Jakarta, TheStance – Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyoroti besarnya dana pemerintah daerah yang masih mengendap di bank. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, total dana menganggur mencapai Rp234 triliun.
Angka tersebut merupakan akumulasi simpanan daerah hingga akhir September 2025.
Bank Indonesia (BI) ahirnya melaporkan simpanan pemda di bank berdasarkan data per 15 Oktober 2025.
Berikut 15 pemda dengan simpanan tertinggi:
Provinsi DKI Jakarta - Rp14,68 triliun
Provinsi Jawa Timur - Rp6,84 triliun
Kota Banjarbaru - Rp5,17 triliun
Provinsi Kalimantan Utara - Rp4,71 triliun
Provinsi Jawa Barat - Rp4,17 triliun
Kabupaten Bojonegoro - Rp3,61 triliun
Kabupaten Kutai Barat - Rp3,21 triliun
Provinsi Sumatera Utara - Rp3,11 triliun
Kabupaten Kepulauan Talaud - Rp2,62 triliun
Kabupaten Mimika - Rp2,49 triliun
Kabupaten Badung - Rp2,27 triliun
Kabupaten Tanah Bumbu - Rp2,11 triliun
Provinsi Bangka Belitung - Rp2,10 triliun
Provinsi Jawa Tengah - Rp1,99 triliun
Kabupaten Balangan - Rp1,86 triliun.
Serapan Anggaran Rendah

Mengapa pemda memiliki dana menganggur di bank?
Menurut Purbaya, besarnya dana menganggur itu bukan karena kekurangan anggaran, melainkan karena lambatnya realisasi belanja APBD.
Padahal pusat sudah menyaluran dana ke daerah dengan cepat.
Rendahnya serapan anggaran ini, kata Purbaya, membuat simpanan uang daerah di bank terus menumpuk.
"Jadi jelas ini bukan soal uangnya tidak ada, tapi soal kecepatan eksekusi," kata Purbaya dalam acara Pengendalian Inflasi Daerah 2025 di Kantor Kemendagri, Jakarta, Senin (20/10/2025).
Purbaya juga menyoroti praktik sebagian daerah yang menempatkan dana kasnya di bank pusat di Jakarta, bukan di wilayah masing-masing.
"Itu kan daerahnya enggak ada uang jadinya. Barangnya enggak bisa muter tuh, enggak bisa minjamkan di sana. Harusnya walaupun enggak dibelanjakan, biar aja uangnya di daerah," katanya.
Purbaya mengingatkan agar dana pemerintah, baik pusat maupun daerah, tidak dikelola untuk mencari keuntungan bunga dari deposito.
"Kelola dana pemda di bank dengan bijak, simpan secukupnya untuk kebutuhan rutin, tapi jangan biarkan uang tidur. Uang itu harus kerja bantu ekonomi daerah," katanya.
Gubernur Jabar dan Sumut Membantah Parkir Dana di Bank

Sejumlah kepada daerah xmembantah pernyataan Purbaya soal memarkir dana daerah di bank, misalnya Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, dan Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution.
Dedi mengklaim, dana mengendap pemerintah provinsi Jabar hanya sebesar Rp2,6 triliun, tidak sebesar Rp4,17 triliun seperti disampaikan Purbaya.
"Data di Kemendagri dengan data dari Pemprov sama bahwa terhitung pada tanggal 17 Oktober itu angkanya sekitar Rp2,6 triliun. Nanti dicek lagi datanya ada di sistem. Itu sama, tidak ada perbedaan," kata Dedi saat mendatangi Gedung Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Rabu (22/10/2025).
Menurut Dedi, angka tersebut bersifat fluktuatif karena adanya pembayaran rutin seperti gaji pegawai, kegiatan pemerintah, dan kontrak kerja yang masih berjalan. Dia menepis anggapan bahwa daerah menimbun uang untuk mendapatkan bunga deposito.
Dedi menyebut, lambatnya realisasi anggaran bukan berarti daerah sengaja menahan belanja publik, melainkan pemerintah daerah tengah menjalankan efisiensi agar anggaran tersalurkan secara tepat sasaran.
“Jadi tidak ada yang disebut uang disimpan atau diendapkan. Kita cek dulu kan sumbernya dari BI. Kita mau tanya ke BI uang 4,1 (Rp4,17 triliun) itu kapan ada uang itu? Karena di kas kami nggak ada gitu kan,” katanya.
Senada, Gubernur Sumatera Utara (Sumut) Bobby Nasution juga mengatakan saldo Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) milik Pemprov Sumut saat ini hanya sebesar Rp990 miliar, bukan Rp3,1 triliun seperti disebut Menkeu.
"RKUD (Rekening Kas Uang Daerah) kita cuma satu, ya itu ada di Bank Sumut, hari ini saldonya sebesar Rp 990 miliar," kata Bobby Nasution, Selasa (21/10/2025).
Menurut Bobby dana Rp990 miliar itu belum terserap karena adanya beberapa pekerjaan yang belum dibayar.
Secara umum, Bobby mengeklaim realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Sumut berjalan baik. Ia menargetkan realisasi anggaran hingga akhir 2025 dapat mencapai sekitar 90%.
"Realisasinya dari P-APBD kemarin setelah perubahan mudah-mudahan bisa di angka 90-an persen," katanya.
Gubernur Jakarta Akui Dana Mengendap di Bank

Berbeda dari Dedy dan Bobby, gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, mengakui yang disampaikan Purbaya memang benar.
Pemprov DKI memiliki dana sebesar Rp14,68 triiliun yang mengendap di Bank DKI.
"Seperti yang disampaikan Pak Menteri Keuangan, Pak Purbaya, memang ada dana Rp 14,6 triliun yang dimiliki Pemda DKI di Bank Jakarta. Itu betul, bukan 100%, tapi 1.000% benar," kata Pramono di Stasiun MRT Dukuh Atas, Jakarta Pusat, Rabu (22/10/2025).
Hanya menurut Pramono, pengendapan dana itu karena pembayaran dari Pemprov DKI biasanya meningkat di akhir tahun, terutama di bulan Desember.
Misalnya, pada Desember 2023, Pemprov DKI harus mengeluarkan Rp16 triliun. Lalu pada Desember tahun berikutnya, pembayaran mencapai Rp18 triliun.
"Jakarta ini memang polanya begitu, terjadi pelonjakan pembayaran di akhir tahun. Tahun 2023 saja sekitar Rp 16 triliun, tahun 2024 Rp 18 triliun. Jadi dana ini disiapkan untuk pembayaran-pembayaran itu," kata Pramono.
Masalah Struktural dalam Sistem Fiskal Nasional

Peneliti Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Badiul Hadi, menilai fenomena dana mengendap di bank mencerminkan masalah struktural dalam sistem fiskal nasional, bukan hanya kelemahan di tingkat pemerintah daerah.
Desain kebijakan fiskal antara pusat dan daerah belum sinkron. Akibatnya, mekanisme transfer ke daerah sering terlambat dan tidak selaras dengan siklus perencanaan anggaran daerah.
“Banyak program disusun bukan berdasarkan kebutuhan riil masyarakat, tetapi lebih karena menyesuaikan format administratif atau target serapan. Ketika ada revisi teknis dari pusat, daerah akhirnya menahan belanja,” kata Badiul.
Dia melihat sebagian besar daerah masih terjebak dalam paradigma lama, seperti money follow function, bukan money follow program. Padahal, seharusnya setiap rupiah anggaran dikaitkan dengan hasil dan dampak nyata bagi publik.
"Selama paradigma belum berubah, maka APBD hanya akan menjadi daftar kegiatan, bukan alat perubahan sosial,” katanya.
Praktik Parkir Dana Bisa Berdampak Fatal Bagi Ekonomi Lokal

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengatakan praktik ini sudah menjadi masalah klasik yang belum terselesaikan dan berpotensi menghambat perputaran ekonomi daerah.
Menurut Bhima, ada dua alasan utama mengapa dana Pemda kerap mengendap di bank.
Pertama, ada indikasi permainan bunga deposito oleh oknum Pemda.
"Semakin besar dana diparkir, semakin tinggi rente bunganya. Ini persoalan lama tapi tidak pernah diselesaikan," kata Bhima.
Kedua, ada kekhawatiran pemerintah daerah terhadap efisiensi anggaran menjelang tahun depan.
"Pemda sebagian khawatir berlanjutnya efisiensi anggaran, apalagi tahun 2026 akan ada pemangkasan Transfer ke Daerah (TKD) sebesar 20%. Mereka menahan dana karena takut kekurangan APBD tahun depan," tambahnya.
Bhima pun mengingatkan, jika praktik parkir dana ini terus berlanjut maka bisa berdampak fatal bagi ekonomi lokal, antara lain ekonomi daerah bisa macet, pengangguran meningkat karena hasil pajak tidak berputar kembali ke masyarakat.
Selain itu, banyaknya dana pemda yang ditempatkan di bank pembangunan daerah (BPD) membuat kebanyakan BPD memiliki ketergantungan terhadap dana pemda.
Untuk itu, Bhima pun mendorong agar Pemda lebih fokus dalam perencanaan sejak awal tahun agar realisasi belanja tidak menumpuk di akhir tahun.
"Belanja daerah harus lebih terencana, tidak boleh lagi baru dikebut di dua bulan terakhir," katanya.
Politik Anggaran
Dalam catatan TheStance, kritik Purbaya akan kecenderungan Pemda memarkir uang di bank ini memang bukan hal baru.
Menkeu sebelumnya, Sri Mulyani, pernah menyatakan kritik serupa.
Bahkan Menkeu sebelum Sri Mulyani, yaitu Bambang Brodjonegoro, pada 2015 juga sudah pernah mengecam praktik ini.
Sekadar informasi, bunga dari penempatan dana APBD di bank masuk ke dalam pendapatan jasa imbal hasil dan ke dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Bank biasanya mengunakan dana APBD itu untuk membeli instrumen investasi seperti surat berharga negara (SBN). Pemda mendapatkan penghasilan dari bunga bank, sedang bank mendapatkan penghasilan dari bunga SBN. Jadi sama-sama untung.
Pengendapan dana APBD ini biasanya juga akan makin parah mendekati momen pilkada. Sebab, kepala daerah sering curang dan menyesuaikan timing belanja APBD dengan masa kampanye, hingga bisa diklaim sebagai kerja pribadinya untuk menunjang elektabilitas. Perekonomian daerah jadi tidak optimal karena ditekan politik anggaran. (est)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance