Jakarta, TheStance – Pemotongan anggaran transfer ke daerah (TKD) yang dikeluhkan oleh sebagian besar kepala daerah menjadi salah satu indikator telah terjadinya resentralisasi fiskal.
Sebagaimana diketahui, anggaran TKD pada APBN 2026 memiliki pagu Rp699 triliun atau dipangkas dari outlook APBN 2025 sebesar Rp864 triliun. Meskipun, pagu anggaran tahun depan yang sudah disahkan DPR beberapa waktu lalu itu sudah dinaikkan dari rancangan awal yang hanya sebesar Rp649 triliun.
Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi), Bursah Zarnubi, mengatakan terdapat sejumlah fakta terjadinya resentralisasi di berbagai sektor kehidupan di Indonesia.
"Ada fakta resentralisasi berbagai sektor kehidupan terutama resentralisasi dalam kebijakan fiskal, baik itu melalui (dana) bagi hasil maupun TKD, transfer keuangan daerah," ujarnya pada acara virtual Forum Diskusi Insan Cita dengan topik 'Transparansi dan Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Daerah', Senin (27/10/2025).
Apkasi Kritik Pemotongan TKD

Dalam diskusi tersebut, Bursah yang merupakan Bupati Lahat itu, mengkritik kebijakan Menteri Keuangan (Menkeu) yang memotong anggaran TKD. Apalagi, keputusan itu dilakukan secara tiba-tiba dan tanpa sosialisasi.
Dia mencontohkan dana bagi hasil (DBH) di Kabupaten Lahat dipotong Rp700 miliar. Kemudian, anggaran dari pusat ke Kabupaten Lahat senilai Rp318 miliar juga dipotong.
"Ini fakta di setiap daerah itu menjerit, tetapi jeritan ini enggak pernah keluar. Sementara itu intelektualnya diam, resentralisasi ini berjalan mulus, enggak ada yang kritik, DPR-nya stempel," ungkapnya.
Bursah menilai, penambahan anggaran TKD dari Rp649 triliun pada rancangan APBN menjadi Rp699 triliun versi UU APBN 2026 bukan berarti kenaikan pagu. Sebab, dia membandingkan anggaran ke daerah tahun depan dengan outlook belanja TKD tahun ini yang mencapai Rp864 triliun.
"Ini bukan kenaikan, tetapi karena buzzer-nya Menteri Keuangan banyak banget dipikir kita menambah (anggaran), padahal Rp171 triliun TKD yang dikurangi. Ini menimbulkan banyak persoalan," tuturnya.
Bursah tidak membantah bahwa pemotongan anggaran ke daerah itu sejalan dengan semakin besarnya kebutuhan anggaran program-program prioritas pemerintah pusat, yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto. Misalnya, program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang ditetapkan memiliki pagu anggaran Rp335 triliun tahun depan.
"Kami bisa pahami itu, tetapi sebetulnya Menteri Keuangan bisa menjelaskan kepada Presiden bahwa Rp335 triliun itu kan enggak bisa sekali pakai dalam satu periode untuk memenuhi Makan Bergizi Gratis. Bisa di-carry over di tahun berikutnya," ujar Bursah.
Ketidakpercayaan Pemerintah pada Daerah

Pria yang memimpin asosiasi 415 pemerintah kabupaten kota se Indonesia ini juga mempertanyakan langkah Menkeu Purbaya yang mengambil uang Rp200 triliun dari BI untuk diberikan ke bank himbara dan bukan ke daerah yang terbukti bisa efektif dalam menumbuhkan ekonomi di daerah. Apalagi, bank Himbara tidak mengalami kekurangan atau kendala secara likuiditas.
"Logisnya untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan membuka lapangan pekerjaan baru kenapa nggak diberikan ke daerah 200 trilyun?," tanya Bursah.
Dia menilai akar masalah dari persoalan ini adalah ketidakpercayaan pemerintah kepada daerah.
Padahal, kata Bursah, selama ini daerah dituntut oleh Kementerian Dalam Negeri untuk mengawal kebijakan-kebijakan prioritas pemerintah, mulai dari MBG, sekolah unggulan, sekolah rakyat, Koperasi Merah Putih dan program prioritas lainnya.
"Intinya itu adalah kenapa ada arus balik sentralissi, padahal 60 persen kegiatan itu ada di kabupaten-kota. Maka dengan tidak adanya transfer berarti presiden tidak percaya dengan kami," keluh Bursah.
Dia mengakui, banyak kepala daerah sebenarnya mengeluhkan hal yang sama, namun banyak pemerintah daerah (pemda) yang takut mengutarakan pendapatnya.
"Memang kepala daerah banyak bergumam di hati tetapi enggak berani bicara karena berbagai faktor politik, karena kemampuan dia menyampaikan persoalan di depan publik. Persoalan sama, mereka semua menjerit pemotongan TKD dilakukan katakanlah bisa sewenang-wenang," terangnya.
Indikasi Sentralisasi Fiskal Menguat

Ekonom Bright Institute Awalil Rizky menilai pemerintah pusat tengah mengarah pada praktik sentralisasi fiskal, seiring dengan turunnya tajam alokasi transfer keuangan daerah (TKD) dalam beberapa tahun terakhir.
Menurutnya, langkah tersebut berpotensi menggerus semangat desentralisasi fiskal yang menjadi landasan utama reformasi keuangan pasca-otonomi daerah.
“Persoalannya bukan pada transparansi keuangan daerah, tetapi pada turunnya transfer keuangan daerah yang sangat signifikan. Tahun ini penurunannya sekitar 25 persen,” ujar Awalil dalam diskusi tersebut.
Awalil menilai, narasi yang disampaikan Menteri Keuangan Purbaya soal dana mengendap dan rendahnya realisasi belanja daerah tidak berdiri di ruang hampa. Menurutnya, pernyataan semacam itu justru muncul bersamaan dengan penurunan drastis alokasi TKD, sehingga berpotensi membentuk opini publik yang tidak proporsional terhadap kinerja pemerintah daerah.
“Seolah-olah daerah tidak becus mengelola keuangan, padahal realitasnya pemerintah pusat sendiri menghadapi masalah serupa,” ujarnya.
Dana Mengendap Juga Terjadi di Pusat

Awalil mencontohkan, Saldo Anggaran Lebih (SAL) pemerintah pusat yang mencapai Rp457 triliun, juga dapat dikategorikan sebagai dana mengendap. Selain itu, realisasi belanja pemerintah pusat hingga kuartal ketiga 2025 baru sekitar 60 persen, dengan beberapa kementerian di kisaran 50 persen.
Bahkan, untuk program prioritas seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) serta Sekolah Rakyat, realisasi belanja baru mencapai masing-masing 25 persen dan 8 persen.
“Masalah rendahnya realisasi belanja bukan hanya di daerah, tapi juga terjadi di pusat. Karena itu, pusat seharusnya memberi contoh, bukan sekadar menuding daerah,” tegasnya.
Selain itu, Awalil juga menyoroti aspek transparansi. Ia menilai publikasi laporan keuangan pemerintah pusat masih tergolong lambat. Laporan keuangan pemerintah pusat tahun 2024, misalnya, baru tersedia pada Juli 2025 dan baru dapat diakses publik beberapa bulan setelahnya.
Kondisi ini, menurutnya, menunjukkan bahwa transparansi bukan hanya persoalan di daerah, tetapi juga di tingkat pusat.
“Kalau laporan realisasi APBN saja baru tersedia pertengahan tahun berikutnya, bagaimana publik bisa ikut mengawasi secara efektif?” katanya.
Langkah ini, menurut Awalil, memperkuat kesan semakin terbatasnya akses publik terhadap informasi fiskal negara.
Berdasarkan catatan Awalil, alokasi transfer keuangan daerah tahun 2026 sebesar Rp699 triliun, turun Rp226 triliun dibanding tahun sebelumnya. Penurunan terbesar terjadi pada Dana Bagi Hasil (DBH) yang anjlok sekitar Rp134 triliun.
“TKD masih menjadi sumber utama pendapatan APBD, terutama bagi kabupaten dan kota. Ini hak daerah, dan semangat desentralisasi keuangan harusnya tetap dijaga,” ujarnya.
Awalil menambahkan, dalih pemerintah bahwa “belanja pusat juga dinikmati daerah” tidak sepenuhnya benar. Menurutnya, belanja pusat umumnya berbasis proyek dan tidak selalu menjawab kebutuhan spesifik masyarakat daerah.
“Dulu juga begitu, belanjakan di daerah-daerah katanya. Tapi yang beneran dibelanjakan daerah itu diambil oleh pusat,” ungkapnya.
Awalil menilai tren sentralisasi fiskal ini mulai terlihat sejak 2017, dengan alasan bahwa pemerintah daerah tidak mampu mengelola dana secara efisien. Namun, ia menegaskan bahwa perbaikan tata kelola keuangan daerah seharusnya tidak dijadikan alasan untuk mengurangi hak fiskal mereka.
“Kalau ada kelemahan di daerah, tentu harus diperbaiki. Tapi jangan sampai itu dijadikan alasan untuk menggeser kembali kewenangan fiskal ke pusat,” pungkasnya. (est)
imak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance