Jakarta, TheStanceID - Sejumlah kalangan baik sejarawan dan masyarakat sipil mengritik usulan soal pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto.
Mereka beralasan seorang pahlawan nasional menurut definisi undang-undang tidak boleh cacat moral dan politik sepanjang hidup.
Namun, sikap berbeda disampaikan Pemerintah. Menteri Sosial Saifullah Yusuf alias Gus Ipul menyatakan Presiden RI kedua, Soeharto, telah memenuhi syarat formal menjadi pahlawan nasional.
Oleh karena itu, Pemerintah mengajukan nama Soeharto menjadi pahlawan nasional ke Dewan Gelar.
Gus Ipul menjelaskan, nama Soeharto dan Presiden Ke-4 Abdurahman Wahid atau Gus Dur sebenarnya telah diusulkan menjadi pahlawan nasional sejak 5 sampai 10 tahun lalu. Namun terjadi hambatan karena ada persyaratan yang tidak terpenuhi.
"Presiden Soeharto dan presiden Gus Dur misalnya itu sudah diusulkan lima atau 10 tahun yang lalu tapi kemarin itu karena masih ada hambatan-hambatan syarat-syarat formal maka masih ditunda," kata Mensos dalam keterangannya, Rabu (29/10/2025).
Sudah Penuhi Syarat Formal

Berdasarkan catatan The Stance, Soeharto sudah berulang kali diusulkan sebagai pahlawan nasional sejak 2010.
Akan tetapi, hal itu tidak terpenuhi karena terganjal adanya Ketetapan MPR Nomor XI Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Namun pada 2024, usulan ini kembali berembus diikuti pencabutan nama Soeharto yang termaktub pada Pasal 4 Ketetapan MPR Nomor XI Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.
Pada Maret 2025, Kementerian Sosial bersama Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) resmi mengusulkan Soeharto sebagai pahlawan nasional.
"Nah bedasarkan pertemuan-pertemuan yang sudah dibuat diskusikan dengan kami akhirnya kita semua sepakat untuk mengusulkan 45 nama itu diteruskan ke dewan gelar untuk diseleksi lebih lanjut," ucap pria yang juga menjabat Sekjen PBNU ini.
Gus Ipul optimis nama-nama Pahlawan Nasional yang baru bisa diumumkan sebelum peringatan Hari Pahlawan, yang jatuh pada 10 November 2025.
"Ya mudah-mudahan insya Allah, sebelum 10 November dan nanti dari nama-nama itu akan dipilih beberapa nama," pungkasnya.
Total, ada 40 nama yang diusulkan menjadi pahlawan nasional. Segelintir baru diajukan pada 2025, termasuk tokoh buruh Marsinah. Sebagian besar merupakan usulan yang tertunda, seperti Presiden kedua, Soeharto, yang diajukan sejak 2010.
Selain keduanya, ada Presiden keempat Indonesia, Abdurrahman Wahid, dan mantan Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin.
Soeharto Cacat Moral dan Politik

Sejarawan UGM Sri Margana mengkritisi pengusulan nama Soeharto menjadi pahlawan nasional.
Pasalnya, seorang pahlawan nasional menurut definisi undang-undang tidak boleh cacat moral dan politik sepanjang hidup.
"Soeharto kan ini bukan yang pertama kali diajukan, beberapa kali sudah diajukan dan ditolak oleh dewan gelar sebelumnya, salah satu alasannya adalah persoalan cacat moral kan," kata Sri dalam keterangannya.
Selain itu, Sri menilai aneh rasanya jika seseorang yang mendapat gelar pahlawan, pada saat yang sama juga dianggap sebagai pemimpin sebuah rezim yang melakukan pelanggaran HAM berat.
Apalagi, pada 2023 lalu, negara melalui Presiden ketujuh RI Joko Widodo (Jokowi) mengakui terjadinya 12 pelanggaran HAM berat masa lalu dimana sebagian besar kasusnya terjadi pada masa Orba di bawah kepresidenan Soeharto.
"Termasuk Marsinah (aktivis buruh perempuan) itu yang akan juga diusulkan jadi pahlawan itu terjadi pada rezimnya Soeharto, pelanggaran HAM berat. Jadi kalau dikembalikan kepada persyaratan undang-undang yang ada maka sebetulnya dia tidak layak untuk jadi pahlawan nasional," ujarnya.
Untuk itu, dirinya berharap, Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK) mempertimbangkan dengan baik soal usulan tersebut.
"Saya sendiri termasuk yang tidak setuju kalau Soeharto jadi pahlawan nasional karena masalah itu. Mungkin kalau persyaratan administratif Soeharto sudah memenuhi yang lain seperti berkontribusi melawan penjajah semua syarat administratif itu, tapi pahlawan nasional harus konsisten dari awal sampai meninggal, tidak pernah melakukan hal-hal yang tercela," katanya.
Pengkhianatan Mandat Reformasi 1998

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan, upaya menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional adalah suatu bentuk pengkhianatan terbesar atas mandat rakyat sejak 1998.
Menurutnya, jika usulan ini terus dilanjutkan, reformasi berpotensi berakhir di tangan pemerintahan Prabowo.
"Soeharto jatuh akibat protes publik yang melahirkan reformasi. Oleh karena itu menganugerahi Soeharto gelar pahlawan nasional bisa dipandang sebagai akhir dari reformasi itu sendiri," tegasnya.
Senada, Wakil Koordinator Kontras, Andrie Yunus menilai dengan pencabutan TAP MPR 11/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, tak lantas membuat Soeharto layak menjadi pahlawan nasional.
Karena meski dibebaskan secara politis atas dugaan nepotisme dan korupsi, nama Soeharto masih terkait dengan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.
"Pada sekitar Mei sampai dengan Juni, kami bahkan telah menyerahkan kepada Kementerian Kebudayaan maupun kepada Kementerian Sosial terkait catatan-catatan pelanggaran hak asasi manusia yang berat, di mana kita tahu terdapat 5-6 kasus pelanggaran berat HAM yang terjadi di era Orde Baru, dan itu disebabkan karena rezim pada saat itu menggunakan kekuatan militer untuk melakukan kekerasan," kata Andrie, dalam keterangannya.
Selain itu, kaitan erat dengan nepotisme di masa Orde Baru, sudah sepantasnya Soeharto tidak memenuhi syarat pemberian gelar pahlawan.
"Dari syarat-syarat tersebut yang juga tidak terpenuhi, kemudian catatan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan di era Soeharto, kami tegaskan kembali bahwa Soeharto tidak layak untuk diberikan gelar pahlawan," ujar dia.
Golkar dan Nasdem Dukung Gelar Pahlawan Untuk Soeharto

Dukungan atas rencana penganugerahan gelar Pahlawan Nasional bagi mantan presiden Soeharto datang dari sejumlah partai politik di parlemen, di antaranya Partai Golkar dan Nasdem.
Sekretaris Jenderal Partai Golkar M. Sarmuji menyambut baik langkah Kementerian Sosial (Kemensos) yang mengusulkan 40 tokoh untuk memperoleh gelar Pahlawan Nasional, termasuk Soeharto. Ia menilai Soeharto berjasa besar bagi bangsa ini.
"Perdebatan soal pemberian gelar pahlawan kepada Pak Harto tentu wajar. Setiap tokoh besar pasti memiliki sisi yang menuai pro dan kontra. Namun, perbedaan pandangan itu tidak bisa menghapus kenyataan bahwa Pak Harto memiliki jasa besar bagi bangsa ini," kata Sarmuji, Rabu (22/10/2025).
Ketua Fraksi Partai Golkar DPR RI ini menilai kepemimpinan Soeharto membawa perubahan besar dalam waktu relatif singkat, terutama di bidang ketahanan pangan dan pembangunan ekonomi.
"Di bawah kepemimpinan Pak Harto, situasi itu berubah drastis. Indonesia bukan hanya keluar dari krisis pangan, tetapi juga sempat mencapai swasembada yang membanggakan," tambah Sarmuji.
Senada, Ketua Fraksi Partai Nasdem DPR Viktor Bungtilu Laiskodat mengatakan mendukung rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto, dengan pertimbangan jejak sejarah serta kontribusinya terhadap pembangunan bangsa.
Menurut dia, setiap tokoh bangsa memiliki jejak pengabdian yang patut diapresiasi. Ia mengajak masyarakat untuk melihat rencana ini secara arif dan tidak terjebak pada penilaian yang sempit. Lagipula, kata Viktor, tidak ada pemimpin yang sempurna.
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang arif menghargai pengabdian dan kontribusi tokoh terhadap bangsa dan negara. Setiap era memiliki tantangan dan keputusan besar yang diambil demi keberlangsungan negara. Dalam konteks itu, kita perlu menilai secara objektif peran Presiden Soeharto dalam membangun fondasi ekonomi dan menjaga stabilitas nasional,” ujar Viktor dalam keterangannya, Senin (27/10/2025).
Baca Juga: Sarat Kontroversi, Sejarawan Minta Usulan Soeharto Jadi Pahlawan Nasional Ditunda
Salah satu putri Soeharto, Siti Hediati Hariyadi atau Titiek Soeharto, menyambut baik rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada ayahnya.
Titiek yang juga sebagai Ketua Komisi IV DPR RI mengaku bersyukur dan berterimakasih terkait rencana pemberian gelar kepada Presiden Soeharto.
"Alhamdulillah. Terimakasih, kalau teralisir itu terimakasih, alhamdulillah," kata Titiek usai mengikuti acara pelepasliaran satwa dilindungi penyu, di Pantai Saba, Kabupaten Gianyar, Bali, Senin (27/10/2025) sore.
PDIP Tolak Soeharto Jadi Pahlawan Nasional

Sementara itu, berbeda dengan Partai Golkar dan Nasdem, PDI Perjuangan (PDI-P) menilai Soeharto tidak layak menerima gelar pahlawan nasional.
Politisi PDI-P, Guntur Romli mengatakan, gelar "hero" untuk Soeharto akan menimbulkan stigma gerakan reformasi sebagai "villain" alias penjahat, atau musuh dari pahlawan.
Para korban khususnya mahasiswa yang memperjuangkan demokrasi pada 1998 akan dianggap sebagai penjahat dan pengkhianat.
"Kalau Soeharto mau diangkat pahlawan, maka otomatis mahasiswa ’98 yang menggerakkan reformasi dan menggulingkan Soeharto akan disebut penjahat dan pengkhianat. Ini tidak bisa dibenarkan,” ujar Guntur.
Selain itu, pemberian gelar itu juga akan mengaburkan sejumlah catatan kelam pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi sepanjang masa Orde Baru.
“Kalau Soeharto diangkat pahlawan, maka peristiwa-peristiwa yang disebut pelanggaran HAM seperti peristiwa 1965-1966, Penembakan Misterius 1982-1985, Talangsari 1989, Rumah Geudong, Penghilangan Paksa 1997–1998, Trisakti, Semanggi I dan II, hingga Kerusuhan Mei 1998 bukan lagi pelanggaran HAM, tapi bisa disebut kebenaran oleh rezim Orde Baru,” tutur Guntur.
Dia mengaku miris dengan usulan Soeharto sebagai pahlawan. Menurutnya, usulan itu seakan menukar alias barter Soeharto dengan gelar pahlawan Gus Dur dan Marsinah, yang namanya juga masuk dalam daftar 40 nama yang diusulkan.
Padahal, kata Guntur, Gus Dur maupun Marsinah dikenal kepahlawanannya karena melawan Soeharto. "Padahal Gus Dur dan Marsinah dikenal melawan Soeharto dan Orde Baru maka, secara logika tidak mungkin semuanya disebut pahlawan." (est)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance