Jakarta, TheStance – Meski kontroversial, pemerintah akhirnya tetap memberi gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto, Senin (10/11/2025), bertepatan dengan Hari Pahlawan Nasional.

Dua anak Soeharto, Siti Hardijanti alias Tutut Soeharto dan Bambang Trihamodjo, hadir mewakili sebagai ahli waris. Mereka menerima secara langsung gelar tersebut dari Presiden Prabowo Subianto, yang merupakan mantan menantu Soeharto.

Gelar pahlawan nasional ini diberikan sesuai dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 116/TK Tahun 2025 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional.

Soeharto memimpin Indonesia selama 32 tahun dari tahun 1967-1998. Dia lengser setelah aksi demonstrasi besar-besaran pada Reformasi 1998 yang menentang KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme).

Jasa Soeharto Versi Pemerintah

Prabowo - Soeharto

Menteri Kebudayaan sekaligus Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK), Fadli Zon, mengatakan penetapan gelar pahlawan nasional itu telah melalui proses panjang dan tidak mengandung persoalan hukum.

"Sebagaimana itu dari bawah tadi, sudah melalui suatu proses. Tidak ada masalah hukum, tidak ada masalah hal-hal yang lain," ujarnya di Kompleks Istana Kepresidenan, Rabu (5/11/2025).

Dewan GTK menilai Soeharto punya jasa dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan nasional. Jasa itu antara lain keterlibatan dalam Serangan Umum 1 Maret, pertempuran Ambarawa, pertempuran Semarang, dan Operasi Mandala Irian Barat.

Tak hanya itu, Fadli Zon juga menilai program pembangunan lima tahunan (Repelita) dan pengentasan kemiskinan sebagai nilai tambah. "Juga pada waktu itu menghentikan pemberontakan yang dilakukan melalui gerakan 30 September PKI," tambahnya.

Sementara itu, terkait dugaan korupsi yang selama ini menyeret nama Soeharto, Fadli Zon menegaskan bahwa proses hukum atasnya telah tuntas, dimana Soeharto dinyatakan tidak terkait dengan tuduhan korupsi.

"Yang terkait dengan kasus-kasus itu kan pasti sudah ada proses hukumnya. Misalnya apa yang dituduhan? Semua ada proses hukumnya, dan proses hukum itu sudah tuntas dan itu tidak terkait dengan Presiden Soeharto," katanya.

Sebelumnya, pada 8 Agustus 2000, Kejaksaan Agung resmi mendakwa Soeharto telah menggelapkan uang negara sebesar US$419 juta (setara Rp7 triliun) melalui tujuh yayasan yang dimiliki Soeharto bersama kroninya.

Atas alasan kesehatan, Soeharto tak pernah diadili dalam pengadilan atas dugaan itu. Kejaksaan Agung mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3). Melalui surat itu, tuntutan atas dugaan kasus korupsi Soeharto dihentikan.

Terkait tuduhan dan adanya campur tangan Soeharto dalam pembantaian massal 1965, Fadli Zon juga menegaskan bahwa hal itu tidak pernah terbukti. "Enggak pernah terbukti. Pelaku genosida apa? Enggak ada. Saya kira enggak ada itu."

Keluarga Pahlawan Nasional Dapat Rp57 Juta per Tahun

Menteri Sosial Saifullah Yusuf

Menteri Sosial, Saifullah Yusuf alias Gus Ipul, selaku perwakilan pemerintah yang mengurusi seleksi nama-nama calon pahlawan nasional, menjelaskan Soeharto adalah satu dari banyak tokoh yang diusulkan daerah.

Dia mengeklaim masuknya nama Soeharto telah melewati proses penyerapan aspirasi, diskusi, hingga pembahasan yang komprehensif.

Sementara, untuk keputusan final mengenai penetapan Soeharto sebagai pahlawan nasional berada di tangan tim independen bentukan Dewan Gelar, Penghargaan, dan Tanda Jasa yang diketuai Menteri Kebudayaan, Fadli Zon.

Gus Ipul menambahkan, dengan gelar pahlawan nasional, nantinya pemerintah akan menyalurkan tunjangan senilai Rp57 juta setiap tahun untuk keluarga pahlawan nasional. Pemberian itu sebagai bentuk penghormatan kepada pahlawan.

"Kami beri dukungan Rp57 juta per tahun (untuk keluarga pahlawan nasional)," tutur Gus Ipul di Istana Negara, Senin (10/11/2025).

"Itu sebagai bagian dari bentuk silaturahmi. Kalau dilihat nilainya tidak terlalu banyak, tapi ini bagian untuk menghormati, menghargai sehingga keluarga, bisa terus membangun semangat dari para pahlawan," tambahnya.

Usulkan Soeharto Jadi Pahlawan Berarti Tak Paham Sejarah

Mustofa Bisri

Sebelum gelar pahlawan nasional resmi diberikan kepada Soeharto pada Senin, (10/11/2025), penolakan sudah dilakukan sejumlah pihak.

Salah satu yang bersuara lantang adalah Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus.

"Saya paling tidak setuju kalau Soeharto dijadikan pahlawan nasional," tutur Gus Mus pada Rabu (5/11/2025), dikutip dari situs resmi NU.

Kiai NU yang juga budayawan itu beralasan Soeharto telah memimpin pemerintahan yang merepresi umat Islam di Indonesia. Menurutnya, banyak ulama pesantren yang diperlakukan tidak adil selama kepemimpinan Soeharto.

"Banyak kiai yang dimasukin sumur, papan nama NU tidak boleh dipasang, yang suruh dipasang banyak dirobohin oleh bupati-bupati. Adik saya sendiri, Kiai Adib Bisri akhirnya keluar dari PNS karena dipaksa masuk Golkar," katanya.

Rais Aam PBNU 2014-2015 itu juga menyatakan bahwa orang NU yang ikut menyetujui pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto sebagai orang yang tidak tahu sejarah.

"Orang NU kalau ada yang ikut-ikutan mengusulkan berarti tidak ngerti sejarah," katanya.

Sementara itu, Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (Gemas) juga sudah menyampaikan surat terbukanya untuk Fadli Zon tertanggal 30 Oktober 2025. Gemas menilai Soeharto tidak pantas menyandang gelar tersebut.

Surat yang ditandatangani oleh 185 lembaga dan 256 individu itu menjelaskan ada banyak alasan mengapa Soeharto dinilai tak layak. Salah satunya, pemerintahan Soeharto selama Orde Baru menunjukkan pola kekuasaan otoriter dan represif.

Hal ini mengakibatkan terjadinya pelanggaran berat hak asasi manusia, mulai dari pembunuhan, penghilangan paksa, penyiksaan, kekerasan seksual, hingga perampasan tanah dan diskriminasi sosial yang sistematis.

Tidak ketinggalan, Gemas juga melampirkan hasil penyelidikan Komnas HAM tentang sembilan pelanggaran berat HAM yang terjadi di bawah kepemimpinan Soeharto.

Sembilan pelanggaran berat HAM itu termasuk Pembantaian 1965-1966; Penembakan Misterius (1982-1985); Peristiwa Talangsari (1989); Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis (1989-1998); Penghilangan Orang secara Paksa (1997-1998); dan Peristiwa Mei 1998.

Namun sayangnya, semua fakta dan masukan berbagai kalangan seperti diabaikan begitu saja oleh pemerintah.

Simbol Matinya Reformasi

soeharto - reformasi

Sementara itu, Kepala Divisi Advokasi Indonesia Corruption Watch (ICW), Egi Primayogha mengatakan pemberian gelar pahlawan nasional kepada mantan presiden Soeharto menjadi simbol kematian dari reformasi.

Ini dikarenakan reformasi memiliki sejumlah agenda, yakni mengadili Soeharto dan kroni-kroninya, memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme.

"Namun agenda reformasi terbukti gagal. Soeharto seharusnya tidak pantas mendapatkan gelar pahlawan nasional," ujar Egi, dalam keterangannya, Senin (10/11/2025).

Soeharto selama ini tidak pernah diadili atas dugaan kejahatan yang dilakukan. Penegakan hukum kejahatan korupsi yang Soeharto lakukan bersama kroni-kroninya juga tidak pernah dituntaskan.

Menurut dia, korupsi sistemik di Indonesia yang diwariskan Soeharto juga tidak pernah hilang. Apalagi, aktor bisnis dan politik di Indonesia kini masih banyak yang terhubung dengan Orde Baru.

Selain itu, reformasi gagal menegakkan keadilan bagi korban kejahatan Soeharto. Akibatnya, para penguasa berikutnya dapat mengulang kejahatan yang sama tanpa bayang-bayang akan diadili.

"Sudah saatnya kita melupakan reformasi, dan mulai memikirkan langkah berikutnya untuk pemerintahan yang bersih dan berdiri di atas prinsip hak asasi manusia," ujarnya.

Gelar Pahlawan Tidak Boleh Menutupi Kesalahan Masa lalu

Soeharto

Sementara itu, sejumlah aktivis dan tokoh Gerakan Reformasi 98 menyuarakan keprihatinan dan penolakan terhadap keputusan pemerintah yang menganugerahi Presiden ke-2 RI, Soeharto, sebagai Pahlawan Nasional.

Mereka menilai keputusan itu berpotensi menodai integritas moral bangsa dan melukai keadilan sejarah.

Dalam pernyataan bersama yang ditandatangani Andi Arief, Rocky Gerung, Bivitri Susanti, Syahganda Nainggolan, Denny Indrayana dan sejumlah tokoh lain, disebutkan bahwa pengakuan terhadap jasa seseorang tak boleh dijadikan dalih untuk menutupi kesalahan masa lalu.

“Kami tak menolak mengakui jasa siapapun terhadap Republik ini, termasuk Soeharto. Tetapi kepahlawanan adalah hal yang jauh lebih besar dan penting dari sekadar menghargai jasa seseorang,” tulis pernyataan yang diunggah Andi Arief lewat akun X, Senin, (10/11/2025).

Mereka menegaskan gelar pahlawan tak semestinya dijadikan alat menormalisasi kekuasaan yang sarat pelanggaran. Mereka menyebut menutupi kejahatan sejarah dengan narasi jasa sama saja menyuntikkan bius amnesia sejarah ke tubuh bangsa.

“Kepahlawanan adalah mekanisme moral kolektif: Cara suatu bangsa untuk mendidik anak-anaknya membedakan benar dari salah dalam sejarah. Memilih mana yang patut dihormati dan mana yang harus menjadi pelajaran,” ujar mereka.

Baca Juga: Kontroversi Soeharto Sebagai Pahlawan Nasional

Para aktivis juga menyinggung soal ketimpangan dalam rekonsiliasi sejarah. Jika rekonsiliasi dimaksudkan untuk menyembuhkan luka bangsa, mengapa negara tidak memberi pengakuan serupa kepada para tokoh kiri Indonesia?

Selama ini mereka berperan dalam perjuangan anti-kolonialisme tapi dihapus dari catatan sejarah resmi karena perbedaan ideologi.

"Bangsa yang menutupi masa lalunya bukan sedang membangun masa depan, melainkan memperpanjang bayang-bayang sejarah yang belum selesai," pungkas para aktivis.

Upaya Pemerintah Tulis Sejarah Versi Baru

Andi Achdian - Unas

Pengajar studi sosiologi Universitas Nasional (Unas), Andi Achdian menilai upaya menetapkan Soeharto menjadi pahlawan nasional dipandang sebagai cara pemerintah "menulis lembar sejarah baru".

Permasalahannya, kata Andi, keputusan itu memiliki konsekuensi yang tidak kecil. "Secara hukum jelas konsekuensinya kalau dia dijadikan pahlawan nasional, artinya adalah menutup semua pintu bagi apa yang disebut pelanggaran HAM berat."

"Jadi selesai sudah. Tidak akan ada lagi pembicaraan itu. Apapun yang dilakukan oleh aktivis-aktivis HAM, sudah tidak punya konsekuensi lagi." ungkapnya.

Menurut Andi, penetapan pahlawan nasional kepada Soeharto juga menandakan demokrasi Indonesia yang semakin rusak.

"Karena prinsip dasar dari demokratisasi Indonesia adalah penegakan HAM, seperti yang ada di dalam agenda Reformasi. Tapi, itu dilunturkan dengan pelaku pelanggaran HAM berat bisa jadi pahlawan nasional. Artinya, ini cerita akhir Reformasi." pungkasnya. (est)

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance