GWS

Oleh GWS, lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) yang pernah didapuk menjadi direktur utama sebuah BUMN dan kini memimpin sebuah perusahaan teknologi. Aktif menuangkan tulisan dan pemikirannya tentang isu keindonesiaan, kebangsaan, dan kemajuan negara, meski dengan nama samaran.

Direksi PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) atau ASDP yang membawa perusahaan meraih laba tertinggi sepanjang sejarah (Rp637 miliar pada 2023) dan peringkat 7 BUMN terbaik justru dituntut 8,5 tahun penjara.

Mereka dituduh merugikan negara Rp1,25 triliun—98,5% dari nilai akuisisi PT Jembatan Nusantara. Kasus ini menciptakan chilling effect: profesional BUMN takut berinovasi karena kesuksesan bisa lebih berbahaya dari kegagalan.

Pertanyaan mendasar: apakah sistem peradilan masih mampu membedakan korupsi dengan risiko bisnis?

Coba, bayangkan sebentar: Anda adalah Chief Executive Officer (CEO) yang berhasil membawa perusahaan pelat merah dari laba Rp326 miliar (2021) menjadi Rp585 miliar (2022) dan Rp637 miliar (2023)—tertinggi sepanjang sejarah korporasi.

Perusahaan Anda meraih peringkat 7 BUMN terbaik versi Infobank 2024. Pendapatan melonjak dari Rp3,55 triliun menjadi Rp5,03 triliun.

Anda berpikir prestasi ini akan membawa Anda ke jenjang karier yang lebih tinggi, mungkin penghargaan, atau setidaknya apresiasi.

Namun yang datang malah rompi oranye, sel tahanan sejak Februari 2025, dan tuntutan 8,5 tahun penjara dengan tuduhan merugikan negara Rp1,25 triliun—angka yang bahkan mencapai 98,5% dari nilai transaksi yang Anda lakukan.

Selamat datang di Indonesia, negeri di mana Excel punya rumus rahasia yang bisa mengubah profit menjadi loss dengan satu klik.

Kasus ASDP telah memasuki babak akhir persidangan, dan yang tersisa hanyalah pertanyaan menggelisahkan: apakah sistem peradilan kita masih bisa mengenali perbedaan antara korupsi dengan pengambilan keputusan bisnis yang berisiko?

Lonceng Kematian BPK dan Profesionalisme

BPKPMari kita mulai dari yang paling absurd: perhitungan kerugian negara. Dalam persidangan, terungkap fakta yang membuat para ekonom dan auditor profesional mengerutkan dahi.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghitung kerugian negara Rp1,25 triliun—angka yang fantastis—namun perhitungan ini bukan dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), melainkan oleh auditor internal KPK dengan bantuan seorang dosen konstruksi perkapalan tanpa sertifikasi penilai publik.

BPK, sebagai lembaga auditor konstitusional yang seharusnya berwenang menghitung kerugian negara, mengaku tidak pernah diminta KPK untuk melakukan audit.

Ketika dipanggil sebagai saksi ahli, BPK justru menyatakan bahwa audit mereka memberikan opini "Wajar Dengan Pengecualian" hanya untuk dua kapal dengan opportunity loss sekitar Rp4,8 miliar-Rp10 miliar.

Jauh sekali dari Rp1,25 triliun yang didakwakan sebagai kerugian negara.

Pernyataan saksi ahli dari Penilai Publik malah menyatakan sebaliknya: ASDP justru membeli 40% lebih murah dari valuasi PT Jembatan Nusantara.

Valuasi independen menunjukkan PT JN bernilai Rp2,09 triliun, tetapi ASDP hanya membayar Rp1,27 triliun—artinya negara untung Rp820 miliar, bukan rugi.

Seperti pepatah Batak, "aha do pangalahon na hubani pangalahon" (apa gunanya ilmu jika tidak digunakan dengan benar). BPK punya ilmu dan wewenang untuk menghitung kerugian negara, tapi diabaikan.

Penilai Publik bersertifikat menyatakan tidak ada kerugian, tapi kesaksiannya tidak didengar.

Yang dianut justru perhitungan auditor internal yang menilai 53 kapal dengan gross tonnage 99.000 ton hanya Rp19 miliar per unit—setara dengan harga kapal feri kecil tua atau, seperti disebut dalam pleidoi, "besi kiloan."

Rumus Baru: Fakta Tidak Lagi Penting

BPK

Persidangan ASDP yang dimulai Juli 2025 seharusnya menjadi arena di mana kebenaran ditemukan melalui pemeriksaan bukti dan kesaksian ahli.

Namun yang terjadi justru sebaliknya: persidangan menjadi teater di mana naskah sudah ditulis sejak awal, dan para aktor hanya perlu membacakan dialog.

Sepanjang proses persidangan, fakta-fakta yang menguntungkan terdakwa terus bermunculan:

  • Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tidak menemukan aliran dana korupsi

  • KPK mengakui tidak ada aliran uang mencurigakan

  • BPK menyatakan akuisisi dilakukan sesuai ketentuan

  • Saksi dari komisaris dan direksi membantah tuduhan bahwa komisaris tidak menyetujui akuisisi

  • Prof. Rhenald Kasali sebagai ahli manajemen menegaskan mengakuisisi perusahaan rugi adalah hal lazim dalam bisnis

Namun seperti dikeluhkan kuasa hukum terdakwa, Soesilo Aribowo:

"Tuntutan yang dibaca oleh jaksa sama persis dengan BAP [Berita Acara Pemeriksaan] sebelum persidangan dimulai. Fakta-fakta di persidangan yang telah membantah data-data jaksa diabaikan begitu saja."

Ini seperti menonton pertandingan sepak bola dengan wasit yang sudah membawa kartu merah sejak dari rumah, sudah tahu siapa yang akan diusir, dan semua tendangan, passing, dan gol yang terjadi di lapangan tidak relevan dengan keputusannya.

Di Singapura, ketika Keppel Corporation terlibat skandal suap Brasil senilai US$55 juta, proses hukumnya fokus pada membuktikan adanya aliran dana ilegal dan penerima suap.

Di Indonesia, kasus ASDP berjalan tanpa bukti aliran dana korupsi, tanpa penerima suap, bahkan tanpa audit resmi dari BPK—tapi tetap menghasilkan tuntutan 8,5 tahun penjara.

Sindrom "Ojo Sukses"

kapal feri

Yang paling ironis dari kasus ini adalah waktunya. Mantan direksi ASDP justru ditahan dan diadili ketika perusahaan berada di puncak kejayaannya—bukan saat merugi, apalagi terbukti korupsi.

Mereka tidak mengemis pada negara, namun diam-diam membenahi layanan di wilayah 3T (tertinggal, terluar, terdepan) yang selama ini tak pernah menguntungkan.

Justru setelah berhasil mencetak laba tertinggi dalam sejarah ASDP selama tiga tahun berturut-turut, mereka dijatuhi tuduhan. Seolah keberhasilan itu sendiri menjadi kejahatan.

Dalam budaya Jawa, ada istilah "ojo dumeh" (jangan sombong)—tapi di BUMN Indonesia, tampaknya ada tambahan: "lan ojo sukses, mengko disangka korupsi" (dan jangan terlalu sukses, nanti dikira korupsi).

ASDP di bawah kepemimpinan direksi yang kini ditahan berhasil:

  • Meningkatkan laba dari Rp326 miliar (2021) menjadi Rp637 miliar (2023)

  • Menaikkan pendapatan dari Rp3,55 triliun menjadi Rp5,03 triliun

  • Meraih peringkat 7 BUMN terbaik versi Infobank (2024)

  • Menjadi operator feri dengan armada terbesar

Semua ini dicapai setelah—atau bahkan karena—akuisisi PT Jembatan Nusantara yang kini didakwa sebagai korupsi.

Jika akuisisi itu memang merugikan negara Rp1,25 triliun, bagaimana mungkin perusahaan justru mencetak laba tertinggi dan pertumbuhan revenue tertinggi dalam sejarahnya?

Seperti ungkapan Minang, "dari mano asapnyo kalau indak ado apinyo?" (dari mana asapnya kalau tidak ada apinya?) Kalau memang ada korupsi triliunan rupiah yang menggerogoti ASDP, dari mana datangnya laba ratusan miliar yang terus meningkat?

Sistem yang Tuli

Direktur Utama ASDPPada 6 November 2025, mantan Dirut ASDP Ira Puspadewi membacakan nota pembelaannya dengan suara bergetar dan berkali-kali menangis. Bukan karena mengakui kesalahan, melainkan karena frustrasi melihat kebenaran yang diabaikan.

Dalam pleidoinya, ia menyampaikan poin-poin yang seharusnya mengubah arah kasus ini:

  1. Perhitungan kerugian yang tidak sah

    Angka Rp1,25 triliun dihitung oleh auditor internal KPK, bukan BPK atau BPKP. Laporan ini baru selesai akhir Mei 2025—tiga bulan setelah penahanan. Artinya, para terdakwa ditahan lebih dulu, baru kemudian dihitung berapa "kerugiannya."

  2. Nilai kapal yang dimanipulasi

    KPK menilai 53 kapal PT JN dengan gross tonnage 99.000 ton hanya Rp19 miliar per unit. Untuk konteks, kapal feri kecil berusia 20 tahun pun harganya masih di atas itu. Ini seperti menilai Boeing 737 dengan harga mobil Avanza bekas.

  3. Akuisisi yang menguntungkan

    Dengan akuisisi ini, ASDP mendapat 53 kapal dengan izin operasi lengkap di saat pemerintah melakukan moratorium penerbitan izin baru—situasi "now or never" yang tidak akan terulang.

    Lonjakan 70% armada komersial ini sangat berguna untuk ekspansi layanan dan cross-subsidy ke daerah 3T dimana ASDP harus menerima fakta tidak mungkin untung secara komersial.

  4. Framing sistematis

    "Apakah kerugian negara sebesar 98,5% dari harga transaksi itu masuk akal?" tanya mantan Dirut dalam pleidoinya.

    Ini berarti hampir seluruh nilai transaksi dianggap korupsi—seolah-olah ASDP tidak mendapat apa-apa dari akuisisi, padahal faktanya mendapat 53 kapal plus izin operasi yang langsung produktif.

Ia menutup pembelaannya dengan kalimat yang menyayat:

"Saya percayakan sepenuhnya pada majelis hakim Yang Mulia selaku wakil Tuhan dalam perkara ini. Saya percaya kebeningan hati nurani majelis hakim akan mengantarkan kami pada keadilan dan kebenaran yang sebenar-benarnya."

Kalimat yang sama—tentang "hukum tanpa hati nurani"—juga ditulis suaminya dalam surat terbuka beberapa bulan sebelumnya, menggambarkan penderitaan keluarga yang harus menanggung stigma korupsi tanpa pernah menikmati hasil korupsi, karena memang tidak ada korupsi yang terjadi.

Chilling Effect

Dr. Fithra Faisal Hastiadi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) merangkum dampak sistemik dari kasus ini dengan tajam:

"Ketika ASDP sudah mengikuti prinsip Good Corporate Governance yang ketat, sesuai dengan standar dan transparan, masih dituduh koruptif, maka itu menjadi satu variabel ketidakkonsistenan... Ini sebenarnya bukan korupsinya tapi konsistensi kebijakan dan transparansi. Bukan masalah korupsi."

Kasus ASDP menciptakan chilling effect yang mengerikan bagi transformasi BUMN Indonesia.

Pesan yang diterima para profesional di BUMN sangat jelas: jangan mengambil risiko, jangan berinovasi, jangan bertransformasi—karena setiap langkah besar akan dianggap mencurigakan dan berisiko penjara.

Di Korea Selatan, ketika Hyundai Merchant Marine mengakuisisi competitor yang bangkrut untuk bangkit dari krisis, pemerintah memberikan dukungan penuh bahkan dengan debt restructuring.

Di Jepang, ketika Nippon Yusen melakukan ekspansi agresif melalui akuisisi, yang dievaluasi adalah hasil bisnisnya, bukan dulu dicurigai korupsi.

Di Indonesia? ASDP berhasil meningkatkan laba 95% dalam dua tahun melalui akuisisi strategis—dan jawabannya adalah sel tahanan.

Damned If You Do, Damned If You Don't

Kementerian BUMN

Paradoks BUMN Indonesia kini mencapai puncaknya: jika tidak melakukan transformasi, dihakimi karena tidak kompetitif dan terus merugi.

Jika melakukan transformasi dengan akuisisi berani, dihakimi karena "merugikan negara" meski faktanya menghasilkan laba fenomenal.

Para profesional terbaik yang dulu bersedia memimpin BUMN kini berpikir ulang. Mengapa harus mengambil risiko reputasi, kebebasan dan masa depan keluarga untuk perusahaan negara, sementara di sektor swasta mereka bisa berinovasi dengan tenang?

Yang tersisa kemudian adalah dua tipe pemimpin BUMN: yang ultra-konservatif dan tidak pernah mengambil keputusan berisiko (sehingga perusahaan stagnan), atau yang memang berniat korupsi dari awal dan pandai menyembunyikannya sebagai "kehati-hatian."

Kedua tipe ini sama-sama merugikan: yang pertama membuat BUMN jadi zombie companies yang lambat laun mati, yang kedua membuat BUMN jadi sarang korupsi sungguhan yang tak terdeteksi karena tak pernah mengambil langkah besar mencurigakan.

Menunggu Keajaiban

ASDPKasus ASDP kini memasuki tahap akhir: replik, duplik, dan putusan hakim.

Pertanyaannya bukan lagi apakah para terdakwa bersalah atau tidak—fakta persidangan sudah cukup jelas menunjukkan tidak ada korupsi dalam artian aliran dana ilegal atau pengayaan pribadi.

Pertanyaannya adalah: apakah sistem peradilan kita masih mampu membedakan antara korupsi dengan business judgment yang berisiko menyatu dengan risiko?

Apakah majelis hakim akan memiliki "kebeningan hati nurani" untuk melihat bahwa angka Rp1,25 triliun itu adalah halusinasi valuasi, bukan kerugian negara yang nyata?

Bahwa tidak ada aliran dana korupsi karena memang tidak ada korupsi? Bahwa prestasi luar biasa ASDP pasca-akuisisi justru membuktikan keputusan bisnis yang tepat?

Ataukah "ban berjalan guillotine hukum" akan terus berputar tanpa rem, mengabaikan semua fakta persidangan, semua kesaksian ahli, semua bukti prestasi—dan menghasilkan vonis bersalah berdasarkan dakwaan yang ditulis sebelum sidang?

Baca Juga: Trial by Media: Eksekusi Reputasi Sebelum Vonis dalam Kasus ASDP

Akademisi, ekonom, dan pengusaha sudah angkat bicara tentang chilling effect kasus ini terhadap iklim investasi dan transformasi BUMN.

Keluarga para terdakwa sudah menulis surat terbuka sampai ke Presiden, memohon perlindungan hukum. PPATK tidak menemukan aliran dana. BPK tidak menemukan kerugian negara. Saksi ahli menyatakan ASDP justru untung.

Namun seperti bunyi sebuah plesetan, "biarkan kafilah menggonggong, anjing tetap berlalu" —kebenaran tidak punya ruang ketika sistem sudah memutuskan jalan ceritanya sejak awal.

Kita tunggu putusan hakim—apakah akan menjadi preseden yang mencerahkan, atau justru menjadi peringatan bagi para profesional BUMN: jangan pernah bermimpi terlalu besar, karena kesuksesan bisa lebih berbahaya daripada kegagalan.

Apa artinya buat kita? Ibarat menyaksikan sebuah bus berpenumpang 280 juta orang yang meluncur pelan menuju jurang, akankah kita hanya berdiri di tepi jalan, menonton, dan berdiam diri?***

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance