Jakarta, TheStance – Memasuki satu tahun pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, sejumlah indikator ekonomi dan demokrasi masih menunjukkan tren penurunan.
Ekonom menilai kondisi fiskal Indonesia berada dalam fase kritis akibat melemahnya penerimaan pajak dan tersendatnya pertumbuhan sektor riil.
Sementara dari sisi demokrasi, kebebasan masyarakat sipil juga makin memburuk menyusul penangkapan sejumlah aktivis dalam demo akhir Agustus lalu.
Indonesia Masuk Krisis Fiskal
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, menyoroti rasio penerimaan pajak (tax ratio) yang anjlok menjadi hanya 8,5 persen per Juni 2025, turun dari 10% pada periode yang sama tahun lalu.
Angka tersebut jauh dari target ambisius pemerintahan Prabowo yang berjanji menaikkan tax ratio hingga 15–16%. Kondisi ini, kata Anthony yang juga Board of Expert The Stance, membuat Indonesia masuk dalam krisis fiskal.
“Tax ratio yang turun ini akan menghambat banyak hal, terutama kebijakan fiskal. Kalau penerimaan pajak terus melemah, bagaimana ekonomi bisa tumbuh?” ujar Anthony dalam Diskusi Publik "Satu Tahun Pemerintahan Prabowo, Tantangan dan Harapan Indonesia Maju", di Jakarta, Senin (20/10/2025).
Menurut Anthony, krisis fiskal berdampak langsung pada kemampuan pemerintah pusat menyalurkan dana ke daerah. Transfer ke Daerah (TKD) mulai dikurangi karena target penerimaan pajak tidak tercapai.
“Akibatnya, kemiskinan di daerah berpotensi meningkat. Beberapa gubernur bahkan sudah menyampaikan protes," katanya
Kondisi ini diperburuk oleh nilai tukar rupiah yang hanya bisa bertahan berkat intervensi Bank Indonesia. “Kurs rupiah kita bergantung pada pinjaman Bank Indonesia, sementara defisit transaksi perdagangan terus melebar,” tambahnya.
Anthony pun mengritik kebijakan Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, yang menempatkan dana Rp200 triliun di bank-bank Himbara sebagai upaya menggairahkan ekonomi. Ia menyebut kebijakan tersebut sulit mendorong pertumbuhan ekonomi.
“Masalah ekonomi kita bukan soal likuiditas. Uang di perbankan sudah sangat besar, tapi tersimpan di SBN dan sertifikat Bank Indonesia, mencapai Rp2.000 triliun. Itu uang menganggur,” katanya.
Kembali ke Jalur Industrialisasi
Ia menunjuk indikator Loan to Deposit Ratio (LDR) perbankan yang berada di kisaran 86 hingga 88%. Fakta itu, kata Anthony, menegaskan bahwa likuiditas perbankan nasional justru berlebih.
Dirinya menegaskan, stimulus fiskal sejatinya hanya bisa dilakukan lewat dua cara, pengurangan pajak atau peningkatan belanja negara. “Bukan dengan memindahkan dana dari BI ke bank negara,” tambahnya.
Ia pun mengingatkan kembali fungsi Kemenkeu adalah memberi stimulus dan redistribusi pendapatan, bukan menciptakan pertumbuhan.
Sektor riil, seperti perindustrian, pertanian, dan perdagangan lah yang seharusnya jadi penentu untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Anthony yang juga mantan penyusun naskah ekonomi pasangan Prabowo-Sandi di Pilpres 2019 ini juga menilai potensi pertumbuhan 8–10% masih mungkin dicapai, asal pemerintah berani melakukan industrialisasi besar-besaran.
Ia mencontohkan negara seperti Jepang, Jerman, dan Belanda yang sukses karena bertumpu pada industri, meski tetap menjaga sektor pertaniannya tetap kuat.
“Tidak ada negara agraris yang kaya. Kalau kita tetap bergantung pada sektor pertanian, kita akan terus jadi negara miskin,” katanya.
Menurut Anthony, lemahnya kebijakan industrialisasi inilah yang membuat Indonesia tertinggal dari negara-negara tetangga.
“Vietnam sudah menyusul kita. Tahun 2024 ekspor mereka mencapai US$400 miliar, sementara Indonesia hanya US$200 miliar, itu pun sebagian besar dari bahan mentah seperti nikel,” jelasnya.
Demokrasi Menurun dan Pengaruh Kuat Jokowi
Sementara itu analis sosial politik, Ubedilah Badrun, menilai akar persoalan ekonomi Indonesia saat ini bersumber dari politik yang buruk dan praktik tata kelola negara (good governance) yang lemah.
Mengutip riset World Economic Forum (WEF), Ubaidillah menyebut banyak pengusaha dan investor besar global yang kini enggan menanamkan modal secara serius di Indonesia.
"Dari rencana investasi Rp50 triliun, yang terealisasi hanya Rp2,5 triliun. Penyebab utamanya adalah buruknya good governance. Sepanjang korupsi merajalela, ekonomi tak mungkin tumbuh,” ujarnya.
Ia menegaskan, korupsi dan rendahnya kualitas demokrasi memiliki hubungan langsung dengan lesunya ekonomi nasional.
“Penelitian Edward Aspinall menunjukkan bahwa korupsi meningkat ketika demokrasi memburuk. Indeks demokrasi kita turun dari 6,9 menjadi 6,4, sementara indeks penegakan hukum hanya 0,53,” jelas Ubaidillah.
Bahkan, indeks kebebasan sipil (civil liberty) kini hanya di angka 5,29, diperburuk oleh kasus penangkapan hampir 900 aktivis pada akhir Agustus 2025 lalu.
“Ini akan membuat investor semakin enggan. Dunia usaha butuh stabilitas politik dan hukum, bukan represi terhadap kebebasan sipil,” katanya.
Lebih lanjut, Dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) ini menilai pemberantasan korupsi belum menunjukkan arah yang tegas di masa setahun pemerintahan baru ini.
“Mungkinkah Prabowo mampu memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya? Itu pertanyaan besar. Apalagi, orang-orang di KPK masih memiliki loyalitas tinggi terhadap rezim sebelumnya,” katanya.
Ia menambahkan, lemahnya penegakan hukum dan dominasi figur lama di kabinet juga memperbesar kecemasan publik.
“Mayoritas menteri Prabowo adalah menteri Jokowi. Artinya, pengaruh Jokowi masih sangat kuat. Ini membuat publik ragu akan lahirnya arah baru dalam pemerintahan,” ujarnya.
Untuk melakukan lompatan ekonomi, kata Ubedilah, dibutuhkan kepemimpinan yang kuat, berani, dan bebas dari kompromi politik.
Ia mencontohkan Korea Selatan yang mampu melesat karena bersih dari korupsi dan memiliki disiplin birokrasi tinggi.
“Sepanjang Prabowo tidak memperbaiki kualitas demokrasi dan tidak memberantas korupsi secara sungguh-sungguh, sepanjang itu pula ekonomi Indonesia akan stagnan,” kata Ubaidillah.
Survei Kepuasan Publik
Sementara itu Center of Economic and Law Studies (Celios) dalam survei penilaian kinerja setahun Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menilai pemerintahan Prabowo-Gibran belum memenuhi ekspektasi publik.
Survei Celios bahkan menempatkan kinerja kabinet dengan skor 3 dari 10, turun dari survei 100 hari pertama yang sebelumnya berada di angka 5.
Evaluasi dilakukan melalui survei panel terhadap 120 jurnalis dari 60 media nasional serta survei publik kepada 1.338 responden di seluruh Indonesia.
Direktur Kebijakan Fiskal Celios, Media Wahyu Askar, menjelaskan penurunan nilai tersebut mencerminkan lemahnya koordinasi antarlembaga, komunikasi publik yang tidak konsisten, serta lambatnya realisasi sejumlah program prioritas.
"Pak Prabowo Subianto mendapatkan skor 3 dari 10, sementara Gibran 2 dari 10. Selama setahun terakhir, banyak kebijakan yang belum menunjukkan dampak nyata bagi publik," ujarnya dalam laporan kinerja satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran secara daring, Minggu (19/10/2025).
Nilai rapor itu berdasarkan pada enam indikator yakni:
Capaian program,
Kesesuaian rencana kebijakan dengan kebutuhan publik
Kepemimpinan
Tata Kelola anggaran
Komunikasi kebijakan, dan
Penegakan hukum.
Dalam laporannya, mayoritas responden menilai janji politik pemerintahan hanya dijalankan setengah hati.
Baca Juga: Sering Omon-Omon Anti-Asing, Prabowo Kini Bolehkan WNA Pimpin BUMN
Sebanyak 56% responden menyatakan janji politik Prabowo hanya sebagian kecil yang berhasil, sementara 43% lainnya menilai tidak ada yang berhasil sama sekali.
Celios mengungkapkan mayoritas publik juga merasa program pemerintah belum menghadirkan perubahan nyata.
Sebagian besar publik mendesak koreksi arah kebijakan. Sebanyak 96% mendukung reshuffle kabinet, 98% mendukung pemangkasan nomenklatur kementerian, dan 58% menilai koordinasi antar lembaga tidak serasi.
Sedangkan isu paling mendesak yang disorot publik ialah penciptaan lapangan kerja (23,5%) dan pengendalian harga kebutuhan pokok (22,4%). (est)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance