Jakarta, TheStance  – Memasuki tiga pekan pasca kejadian bencana banjir bandang dan tanah longsor, aksi pengibaran bendera putih sebagai simbol keputusasaan masyarakat menghadapi bencana alam terjadi di sejumlah wilayah Aceh.

Bendera putih terlihat berkibar di sejumlah titik. Mulai di kampung-kampung, di depan rumah, pos-pos darurat, di titik-titik pengungsian hingga di sepanjang jalan lintas nasional Banda Aceh–Medan. Beberapa lokasi yang terpantau antara lain berada di Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh Timur, dan Aceh Utara.

Bahkan sejumlah kantor pemerintahan daerah ikut mengibarkan bendera serupa sebagai tanda protes terhadap lambannya penanganan bencana di bumi Aceh.

“Bendera putih adalah pertunjukan banyak hal, sekaligus rasa marah, frustasi, harapan dan tuntutan untuk diperhatikan selayaknya warga negara,” kata Muhammad Alkaf, warga asal Kota Langsa, Aceh, dikutip dari Tempo, Selasa (16/12/2025).

Menurut Alkaf, pemasangan bendera itu dilakukan secara kolektif oleh masyarakat di Aceh dengan maksud ingin mengetuk hati nurani Presiden Prabowo.

“Bendera putih penanda orang Aceh meminta pemerintahan Prabowo menetapkan banjir sebagai bencana nasional,” ujar Alkaf.

Ia meyakini bahwa dengan penetapan status bencana nasional maka bantuan dari luar negeri dapat mempercepat pemulihan pascabencana. Hal ini berkaca dari penanganan bencana Tsunami 2004 silam yang ditetapkan sebagai bencana nasional di zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Di Aceh Timur, gelombang bendera putih mengisi jalanan hingga ke Kabupaten Aceh Tamiang, menandai wilayah-wilayah yang tak lagi mampu bertahan hanya dengan sumber daya lokal.

“Masyarakat menyerah dan butuh bantuan. Kami tidak sanggup lagi,” ujar Bahtiar, warga Alue Nibong, Peureulak, Kabupaten Aceh Timur, dikutip dari Kompas, Minggu (14/12/2025).

Bahtiar menjelaskan bahwa sudah tiga pekan sejak banjir melanda, tetapi bantuan yang datang masih sangat minim.

Warga akhirnya membuka dapur umum mandiri, saling berbagi seadanya, dan tetap menghadapi kenyataan pahit bahwa bahan makanan semakin menipis. Banyak yang mulai kelaparan.

Surati 2 Lembaga PBB Minta Bantuan Pemulihan Bencana

Muzakir Manaf

Sebelumnya, pemerintah Aceh resmi menyurati 2 lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yaitu United Nations Development Programme (UNDP) dan UNICEF melalui perwailannya di Indonesia untuk ikut terlibat dalam penanganan pascabencana banjir longsor di Tanah Rencong.

Dua lembaga itu dinilai punya pengalaman untuk menangani pascabencana seperti tsunami 2004 lalu yang melanda Aceh

"Secara khusus Pemerintah Aceh secara resmi juga telah menyampaikan permintaan keterlibatan beberapa lembaga internasional atas pertimbangan pengalaman bencana tsunami 2004, seperti UNDP dan UNICEF," kata juru bicara pemerintah Aceh, Muhammad MTA, Minggu (14/12/2025).

Pihaknya juga sudah bersurat ke dua lembaga itu secara resmi karena kebutuhan untuk pemulihan.

Pemerintah Aceh menilai eskalasi kerusakan infrastruktur akibat diterjang banjir longsor di 18 kabupaten kota cukup luas dan membuat ratusan warga kehilangan nyawa, belum termasuk yang dinyatakan hilang.

Pemerintah Aceh berharap keterlibatan lembaga internasional tersebut dapat memperkuat upaya pemulihan.

Hingga saat ini sudah ada 77 lembaga dan 1.960 relawan yang masuk ke Aceh dalam upaya pemulihan bencana Aceh. Mereka merupakan lembaga atau NGO lokal, nasional dan internasional.

115 Desa di Aceh Masih Terisolir

Aceh terisolir

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan jumlah korban meninggal bencana Sumatera mencapai 1.053 jiwa per Selasa, 16 Desember 2025. Jumlah korban hilang sebanyak 200 orang, dan pengungsi sebanyak 606.040 jiwa.

Proses pencarian dan evakuasi korban hilang masih terus dilakukan, bersamaan dengan pemulihan akses jalan yang sebelumnya terputus.

Hingga Senin (15/12/2025) atau hari ke-21 pascabencana, tercatat 115 desa masih terisolasi akibat akses jalur darat terputus dan belum pulih.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut kondisi ini membuat distribusi bantuan logistik harus dioptimalkan melalui jalur udara.

Tiga kabupaten di Aceh yakni Bener Meriah, Aceh Tengah, dan Gayo Lues masih dalam atensi khusus BNPB karena keterbatasan akses darat.

Untuk wilayah yang masih terisolir ini, BNPB bersama pihak terkait terus mengupayakan penyaluran bantuan logistik dengan memanfaatkan jalur udara.

Bantuan logistik seperti air bersih mulai tersalurkan. Namun, kendala di lapangan yaitu distribusi tidak merata. Terutama di daerah seperti Aceh Tamiang.

Selain itu, kerusakan infrastruktur dan fasilitas umum lainnya juga dilaporkan sangat signifikan.

Tercatat kerusakan terjadi pada 258 unit perkantoran, 287 unit tempat ibadah, 305 unit sekolah, 206 rumah sakit dan puskesmas, dan 431 unit pondok pesantren.

Pada sektor transportasi, musibah banjir dan tanah longsor ini juga tercatat merusak 461 titik badan jalan dan 332 titik jembatan.

Kemudian kerusakan harta benda meliputi 164.906 unit rumah, 186.868 ekor ternak, 89.337 hektare sawah, 21.860 hektare kebun, dan 40.328 hektare tambak.

BNPB memperkirakan diperlukan anggaran sebesar Rp51,82 triliun untuk biaya pemulihan di 52 kabupaten di tiga provinsi terdampak.

Sementara itu, PT PLN (Persero) melaporkan kondisi pemulihan pasokan listrik di Aceh baru 36% per 11 Desember 2025. Sumatra Utara sudah 99,8% setelah longsor susulan. Sedangkan Sumatra Barat telah menyala 100% sejak 5 Desember 2025.

Aceh masih menjadi wilayah yang memerlukan perhatian khusus. Sebab, PLN memerlukan dukungan pembukaan akses jalan yang masih terputus untuk transportasi material jaringan serta penyediaan BBM untuk operasional kendaraan.

Prabowo: Pemerintah Mampu Tangani Bencana

Prabowo - rapat kabinet

Menanggapi desakan agar Indonesia membuka bantuan internasional untuk bencana di Sumatra, Prabowo menegaskan bahwa Indonesia masih mampu menangani sendiri,

"Saya ditelepon banyak pimpinan, kepala negara yang ingin kirim bantuan. Saya bilang 'Terima kasih concern anda, kami mampu'. Indonesia mampu mengatasi ini," ujar Prabowo dalam sidang kabinet paripurna, di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (15/12/2025).

Ia juga menyinggung pihak-pihak yang menyerukan agar bencana Sumatra ditetapkan menjadi bencana nasional. Namun, Prabowo mengeklaim situasi penanganan bencana masih terkendali.

"Ada yang teriak-teriak ingin ini ini dinyatakan bencana nasional. Kita sudah kerahkan, tiga provinsi dari 38 provinsi, jadi situasi terkendali. Saya monitor terus," ujar Prabowo.

Prabowo juga menyebut puluhan helikopter dikerahkan untuk membantu penanganan bencana.

Daerah-daerah yang terisolasi juga terus diupayakan untuk dijangkau dengan menggunakan helikopter.

"Saya baru dari situ, saya dari Takengon, saya dari Bener Meriah, saya lihat kondisinya tidak gampang, ya kan. Ketinggian 1.800, ketinggian 2.000, kabut itu. Jadi, penerbang-penerbang kita terbang tiap hari. Ini adalah suatu hal yang perlu kita banggakan," ujar Prabowo.

Ke depan, pemerintah merencanakan membentuk satuan tugas (satgas) terkait rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana di tiga provinsi Sumatera. Untuk tahap awal, pemerintah akan segera membangun hunian bagi masyarakat terdampak bencana.

"Segera kita akan bangun hunian-hunian sementara dan hunian-hunian tetap," katanya

Prabowo juga meyinggung pihak-pihak yang menyebut pemerintah tidak hadir menangani bencana Sumatra.

Dia berpandangan opini kebohongan itu dikeluarkan oleh pihak yang khawatir Indonesia kuat.

"Ada kecenderungan segelintir masyarakat, terutama mungkin yang punya motivasi politik atau bahkan saya terus terang aja melihat ada mungkin pihak-pihak kekuatan luar yang dari dulu selalu saya tidak mengerti, tidak suka sama Indonesia, tidak suka Indonesia kuat," kata Prabowo.

Bendera Putih Simbol Keputusasaan Warga

bendera putih

Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), AB Widyanta, menyebut fenomena banyaknya bendera putih yang terpasang di Aceh,sebagai tanda atau simbol keputusasaan masyarakat mengatasi dampak pasca banjir.

"Bendera putih itu tanda menyerah, tanda putus asa, tanda tidak ada harapan. Itu artinya betul-betul sudah surrender," katanya.

Dari dimensi psikososial, menurutnya ini adalah gambaran paling telanjang dari rasa frustasi sosial yang muncul pascabencana. Penyebabya mulai dari kehilangan anggota keluarga, harta benda, hingga bantuan yang tidak menyentuh kebutuhan dasar.

Akumulasi rasa frustasi inilah yang kemudian memunculkan gerakan bendera putih.

Menurut Abe, rasa frustasi yang disimbolkan dalam fenomena bendera putih itu seharusnya menjadi sinyal yang bisa ditangkap oleh pemerintah.

"Negara mesti punya kapasitas untuk memitigasi itu dalam tempo cepat," katanya.

Abe yang pernah terlibat dalam penanganan kebencanaan sejak Tsunami Aceh 2004 dan Gempa Jogja 2006 ini menilai pemerintah tidak belajar dari pengalaman.

"Ini menunjukkan kegagalan yang luar biasa," katanya. (est)

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance