Jakarta, TheStance – Pelarangan total iklan dan promosi produk tembakau serta rokok elektronik di platform digital, yang telah ditegaskan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/2024), terbukti mandul setahun setelah diberlakukan.
Industri tembakau diketahui menjadikan media sosial sebagai 'medan perang' baru menjalankan promosi terselubung dengan strategi yang makin halus dan sulit dideteksi.
ITCRN (Indonesia Tobacco Control Research Network) merilis temuan yang menggugat efektivitas regulasi pemerintah, menunjukkan bahwa konten promosi rokok dan vape masih menjamur.
Dari 2.876 konten yang dianalisis di Instagram, 71,3% di antaranya konten vape, didominasi unggahan toko dan akun komersial. Tingkat keterpaparan pengguna media sosial konten iklan rokok masih sangat tinggi, mencapai 76%, terutama di Instagram.
Survei terhadap 406 remaja (12–24 tahun) menunjukkan mayoritas responden pernah melihat iklan atau promosi rokok di Instagram sebesar 76%, dan paparan tersebut memiliki hubungan signifikan dengan peningkatan intensi merokok.
Ketua Tim Peneliti Universitas Jenderal Soedirman, Ifa Najiyati, menyoroti celah pengawasan yang fatal, terutama bagi akses anak di bawah umur.
“Yang perlu diwaspadai adalah banyak konten rokok dan vape di Instagram bisa diakses secara terbuka tanpa login. Jadi bukan hanya pengguna akun Instagram, tetapi siapapun, termasuk anak yang belum cukup umur atau tidak memiliki akun tetap bisa melihat konten tersebut,” jelasnya melalui keterangan tertulis yang diterima TheStance, Senin (8/12/2025).
komdigi Lempar Bola, Anak-Anak Terancam

Temuan tersebut gamblang menunjukkan pelanggaran massal terhadap PP 28/2024 yang pada gilirannya membuat pemerintah gagal melindungi kelompok rentan.
Ironisnya, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkomdigi) selaku regulator dunia digital mengaku mandat eksekusi pengawasan PP tersebut terganjal oleh ketergantungan pada Kemenkes.
Anggota Tim Penanganan Aduan Konten Internet Ilegal Kemkomdigi, Dyo Trini Theresia Tampubolon mengeklaim pihaknya tidak bisa bertindak sendiri.
“Kami kementerian teknis yang hanya bisa melakukan eksekusi sehingga membutuhkan rekomendasi Kemenkes yang paham substansinya,” jelas Dyo.
Kemkomdigi menurut dia memprioritaskan konten ilegal seperti judi online dan pornografi, sementara pengawasan konten rokok memerlukan koordinasi lebih intensif, menggarisbawahi kurangnya prioritas negara terhadap bahaya promosi rokok digital.
Anggota Tim Peneliti dari Universitas Negeri Manado, Syafriani, memaparkan bagaimana industri mengakali regulasi dengan pola pemasaran yang tersembunyi dan canggih.
“Promosi dilakukan secara halus melalui influencer, event musik, konten lifestyle, hingga algoritma platform. Polanya sulit dideteksi sebagai iklan, tetapi sangat efektif menjangkau anak muda,” ujarnya.
Birokrasi Lamban Menghambat Eksekusi

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengakui implementasi PP 28/2024 memang perlu diperkuat, namun rencana eksekusi yang mereka ajukan terlalu jauh dari urgensi masalah.
Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau Kemenkes Benget Saragih menuding Kemenkes masih disibukkan dengan proses administrasi, bukan tindakan cepat.
“Kemenkes saat ini tengah memfinalisasi petunjuk teknis (juknis) pengawasan iklan rokok digital dan membentuk Satgas lintas kementerian untuk mempercepat proses takedown konten pelanggaran. Juknis ini diproyeksikan untuk disahkan paling lambat Juli 2026, sejalan dengan masa berakhirnya ketentuan peralihan PP 28/2024,” ujar Benget.
Artinya kata dia, tindakan konkret di lapangan akan tertunda setidaknya selama delapan bulan ke depan, memberikan waktu tak terbatas bagi industri untuk terus mengeksploitasi platform digital.
Perwakilan TCSC–IAKMI, Kiki Soewarso, menuding industri tembakau menggunakan strategi "Smoke & Mirror" (terselubung) yang sistematis.
Kiki mengingatkan bahwa upaya takedown iklan rokok oleh Kemenkes/Kominfo pada tahun 2018 hanya efektif beberapa hari, menegaskan bahwa solusi parsial dan reaktif tidak akan pernah membuahkan hasil.
“Temuan dalam penelitian Digital Smoke & Mirror ini diharapkan memiliki daya ungkit kuat untuk mendorong pelaksanaan kebijakan dan memperkuat regulasi pengendalian iklan rokok di ruang digital yang saat ini belum berjalan,” tegasnya.
Baca Juga: Integritas BRIN Kian Dipertanyakan Usai Rilis Riset Soal Vape "Lebih Aman"
Secara keseluruhan, penelitian ITCRN menyimpulkan bahwa ruang digital telah berubah menjadi arena promosi industri tembakau yang terstruktur, adaptif, dan secara sengaja menyasar remaja.
Dengan bukti kegagalan implementasi dan lambannya gerak birokrasi, ITCRN mendesak pemerintah mempercepat implementasi PP 28/2024.
Selain itu, perlu peningkatan sistem pemantauan yang otonom, dan penguatan kampanye counter-narrative untuk menyelamatkan generasi muda dari cengkeraman industri. (par)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp & Telegram The Stance