Jakarta, TheStance – Kota Jakarta kini dihadapkan pada ironi, ketika kematian sekalipun tak menjamin ketenangan. Di tengah keterbatasan ruang, harga tanah yang melambung, dan pengelolaan Tempat Pemakaman mum (TPU) yang belum tertata, liang lahat kini seolah berubah menjadi 'properti langka' yang harus diamankan jauh sebelum ajal tiba.
Sebelumnya, ramai diberitakan bahwa dari 80 TPU yang tersebar di lima wilayah Jakarta, 69 di antaranya sudah penuh. Kondisi ini membuat sebagian besar TPU hanya melayani sistem pemakaman tumpang atau makam keluarga.
Kepala Dinas Pertamanan dan Hutan Kota, Fajar Sauri menjelaskan sistem makam tumpang dilakukan dalam satu liang lahad keluarga sehingga dinilai cukup efektif menjadi solusi sementara di tengah keterbatasan lahan pemakaman di Ibu Kota. Saat ini Jakarta masih memiliki sekitar 118.348 petak makam yang tersebar di 11 TPU dengan kapasitas tersisa.
Kapasitas Pemakaman Hanya Cukup Sampai 3 Tahun ke Depan

Dengan rata-rata pemakaman mencapai 100 jenazah per hari, Fajar memperkirakan ketersediaan lahan tersebut hanya akan bertahan sekitar tiga tahun ke depan.
Dia menyebut kapasitas bisa untuk sampai lima tahun bila lahan Pemprov Jakarta di Tegal Alur, Jakarta Barat (Jakbar) sudah siap digunakan.
"Kalau data, kemungkinan bisa untuk 3 sampai 5 tahun. Kalau yang (sampai) 5 tahun, lahan kami itu masih perlu pematangan. Tapi kalau yang saat ini, itu sampai 3 tahun," kata Fajar.
"Karena kita punya lahan di daerah Tegal Alur seluas 65 hektar, tapi masih belum bisa langsung dimakamkan, masih perlu pematangan, diurug, dirapihkan," tambahnya
Adapun TPU yang masih memiliki lahan makam antara lain TPU Rawa Terate, Cipayung, Cilangkap, Bambu Apus, Cipinang Besar (Jakarta Timur), Rorotan (Jakarta Utara), Tanah Kusir dan Srengseng Sawah (Jakarta Selatan), Kampung Kandang (Jakarta Selatan), serta Tegal Alur dan Pengadungan (Jakarta Barat).
Wacana Buka Kerjasama dengan Daerah Tetangga

Lebih lanjut, Fajar menambahkan Pemprov Jakarta juga sedang mempertimbangkan untuk kerja sama dengan daerah tetangga, guna mengatasi masalah lahan makam ini.
"Pemprov DKI mempertimbangkan kerja sama dengan daerah sekitar, seperti Depok dan Tangerang. Skema ini disebut bisa menjadi solusi jangka menengah untuk keterbatasan lahan TPU di ibu kota," ungkap Fajar.
Menanggapi hal ini, Gubernur Banten Andra Soni mengatakan, pihaknya terbuka jika diminta berkoordinasi oleh Pemprov DKI terkait penyediaan lahan pemakaman bagi warga Jakarta.
“Kami siap bekerja sama dengan Jakarta,” ujar Andra dalam keterangannya, Minggu (26/10/2025).
Menurut Andra, kerja sama tersebut memungkinkan dilakukan karena wilayah Banten, khususnya Tangerang dan Tangerang Selatan, merupakan bagian dari kawasan aglomerasinya Jakarta.
Kendati demikian, Andra menegaskan hingga kini belum ada komunikasi resmi dari Pemprov DKI Jakarta kepada pihaknya mengenai rencana kerja sama itu.
“Sementara ini belum ada. Mungkin komunikasi langsung dilakukan dengan pemerintah kabupaten atau kota,” katanya.
Dengan kesiapan dari Pemprov Banten, lanjut Andra, kerja sama lintas daerah diharapkan menjadi solusi jangka panjang bagi keterbatasan lahan pemakaman di Ibu Kota.
Siapkan Lokasi Baru untuk TPU dan Terapkan Sistem Tumpang

Upaya lain yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta adalah menyiapkan sejumlah lahan pemakaman baru. Salah satu lahan yang disiapkan adalah TPU khusus pandemi COVID-19.
"Kami sudah meminta kepada Dinas Pertamanan dan Pemakaman untuk membuka ruang-ruang baru, fasilitas baru. Salah satunya adalah pemakaman yang dulu untuk COVID. Pemakaman untuk COVID kan banyak yang kemudian tidak teridentifikasi keluarganya, seperti yang ada di Rorotan," kata Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan, Jumat (24/10/2025).
“Saya meminta untuk dibuka TPU-TPU baru yang memungkinkan. Sekarang ini sedang dilakukan oleh Dinas Pertamanan. Mudah-mudahan dalam waktu dekat akan ada (makam baru),” tambah Pramono.
Dia menyebut, saat ini Jakarta masih memiliki 11 lahan pemakaman lagi yang tersedia untuk pemakaman baru. Pramono memandang, hal ini merupakan persoalan nyata yang dihadapi Jakarta sebagai kota besar dengan penduduk yang padat.
Untuk sementara, DKI Jakarta akan melakukan pemakaman sistem tumpang (bertumpuk) sebagai solusi terbatasnya lahan pemakaman.
“TPU di Jakarta itu kurang lebih ada 80 lokasi, memang sekarang ini 60 lebih lokasi yang sudah penuh. Ini menjadi problem, persoalan yang harus ditangani oleh Pemerintah DKI Jakarta,” kata Pramono.
Revitalisasi Makam Lama yang Sudah Tidak Terurus

Dosen Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah menyarankan agar Pemprov DKI tidak hanya berfokus mencari lahan baru, tetapi juga melakukan revitalisasi terhadap makam lama yang sudah tidak terurus.
“Jangan hanya berpikir menambah lahan baru, tapi benahi dulu yang lama. Banyak makam di Jakarta yang tidak terurus dan bisa ditata ulang agar lebih efisien,” ujar Trubus.
Optimalisasi lahan makam lama bisa dilakukan dengan cara penataan ulang, termasuk menerapkan sistem tumpang susun pada makam yang sudah berusia lama atau tidak memiliki ahli waris.
“Lebih baik dibuka saja, ditumpang lagi di atasnya. Jadi makam yang sudah lama sekali dibongkar, dipakai untuk yang baru. Kalau tidak, bisa juga dipindahkan ke luar Jakarta,” kata Trubus.
Selain penataan ulang, Trubus juga menyoroti perlunya transparansi dalam pengelolaan TPU, termasuk dalam hal penerimaan dan penggunaan dana pemeliharaan makam.
“Transparansinya harus jelas. Berapa yang diterima dari masyarakat, berapa dari Pemprov. Karena masyarakat kan setiap tahun juga membayar,” katanya.
Dia juga menilai pembangunan TPU baru di setiap kelurahan bukanlah solusi ideal karena akan membutuhkan anggaran besar dan lahan yang terbatas. Ia mendorong Pemprov DKI untuk lebih realistis dengan memaksimalkan lahan yang sudah ada.
“Kalau terus menambah lahan tanpa memperbaiki sistem pengelolaan yang lama, persoalan ini akan berulang. Jakarta butuh kebijakan pemakaman yang berkelanjutan,” tegasnya.
Akibat Lemahnya Pendataan

Pengamat Tata Kota, Yayat Supriatna, mengungkapkan krisis lahan pemakaman di Jakarta bukan semata karena keterbatasan ruang, melainkan akibat lemahnya pendataan dan pengelolaan makam oleh pemerintah provinsi (Pemprov) DKI.
Ia menyebut bahwa persoalan terbatasnya lahan makam sebenarnya sudah berlangsung lama sejak tahun 2010. Menurutnya, banyak TPU yang meskipun sudah dinyatakan tutup, namun dipaksa harus menerima jenazah.
“Bahkan beberapa TPU yang sudah ditutup tetap menerima jenazah karena pengelolanya tidak kuat menolak tekanan keluarga. Akibatnya, tata ruang di dalam makam menjadi semrawut,” kata dia.
Yayat menambahkan, sebenarnya pernah ada upaya penataan melalui program identifikasi jenazah pada masa pemerintahan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sekitar tahun 2010–2012. Namun, kebijakan itu tidak berlanjut hingga kini.
“Dulu pernah dilakukan identifikasi jenazah untuk penataan pemakaman, tapi sayangnya program itu berhenti di tengah jalan,” ujarnya.
Untuk mengatasi keterbatasan lahan, Yayat mengusulkan penerapan sistem makam tumpang sebanyak dua hingga tiga lapis.
“Kalau bisa disepakati dua atau tiga lapis, itu lebih efisien. Dua lapis saja sudah cukup realistis,” ucapnya.
Lebih lanjut, Yayat menjelaskan masih ada beberapa area pemakaman di pinggiran Jakarta seperti TPU Rorotan yang bisa dikembangkan. Namun, warga cenderung menolak karena lokasinya jauh dari tempat tinggal.
“Warga ingin dimakamkan dekat keluarga. Itulah sebabnya TPU di tengah kota cepat penuh, sedangkan makam di wilayah pinggiran kurang diminati,” jelasnya.
Selain itu, terdapat kendala sosial dalam pembebasan lahan baru untuk TPU. Pasalnya, warga sering menolak karena khawatir nilai properti menurun dan muncul ketidaknyamanan psikologis karena ada keberadaan makam.
“Ya mungkin karena ada persoalan kepercayaan, nilai tanahnya turun, atau perasaan tidak nyaman tinggal dekat makam,” ujar Yayat.
Ia menegaskan selama pendataan dan tata kelola makam tidak dibenahi, kebijakan penambahan lahan baru tidak akan menyelesaikan masalah.
“Jakarta butuh kebijakan pemakaman yang berbasis data dan berkelanjutan,” pungkasnya.
Solusi Atasi Keterbatasan Lahan Makam di Negara lain

Karena lahan yang makin lama makin sempit, tempat pemakaman di negara-negara lain juga mengalami problem yang sama, bahkan seringkali tergusur untuk peruntukan yang lain.
Sejak tahun 1998, Pemerintah Singapura mengumumkan kebijakan untuk membatasi periode pemakaman menjadi 15 tahun. Setelah itu makam akan digali dan jenasah dikremasi atau dipindahkan ke lahan yang lebih kecil.
Langkah tersebut adalah untuk membantu mengintensifkan penggunaan lahan di tempat pemakaman dan mengatasi kekurangan lahan.
Buntut aturan itu, menurut Dinas Lingkungan Singapura, saat ini lebih banyak penduduk singapura yang mayoritas keturunan Cina memilih kremasi daripada dikuburkan.
Sementara, pembatasan di Hong Kong lebih keras lagi, dengan periode hanya enam tahun. Jika keluarga tidak memindahkan makam, pihak berwenang akan menggali dan mengkremasi sisa jenazah, kemudian mengubur abunya di pemakaman komunal.
Di Amerika Serikat, Pada 2022, sekitar 59 persen jenazah dipilih untuk dikremasi. Abu kremasi bisa dikubur, namun membutuhkan lahan jauh lebih sedikit. Tren pemakaman ramah lingkungan atau green burial juga mulai naik, di mana jenazah dikebumikan tanpa peti mati maupun pengawetan, sehingga dapat terurai alami di tanah.
Di Inggris, krisis lahan makam bahkan lebih parah. Perkiraan tahun 2013 menyebut setengah dari seluruh pemakaman di negara itu bisa penuh pada 2033. Beberapa pemakaman menerapkan metode "penguburan ganda", di mana jenazah lama yang sudah dikubur lebih dari 75 tahun diturunkan lebih dalam untuk memberi ruang bagi jenazah baru di atasnya. Meski begitu, jika ada penolakan keluarga, metode ini tidak bisa digunakan.
Pilihan lain yang mulai dikenal adalah kremasi tanpa api atau flameless cremation, juga disebut hidrolisis alkali. Proses ini menggunakan air panas dan larutan kimia untuk melarutkan tubuh menjadi cairan, sementara sisa tulang dihancurkan menjadi bubuk. Metode ini sudah legal di sekitar 28 negara bagian Amerika.
Beberapa negara Eropa memilih pendekatan praktis yakni memberikan sewa lahan makam jangka pendek. Jika tidak diperpanjang, jenazah bisa dipindahkan, dikremasi, atau diletakkan di ruang yang lebih kecil.
Namun, yang harus tetap diingat, selama populasi manusia terus bertambah dan meninggal, masalah kapasitas pemakaman akan tetap menjadi tantangan. (est)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance