berpikir untuk membatasi dan mencari jalan keluar terhadap pengaruh dari game online," kata Mensesneg Prasetyo Hadi usai rapat tersebut, Minggu (9/11/2025).
Prasetyo menyebut, game bergenre perang dan menembak seperti PUBG berpotensi menormalisasi kekerasan di kalangan remaja. "Secara psikologis, pemain bisa terbiasa melakukan kekerasan dan menganggapnya hal yang biasa," kata Pras.
"Misalnya contoh, PUBG. Itu kan di situ, kita mungkin berpikirnya ada pembatasan-pembatasan ya, di situ kan jenis-jenis senjata, juga mudah sekali untuk dipelajari, lebih berbahaya lagi," jelasnya.
Peledak di SMAN 72 Dirakit Setelah Pelaku Lihat Internet

Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri, sebelumnya menyebut, terduga pelaku yang masih merupakan siswa di sekolah tersebut diketahui merakit sendiri bom yang digunakan dalam insiden ledakan di SMA 72 Jakarta beberapa waktu lalu.
Disebutkan, terduga pelaku mempelajari membuat bom dari tutorial di internet. "Dirakit sendiri dan pelaku mengakses melalui internet cara-cara merakit bom," kata juru bicara Densus 88 Antiteror, AKBP Mayndra Eka Wardhana, Selasa (11/11/2025).
Namun, Mayndra enggan mengungkap lebih jauh perihal proses perakitan peledak tersebut. Termasuk jenis peledak yang dibuat dan digunakan terduga pelaku dalam insiden itu.
"Untuk jenisnya telah diketahui. Terkait dengan detailnya, bisa dikonfirmasi kepada otoritas Brimob Gegana atau Polda Metro Jaya," ucapnya.
Saat melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP), polisi menemukan tujuh bahan peledak di SMAN 72 Jakarta. Namun, dari tujuh bahan peledak, hanya empat yang meledak di dua lokasi. "Benar bahwa ditemukan tujuh peledak. Yang tiga tidak meledak," tuturnya.
Ledakan pada Jumat (7/11/2025) itu melukai lebih dari 70 orang. Dari jumlah itu, 38 pasien sudah dipulangkan, sementara 32 lainnya masih menjalani perawatan medis. Termasuk, terduga pelaku bom SMAN 72 yang dipindahkan ke RS Polri.
Mayndra menerangkan, sejumlah bom yang dirakit oleh terduga pelaku diledakan dengan menggunakan sistem remote. Kendati demikian, ada juga yang mengunakan metode lain, namun tak bisa dijelaskan olehnya secara rinci.
Polda Metro Jaya telah melakukan penggeledahan di rumah terduga pelaku. Kemudian, ditemukan sejumlah barang bukti terkait dengan peristiwa ini.
Komdigi Masih Melakukan Kajian

Menanggapi permintaan Presiden Prabowo untuk dilakukan pembatasan sejumlah gim online tersebut, Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid menegaskan pihaknya akan melakukan kajian menyeluruh sebelum mengambil langkah tegas.
"Pemerintah tentu memahami industri games menjadi industri penting dan strategis dalam mendongkrak ekonomi, sehingga akan seksama melihat satu kasus game dengan lainnya," ujar Meutya dalam keterangannya, Senin (10/11/2025).
Dia menjelaskan, kajian awal tim Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) terhadap game PlayerUnknown's Battlegrounds (PUBG) menemukan beberapa unsur yang dinilai sensitif dan perlu diklasifikasikan secara ketat.
"Jika ditanya khusus untuk PUBG, kajian awal tim Komdigi menemukan unsur kekerasan dan penampakan senjata yang realistis, penggunaan bahasa, unsur kriminal, serta adegan-adegan horor seperti darah dan ancaman,"
"Dengan begitu, game tersebut cenderung masuk dalam kategori usia 18+," tambah Meutya.
Namun, sampai saat ini Komdigi belum memberikan pernyataan tegas terkait pemblokiran game online seperti PUBG dan sejenisnya.
KPAI Dukung Pembatasan Game PUBG

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendukung wacana pemerintah melakukan pembatasan game PUBG imbas insiden ledakan SMAN 72 Kelapa Gading, Jakarta Utara. Mereka sepakat untuk game bernuansa perang dan kekerasan itu diatur.
"Ya, kalau memang, kalau untuk proteksi anak ya harus gitu. Harus diatur," kata Ketua KPAI Margaret Aliyatul Maimunah kepada wartawan setelah menjenguk korban di RS Islam Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Senin (10/11/2025).
KPAI, kata Margaret, juga ingin ada proteksi untuk anak saat berselancar di dunia maya.
"Dua hal yang akan jadi konsentrasi kita. Yang pertama terkait dengan perlindungan anak di dunia siber, kaitannya dengan bagaimana apa namanya, peningkatan atau penguatan pengawasan anak-anak, perlindungan anak dari konten-konten negatif di dunia siber. Yang kedua terkaitannya dengan perundungan," jelas dia.
Selain gim daring, KPAI juga menyoroti media sosial sebagai platform yang banyak memuat konten negatif. Menurutnya, media sosial juga perlu pengaturan.
"Iya (termasuk media sosial). Ya kalau, kalau apa namanya, kalau siber itu kan konten negatif semua lah. Pornografi, kekerasan, kemudian apa ajalah, pokoknya hal yang bisa membawa negatif anak ya," ungkapnya.
Harus Didasari Kajian Objektif

Wakil Ketua Komisi X DPR Lalu Hadrian Irfani menilai pembatasan gim online seperti PUBG, harus didasari kajian yang objektif.
"Rencana untuk memblokir game online, seperti game PUBG atau game online lainnya, saya kira tetap harus didasarkan pada kajian yang objektif dan berbasis data, bukan sekadar reaksi terhadap kasus ledakan di SMAN 72 Jakarta," ujar Wakil Ketua Komisi X DPR Lalu Hadrian Irfani, Selasa (11/11/2025).
Menurut Hadrian, pemerintah juga perlu melibatkan para ahli psikologi, pendidikan, serta pelaku industri game untuk menilai dampak sebenarnya dari game PUBG terhadap perilaku anak-anak maupun remaja.
Selain itu, pemerintah perlu memperkuat sistem klasifikasi usia dan pengawasan konten game daring agar penggunaannya sesuai dengan nilai-nilai pendidikan dan tidak berdampak psikologis yang negatif.
Hadrian menyebut game seperti PUBG memang bisa memengaruhi perilaku pelajar di sekolah.
"Game seperti PUBG berpotensi memengaruhi sikap pelajar, di mana paparan konten kekerasannya secara intens dapat meningkatkan kecenderungan agresif dan mengurangi empati, yang berisiko terbawa dalam interaksi sosial di sekolah," tutur Hadrian.
Meski begitu, dampak ini juga bergantung pada kepribadian, durasi bermain, serta pengawasan dari orang tua. Oleh karena itu, pengawasan orang tetap harus dilakukan, agar penggunaan game online di kalangan pelajar lebih terarah.
"Misalnya arahkan ke cabang olahraga e-sport dan lain-lain, karena pendidikan karakter dan pengawasan terhadap anak tetap merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga dan sekolah," pungkasnya.
Sudah Diblokir di sejumlah Negara

Jika di Indonesia pemerintah masih mempertimbangkan membatasi gim online bersenjata seperti Free Fire dan PlayerUnknown's Battlegrounds (PUBG), di beberapa negara malah sudah ada yang memblokir gim tersebut.
Berdasarkan catatan TheStance, negara-negara yang memblokir PUBG Mobile itu antara lain adalah Afghanistan, Bangladesh, India, Nepal, Yordania, Pakistan dan bahkan China (negara asal PUBG).
Kebanyakan alasannya adalah karena game ini dianggap memicu munculnya kekerasan di kalangan pengguna muda. Berikut ini beberapa alasan utama pelarangan beberapa negara:
Kekhawatiran tentang kecanduan game terutama pada anak-anak dan remaja.
Dampak potensial terhadap prestasi akademis karena waktu bermain yang panjang.
Isu konten kekerasan yang dianggap tidak cocok untuk pengguna muda.
Keamanan nasional dan data, terutama saat game dikaitkan dengan perusahaan dari negara lain.
India termasuk negara pertama yang mengambil langkah tegas terhadap PUBG Mobile. Mereka memblokir game ini pada 2020 bersama puluhan aplikasi lain yang berafiliasi dengan China, dengan alasan keamanan nasional dan perlindungan data pengguna.
Namun, PUBG kemudian kembali ke pasar India dalam versi khusus bernama Battlegrounds Mobile India (BGMI) yang dikelola oleh Krafton, pengembang asal Korea Selatan, tanpa keterlibatan langsung Tencent.
Baca Juga: Roblox dan Bahaya Pedofilia
Di Bangladesh, Mahkamah Tinggi pada 2022 memerintahkan pelarangan PUBG dan Free Fire karena dianggap sebagai 'aplikasi destruktif' yang merusak perilaku anak-anak, menyebabkan kecanduan dan menurunkan performa akademik pelajar.
Di Pakistan, Otoritas Telekomunikasi Pakistan (PTA) juga sempat melarang PUBG Mobile setelah menerima banyak keluhan soal efek negatif pada kesehatan fisik dan mental anak-anak.
Namun setelah muncul sejumlah petisi ke Pengadilan Tinggi Islamabad, larangan tersebut akhirnya dicabut. Lantas, apakah benar game online seperti PUBG dapat mendorong perilaku ekstrem pada anak?
Menumpulkan Sensitivitas Emosional

Psikolog klinis Anastasia Sari Dewi menilai gim online kini bukan sekadar hiburan, melainkan bagian dari lingkungan sosial anak. Risiko dalam dunia digital, anak terkadang berinteraksi dengan banyak orang yang belum tentu dikenal atau memiliki nilai yang sama.
"Gim online termasuk lingkungan, karena anak bisa kenal banyak orang di luar sana secara daring dan kita tidak tahu asal-usul atau latar belakang mereka seperti apa. Bisa jadi ada pengaruh dari saran-saran yang menyesatkan," jelas Sari.
Ia juga mengingatkan bahwa game dengan unsur kekerasan dapat menumpulkan sensitivitas emosional.
"Gim sadis sekarang tampilannya sangat detail. Kalau anak sering terpapar, lama-lama hal seperti itu jadi terasa biasa. Ini yang berbahaya," tegasnya.
Untuk itu, dia menyarankan agar orang tua dan sekolah aktif menyeimbangkan paparan digital anak dengan kegiatan yang membangun empati dan kemampuan sosial.
"Tambahkan kegiatan yang mengenalkan berbagai jenis emosi, nilai sosial, toleransi, dan empati. Anak remaja sering kali hanya dibekali norma agama, tapi tidak tahu cara berinteraksi sosial atau memahami konflik. Ini bisa membuat mereka buntu dan melampiaskan emosi dengan cara ekstrem," jelasnya.
Orang tua juga perlu memperhatikan perilaku nyata anak di dunia sehari-hari, apakah ada perubahan dalam cara bicara, sikap agresif, atau empati.
"Kalau sudah terlihat perubahan perilaku, artinya ada efek yang perlu diwaspadai," ujarnya. (est)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance