Jakarta, TheStance – Perebutan kekuasaan yang berujung dualisme kepemimpinan di Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) terus bergulir.

Hal ini menyusul hasil Rapat Pleno Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang menetapkan Wakil Ketua Umum, KH Zulfa Mustofa, sebagai Penjabat (Pj) Ketua Umum PBNU.

Zulfa menggantikan sementara posisi Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) dalam memimpin Tanfidziyah.

"Penetapan Penjabat Ketua Umum PBNU masa bakti sisa, yaitu Bapak KH Zulfa Mustofa," kata Rais Syuriah, Muhammad Nuh, dalam seusai rapat pleno yang berlangsung tertutup di Hotel Sultan, Jakarta, Selasa, (9/12/2025).

Pleno itu dihadiri sejumlah kiai seperti Wakil Rais Aam KH Afifuddin Muhajir dan KH Anwar Iskandar, Nasaruddin Umar, Khofifah Indar Parawansa, hingga Gus Ipul.

Nuh yang memimpin rapat atas mandat Rais Aam KH Miftachul Akhyar ini menjelaskan, Zulfa diberi mandat untuk memimpin hingga muktamar sekaligus menyiapkan pelaksanaan forum tertinggi organisasi tersebut.

Penugasan ini ditujukan untuk mengembalikan siklus periode kepemimpinan PBNU. Sebab, muktamar sebelumnya di Lampung pada 2021 sempat bergeser satu tahun akibat pandemi Covid-19.

"Muktamar sekarang bukan dipercepat, tetapi dikembalikan ke siklus semula," ujar Nuh.

Usai ditetapkan sebagai Pelaksana Tugas (Pj) Ketua Umum PBNU, Zulfa menyatakan akan melakukan normalisasi organisasi dan memperkuat konsolidasi internal di tubuh jamiyah.

Ia menekankan semua langkah atas restu Rais Aam, dengan prioritas menjaga murwah NU di tengah dinamika yang berlangsung.

Gus Yahya: Rapat Pleno Tidak Sah

Yahya Cholil Staquf

Menanggapi penunjukan Zulfa Mustofa sebagai Pj Ketua Umum PBNU oleh Rapat Pleno Syuriyah, Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) menegaskan bahwa tidak mungkin ada dualisme kepemimpinan di PBNU. Ia pun mempertanyakan keabsahan keputusan yang diambil dalam rapat tersebut.

"Enggak, enggak mungkin ada dua (Ketum), wong tidak mungkin ada dua," kata Gus Yahya, Rabu (10/12/2025).

Gus Yahya menegaskan rapat pleno tersebut tidak sah. Dirinya tetap Ketua Umum PBNU, dan hanya bisa dicopot melalui Muktamar.

"Lha kalau Plenonya enggak sah itu kayak, masa ya bisa dianggap sah gitu lho," katanya.

Dia juga merespons kekhawatiran perpecahan di akar rumput.

"Ah, tidak... sekarang itu sampai ke bawah semuanya orang tidak mau NU pecah, tidak ada. Enggak ada yang mau NU pecah, enggak ada," katanya.

Ia mengeklaim para kiai, pesantren, dan cabang-cabang (PCNU) secara massif telah mengirimkan surat pernyataan yang intinya meminta agar NU bersatu kembali.

"Mereka biasanya enggak jarang-jarang bikin surat saja pada bikin surat sekarang meminta supaya jangan sampai pecah. Cabang-cabang juga sudah tidak terhitung pada kirim surat supaya bersatu kembali. Semua enggak ada yang mau pecah. Ya, insyaallah lah ya," katanya.

Awal Mula Konflik Internal PBNU

rapat pleno PBNU

Konflik internal Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) mencuat ke permukaan usai Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar memecat Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) dari jabatan ketua umum.

Keputusan tersebut merupakan hasil rapat harian Syuriyah PBNU di Hotel Aston Jakarta, pada Kamis 20 November 2025. Dalam rapat tersebut, hadir 37 anggota dari 53 pengurus harian Syuriyah PBNU.

Gus Yahya dinilai melakukan sejumlah pelanggaran seperti mengundang akademisi pro-Israel, Peter Berkowitz, dalam acara Akademi Kepemimpinan Nasional Nahdlatul Ulama.

"Rapat memandang bahwa diundangnya narasumber yang terkait dengan jaringan Zionisme Internasional dalam Akademi Kepemimpinan Nasional Nahdatul Ulama (AKN NU) sebagai narasumber kaderisasi tingkat tertinggi Nahdatul Ulama telah melanggar nilai dan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah An-Nahdliyah, serta bertentangan dengan Muqaddimah Qanun Asasi Nahdatul Ulama." Demikian isi risalah rapat hariah Syuriah, yang ditandatangani Miftachul Akhyar.

Tak hanya itu, Syuriyah PBNU juga menganggap Gus Yahya membuat tata kelola keuangan PBNU menyimpang.

Tata kelola keuangan itu di terkait dugaan aliran uang sebesar Rp 100 miliar dari Mardani H. Maming, mantan Bendahara Umum PBNU, ke organisasi tersebut.

Syuriyah PBNU kemudian mengeluarkan surat edaran Nomor 4785/PB.02/A.II.10.01/99/11/2025 yang secara resmi memberhentikan Gus Yahya efektif pada 26 November lalu.

Menanggapi hal tersebut, Gus Yahya dan kubu pendukungnya pun menolak keras pemecatannya sebagai ketua umum PBNU. Gus Yahya menyatakan bahwa surat edaran pemberhentian itu tidak memiliki kekuatan hukum secara organisasi.

Dirinya bersikukuh bahwa hanya Muktamar sebagai forum tertinggi NU yang berwenang memberhentikannya, sehingga jabatannya tetap sah hingga masa jabatannya berakhir.

"Saya sama sekali tidak tebersit pikiran untuk mundur karena saya mendapat amanat dari muktamar ini untuk lima tahun," ujar Yahya kepada awak media di Hotel Novotel Samator, Surabaya, Jawa Timur, Minggu, (23/11/2025).

Selain menentang keputusan Syuriah, kubu Yahya balik memecat Sekretaris Jenderal PBNU Syaifullah Yusuf pada 28 November 2025. Kubu Yahya lantas mengangkat Amin Said Husni menggantikan Syaifullah.

Di tengah aksi saling pecat tersebut, kubu Miftachul Achyar juga memilih opsi muktamar untuk menyelesaikan perseteruan organisasi. Namun mereka berencana menggelar muktamar Nahdlatul Ulama dalam waktu dekat.

“Kami ingin transisi berjalan tertib, sesuai dengan aturan jam’iyah,” kata Miftachul melalui keterangan tertulis pada Sabtu, (29/11/2025).

Di samping muktamar, beberapa pengurus wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) serta sejumlah tokoh organisasi Islam ini mengusulkan islah. Hasil pertemuan Forum Sesepuh Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren Al-Falah Ploso, Kediri, Jawa Timur, pada Minggu (30/11/2025), juga mengusulkan agar kedua kubu berdamai.

“Kami berharap bisa segera terjadi islah,” kata Juru bicara forum itu, Abdul Muid.

Berdasarkan catatan TheStance, pemecatan Gus Yahya sebagai Ketum PBNU merupakan yang pertama dalam sejarah. Belum ada kejadian berujung pemecatan Ketum PBNU sepanjang organisasi tersebut berdiri.

Dahulu, memang ada upaya pendongkelan ketua umum PBNU, saat Abdurrahman Wahid menjabat pada tahun 1994.

Kala itu, Muktamar ke-29 NU yang berlangsung di Pesantren Cipasung diduga menjadi alat Pemerintah untuk mendongkel kepemimpinan Gus Dur. Meskipun, dalam Muktamar NU yang digelar di Tasikmalaya Jawa Barat itu, Gus Dur akhirnya tetap memimpin PBNU.

Dipicu Persoalan Tambang

Ulil Abshar Abdala

Isu konsesi tambang diduga kuat menjadi pemicu utama terjadinya konflik internal di tubuh PBNU.

Pernyataan ini disampaikan oleh Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Ulil Absar Abdalla dalam Podcast Gaspol! yang ditayangkan di YouTube Kompas.com, Kamis (27/11/2025).

Ulil mengatakan perpecahan diakibatkan perbedaan pandangan Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya dengan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBNU Saifullah Yusuf atau Gus Ipul.

Perbedaan itu terkait dengan investor yang akan ikut membantu pengelolaan konsesi tambang yang diberikan pemerintah untuk PBNU.

“Nah perbedaan pandangan antara Gus Yahya dan Gus Ipul inilah yang membuat hubungan ini jadi bermasalah,” ujar Gus Ulil dalam podcast itu.

Ulil mengungkap, Gus Yahya ingin mengganti investor sesuai dengan keinginan pemerintahan saat ini. Pasalnya, investor sebelumnya dianggap tidak memiliki posisi politik yang kuat.

Sementara, Gus Ipul tetap ingin mempertahankan investor lama, karena sudah berhubungan sejak era kepemimpinan Presiden ke-7 RI Joko Widodo.

“Ketika zaman Pak Jokowi itu ada seorang investor tertentu yang ditunjuk untuk mengelola tambang ini. Kekuasaan yang baru ini menghendaki investor yang lain,” jelasnya.

“Tapi Gus Ipul punya prinsip lain. Karena sudah janjian dengan investor lama, ya sudah kita ikut investor yang lama saja. investor lama ini investor yang secara politik, posisinya kurang oke sekarang,” sambungnya.

Dugaan tambang menjadi akar permasalahan ditubuh PBNU juga disampaikan Mantan Menko Polhukam yang juga tokoh NU, Mahfud MD.

Menurut Mahfud, konflik yang kini mencuat ke publik bukan semata dipicu perbedaan tafsir AD/ART atau isu organisatoris, melainkan berkaitan dengan persoalan proyek tambang.

“Ini asal muasalnya soal tambang,” ujar Mahfud.

Pernyataan tersebut disampaikan Mahfud melalui kanal YouTube pribadinya, Selasa, 2 Desember 2025.

Menurutnya, keterlibatan sejumlah pihak dalam urusan ekonomi dan proyek bisnis turut memperkeruh suasana serta memengaruhi karakter organisasi yang seharusnya berbasis keagamaan.

Dia menggunakan istilah PTNU (Perusahaan Terbatas Nahdlatul Ulama) untuk menyebut karakter bisnis yang mendominasi PBNU sekarang.

“Jadi bukan PBNU, PTNU akhirnya. Perusahaan terbatas akhirnya” ujarnya.

Mahfud juga menilai dinamika NU hari ini telah bergeser dari tradisi keulamaan dan perjuangan kultural yang dahulu menjadi fondasi organisasi.

Mahfud lalu membandingkan NU hari ini dengan masa sebelumnya yang lebih fokus pada peran sosial-keagamaan. Ia pun mengungkapkan kerinduannya terhadap NU yang berorientasi pada perjuangan nilai dan keteladanan para ulama.

“Saya merindukan NU yang taat pada ulama, tidak rebutan proyek. Gak ada itu urusan ngurus perusahaan, ngurus tambang, dulu gak ada.” kata Mahfud.

Gus Ipul: Tudingan Rebutan Tambang Tak Berdasar

Menteri Sosial Saifullah Yusuf

Merespons bahwa isu tambang menjadi penyebab ketegangan di jajaran PBNU, Gus Ipul menilainya sebagai tuduhan yang tak berdasar karena harus disertai bukti yang jelas.

"Perlu bukti. Nggak bisa hanya sekadar membuat statement. Gus Ulil harus membuktikan bahwa benar-benar ada perebutan. Yang berebut siapa? Milik siapa?" ujar Gus Ipul usai menghadiri rapat pleno di Hotel Sultan, Jakarta, Selasa (9/12/2025).

Menurutnya, konsesi tambang PBNU yang diberikan pemerintah harus dikelola dengan baik, bukan untuk saling diperebutkan.

"Saya kira tambang ini adalah sekali lagi milik NU. Yang mau berebut siapa? Nggak ada. Yang ada bagaimana tambang ini dikelola dengan baik," ucapnya.

Bahkan, Gus Ipul mengungkapkan, hingga kini isu tambang belum pernah dibahas secara terbuka di forum resmi PBNU.

Desakan Mengembalikan Konsesi Tambang ke Pemerintah

Dorongan agar PBNU tidak mengurusi konsesi tambang juga disuarakan Mantan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj. Ia mengusulkan agar PBNU mengembalikan konsesi tambang kepada pemerintah karena dinilai telah memicu konflik internal yang kian meluas.

"Saya sejak awal menghormati inisiatif pemerintah. Itu bentuk penghargaan yang baik," kata Said Aqil saat menghadiri silaturahim di Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, Sabtu (6/12/2025).

"Tetapi melihat apa yang terjadi belakangan ini, konflik semakin melebar, dan itu membawa mudarat yang lebih besar daripada manfaatnya. Maka jalan terbaik adalah mengembalikannya kepada pemerintah," tambahnya.

Menurut Said Aqil, NU merupakan rumah besar yang mestinya tak sampai terseret pada urusan yang membawa gaduh dan menodai khitah organisasi.

"Kalau sebuah urusan membawa lebih banyak mudarat, maka tinggalkan. Kembalikan supaya NU fokus pada tugas-tugas sucinya," kata dia.

Merugikan Warga NU di Akar Rumput

Adi Prayitno - UIN

Pengamat politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno. menyayangkan terjadinya konflik di antara elite Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).

Dia menilai, konflik tersebut berada di luar tugas NU yang seharusnya berbicara soal agama dan kemasyarakatan.

"Yang menjadi ironi itu konfliknya karena urusan tambang, bukan karena beda pikiran soal mazhab beragama," kata Adi.

Menurutnya, konflik ini jelas merugikan warga NU di akar rumput. Apalagi, warga dipertontonkan sikap para elite yang silang pendapat dan saling memecat satu sama lain. Terlebih, para pimpinan NU merupakan kiai dan tokoh yang lama berkecimpung di organisasi.

"Tentu akar rumput NU di bawah dirugikan melihat elite struktural mereka berkonflik. Apapun judulnya, PBNU itu diisi oleh kiai dan santri senior yang dinilai sudah sangat dewasa dalam urusan urusan organisasi," katanya.

Untuk itu, ia menilai konflik ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Perlu dilakukannya islah atau rekonsiliasi untuk menemukan titik temu di antara kedua belah pihak.

"Sebaik-baiknya solusi itu rekonsiliasi. Harus ada kompromi dari kedua belah pihak," katanya. (est)

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp & Telegram The Stance