TheStance - Jeruji besi yang dingin di penjara Israel tak lantas memadamkan api perlawanan Nader Sadaqa, seorang ikon pejuang Palestina dari kelompok minoritas Samaria.
Nader adalah tahanan Israel yang ditangkap sejak 2004 setelah pengejaran Israel selama dua tahun. Setelah tertangkap, ia menjadi sasaran interogasi dan penyiksaan militer Israel.
Dinyatakan bersalah oleh pengadilan Israel atas 35 dakwaan, Nader dijatuhi hukuman seumur hidup, plus 45 tahun. Artinya jika dia secara medis dinyatakan tewas di penjara dan tiba-tiba hidup lagi, maka dia akan dipenjara lagi selama 45 tahun.
Pada 13 Oktober 2025 lalu dia dinyatakan bebas bersyarat setelah gencatan senjata antara Israel dengan Hamas yang menyepakati pertukaran tahanan.
Israel begitu takut dengan Nader hingga ia diharuskan hidup di luar wilayah pendidikan setelah pembebasan pria yang terlibat dalam aksi mogok makan kolektif para tahanan tersebut.
Sebaliknya, bagi warga Palestina yang mayoritas muslim, pembebasan Nader yang notabene warga keturunan Israel kuno dan tak beragama Islam ini dirayakan sebagai kemenangan bangsa Palestina.
Dia menjadi bukti hidup bahwa bangsa Palestina itu ada, dan plural: tak hanya berisikan warga muslim dan nasrani, melainkan juga yahudi yang selama ratusan tahun hidup damai berdampingan, sebelum gerakan zionisme merusak semuanya.
Dosa "Asal" Nader Sadaqa

Nader lahir dengan nama Nader Saleh Mamdouh Sadaqa pada 12 Juni 1977 di lereng Gunung Gerizim di Nablus, Tepi Barat Palestina.
Gunung Gerizim merupakan tempat tinggal komunitas Samaria Palestina, kelompok agama minoritas kuno dan salah satu yang tertua di Palestina. Kata 'Samaria' berarti penjaga.
Berbeda dari kelompok Yahudi yang meyakini Yerusalem sebagai kota suci, warga Samaria meyakini Gunung Gerizim sebagai kiblat spiritual mereka.
Mereka meyakini bahwa nenek-moyang warga Samaria adalah keturunan asli dari bangsa Israel kuno di era Nabi Musa, yang datang ke Palestina setelah mengembara 40 tahun di Gurun Sinai pasca eksodus dari Mesir.
Komunitas Samaria percaya bahwa mereka memiliki Taurat asli—Pentateuch—yang diklaim sudah berusia sekitar 3.646 tahun dan tidak diutak-atik oleh para rabi Yahudi kontemporer.
Kelompok Samaria juga menyebut diri mereka sebagai pengikut sejati Nabi Musa dan menolak label 'yahudi'. Itulah mengapa mereka tidak serta-merta mendukung zionis dan malah memilih menjadi bagian dari Palestina hingga bikin Israel murka.
Saat ini, tercatat ada sekitar 785 orang Samaria di mana sekitar 385 orang tinggal di Gunung Gerizim, sementara sekitar 400 lainnya tinggal di kota Holon yang merupakan wilayah Palestina yang diduduki.
Terlibat Langsung dalam Intifadah

Tumbuh di wilayah konflik, Nader kecil menyaksikan kekejian zionis selama memperkuat pendudukannya. Ketika dia berusia 3 tahun, Israel mencaplok Yerusalem.
Dia melihat langsung politik segregasi dan kekejaman zionis terhadap warga Palestina, da nmemutuskan terlibat langsung dalam gerakan perlawanan.
Nader ikut melemparkan batu ke arah serdadu militer Israel yang bercokol di Nablus ketika gerakan intifada pecah pada tahun 1987.
Ketika Israel bermanuver membentuk komunitas Samaria Palestina sebagai wujud koeksistensi rezim pendudukan itu dengan suku asli, Nader dengan lantang menolak dan memilih jalan perlawanan.
Dalam aksi pemberontakan tahun 2000, Nader mengangkat senjata untuk melakukan perlawanan. Ia bergabung dengan sayap militer Front Populer untuk Pembebasan Brigade Abu Ali Mustafa (PFLP), Brigade Syahid Abu Ali Mustafa yang beraliran kiri.
Dikenal sebagai pribadi yang cerdas dan disiplin, Nader begitu piawai mengatur strategi dan mengeksekusi operasi militer melawan agresi tentara Israel.
Ia memimpin beberapa operasi perlawanan, salah satunya terhadap pos pemeriksaan Hamra di Lembah Yordan sebelum kemudian tertangkap oleh tentara Israel pada 2004 di Kamp Ain dekat Nablus.
Selama ditahan, ia mengalami tekanan psikis dan fisik selama berbulan-bulan. Nader diketahui diinterogasi di pusat penahanan Petah Tikva, yang terkenal kejam.
Menjalani Hidup di Pengasingan
Kini Nader tinggal di Kairo Mesir. Dalam wawancaranya dengan The New Arab, dia menceritakan kehidupan di masa pengasingannya. Baginya tak masalah untuk tinggal di manapun.
“Saya adalah Arab dalam semangat dan Palestina merupakan bagian dari identitas Arab saya. Kehadiran saya di negara Arab manapun terasa seperti perpanjangan dari diri saya,” tuturnya.
Namun dia mengritik keras represi Israel terhadap tahanan yang dibebaskan. Menurutnya, dia masih menjalani hukuman sekalipun sudah tidak dipenjara. Hukuman itu adalah: tak bisa menemui keluarganya dan kembali ke kampung halamannya.
“Hari ini misalnya, pendudukan menghukum keluarga tahanan yang diasingkan dengan menyangkal hak mereka untuk mengunjungi kami atau bahkan menghubungi kami,” lanjutnya.
Beruntungnya, lanjut dia, di Mesir ada kehangatan dan kasih sayang yang menenangkan hati baginya, meski dia tengah menjalani "apa yang mungkin disebut sebagian pengasingan, jika benar-benar dapat disebut demikian."
Hal inilah yang membuat semangat Nader tetap menyala. Lewat kisahnya, dia menyerukan dunia agar menyorot apa yang terjadi bagi tahanan Palestina dan khususnya pejuang kemerdekaan karena menanggung penyiksaan paling brutal setiap hari.
“Saya sudah melawan. Peran saya di sini adalah untuk mengingatkan dunia bahwa ribuan tahanan masih berada di penjara pendudukan tanpa cakrawala untuk pembebasan mereka dalam waktu dekat, sebuah kenyataan yang jauh lebih suram daripada sebelum tanggal 7 Oktober,” pungkasnya.
Bukti Hidup Bangsa Palestina yang Plural
Pejabat Israel menyebut Nader sebagai “Orang Samaria Jahat” yang menolak penjajahan yang mereka kokohkan. Rentetan tuduhan menjerat namanya, tetapi Sadaqa menolak. Ia pun dijatuhi 6 kali hukuman seumur hidup oleh Pengadilan Militer Israel.
Pada usia 27 tahun dia mulai menjalani masa hukumannya. Kendati hidup dalam bui, semangatnya untuk terus melawan tidak lantas melempem.
Ia justru mengubah sel penjara yang gelap menjadi mimbar diskusi, memberi ceramah kepada sesama tahanan perihal sejarah dan perlawanan Palestina.
Nader juga aktif menulis esai untuk surat kabar Palestina yang diedarkan secara rahasia dari balik jeruji besi. Aksi cerdiknya membuatnya dijuluki “sang pemikir” di kalangan tahanan.
Dalam kesempatan pertukaran tahanan perang Hamas baru-baru ini, nama Nader termasuk dalam daftar teratas yang Israel tolak untuk dibebaskan karena khawatir perjuangannya akan memantik semangat massa.
Ya, bagi warga Palestina dan dunia, perlawanan Nader merupakan bukti perjuangan Palestina yang mengaburkan sekat perbedaan keyakinan. Bagi komunitas Samaria, dia menjadi ikon bersejarah atas perjuangan kebebasan Palestina.
Selepas dinyatakan bebas, Nader harus terusir dari kampung halamannya di Nablus. Keluarganya di Nablus enggan berkomentar ke media ketika dimintai keterangan, karena takut akan bayang-bayang ancaman Israel.
“Nader hari ini dicintai oleh seluruh rakyat Palestina, dari berbagai faksi dan aliran. Semua melihatnya sebagai simbol nasional yang membayar mahal atas sikapnya,” ujar koordinator Komite Nasional Dukungan Tahanan di Nablus Muthaffar Dhuqan, seperti dikutip Gaza Media.
Baca Juga: Tragedi Saleh Jafarawi, Jurnalis yang Terbunuh Usai Gencatan Senjata
Meski beragama non-Islam, Nader berjuang demi Palestina karena dia adalah nasionalis sejati, melihat dirinya sebagai orang Palestina—sejak pertama lahir hingga akhir nanti.
"Di penjara, ia menjadi tokoh intelektual di antara para tahanan dan dijuluki ‘al-Mufakkir’ [sang pemikir] karena pengetahuannya yang luas dan pelajaran sejarah serta politik yang ia berikan kepada rekan-rekannya,” kata Dhuqan.
Menghabiskan waktu bertahun-tahun di dalam sel, Nader tetap optimistis. Ia sering berkata kepada rekan sesama tahanan soal arti kebebasan, “Kebebasan bukanlah hadiah, itu adalah kebenaran yang menunggu untuk diwujudkan.” (mhf/ags)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance.