Jakarta, TheStance – Kabar bernada negatif terkait DPR tidak jauh-jauh dari urusan tunjangan. Belum lama rakyat bersorak karena tunjangan perumahan anggota DPR senilai Rp50 juta/bulan dihapus mulai 31 Agustus 2025, muncul kenaikan dana reses.
Ibarat patah satu tumbuh seribu, tunjangan perumahan yang sukses dihilangkan kini diikuti dengan kenaikan dana reses anggota DPR yang naik jadi Rp702 juta per anggota untuk setiap kali reses.
Bahkan, dana reses DPR sempat mengalami kenaikan dari semula Rp702 juta per Mei 2025 menjadi Rp756 juta per Oktober ini. Ada kenaikan Rp54 juta yang sempat diterima oleh anggota DPR.
Setelah kenaikan dana reses pada Oktober ini diketahui publik, pimpinan DPR buru-buru menglarifikasi. Sekretariat Jenderal DPR menyebut kelebihan dana reses yang diterima anggota dewan adalah salah transfer karena tidak ada kenaikan demikian.
Masyarakat seolah dianggap bodoh, sehingga pejabat negara bisa leluasa menggunakan anggaran negara, yang dikumpulkan dari pajak dan keringat rakyat.
Sejak Mei 2025, Dana Reses Naik Rp702 juta per Anggota
Menanggapi kontroversi ini, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menjelaskan bahwa kenaikan dana reses memang ada dan dinilai sah-sah saja. Besaran dana reses sebesar Rp702 juta ini naik dari periode sebelumnya (2019–2024) senilai Rp400 juta.
Alasannya, jumlah kunjungan anggota DPR meningkat dan indeks kegiatan naik. Dengan kata lain: makin sering jalan, makin besar uangnya.
“Reses itu uangnya bukan buat anggota dewan, tapi buat kegiatan di dapil [daerah pemilihan], menyerap aspirasi masyarakat,” klaim Dasco.
Belum cukup atas kenaikan Rp702 juta, dana reses kembali diusulkan bertambah karena ada isu penambahan indeks dan jumlah titik reses yang harus disambangi para anggota DPR di daerah pemilihan masing-masing.
Sempat ada usulan dana reses Rp702 juta ditambah lagi menjadi Rp756 juta.
DPR Klaim Salah Transfer Dana Reses Rp756 juta
Wakil Ketua DPR RI Saan Mustopa mengakui memang sempat ada isu mengenai penambahan titik reses per Agustus 2025, tapi akhirnya tak terlaksana. Pertimbangan kenaikan saat itu adalah jika titik reses bertambah maka dana reses juga berpotensi naik.
"Sempat ada isu itu (kenaikan) dua titik. Tapi, akhirnya titiknya tidak berubah," ujar politikus Partai NasDem itu.
Sama halnya dengan tunjangan rumah yang dibatalkan, usulan kenaikan sebesar Rp54 juta tersebut batal terlaksana setelah gelombang demonstrasi kian meluas di penghujung Agustus lalu.
Namun, Dasco menyebut, ada kekeliruan dari Sekretariat Jenderal (Setjen) DPR soal kenaikan tersebut. Menurut dia, Setjen DPR mengira wacana kenaikan itu berjalan per Oktober.
Akibatnya, beberapa anggota DPR menerima dana reses sebesar Rp756 juta sesuai usul kenaikan. Namun, Dasco memastikan dana tersebut telah dikembalikan sehingga dana reses tetap sesuai kenaikan per Mei sebesar Rp702 juta.
"Dia pikir si Rp54 juta ini dia oke. Tapi belum juga tertransfer. Nah kemudian ditarik balik sudah didebit balik semuanya tadi tetap Rp702 juta," kata Dasco.
Dengan begitu, Dasco menyampaikan tidak ada perubahan dana reses setelah terakhir naik menjadi Rp702 juta pada Mei 2025 lalu.
Apa itu Reses dan Berapa Besaran Anggaran Dana Reses ?
Reses adalah masa saat anggota DPR tak melakukan kegiatan sidang di kompleks parlemen. Sebagai gantinya, mereka akan "turun gunung" mengunjungi dapil masing-masing untuk menyerap aspirasi masyarakat hingga bakti sosial (baksos).
Total ada 84 dapil di seluruh Indonesia yang diwakili 580 anggota DPR. Reses dilakukan biasanya antara 4-5 kali dalam setahun dan dananya akan diterima dalam setiap kali masa reses tersebut.
Anggota DPR periode 2024-2029 mendapatkan dana reses Rp702 juta per orang untuk setiap kali reses. Artinya, jika reses dalam 1 tahun ada 5 kali reses, maka total dana reses yang diterima setiap anggota DPR bisa mencapai Rp3,5 miliar per tahun.
Besarnya anggaran tersebut memantik kritik dari sejumlah organisasi nonpemerintah.
Indonesian Corruption Watch (ICW), misalnya, pada Agustus lalu menuntut keterbukaan informasi perihal laporan pertanggungjawaban dana reses periode 2024-2025.
"Berapa yang diterima oleh setiap anggota DPR perlu kita ketahui. Ini karena ada potensi penyelewengan yang dilegalkan," terang Kepala Divisi Advokasi ICW, Egi Primayogha.
Pemasukan itu, lanjutnya, tidak digunakan sebagaimana mestinya, tapi justru untuk menebus ongkos pemilu, biaya setor ke parpol (partai politik), atau merawat jejaring patronase untuk mempertahankan posisi di DPR dan modal pemilu berikutnya.
Anggaran Naik, Transparansi Tidak
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Indonesian Budget Center (IBC), Arif Nur Alam, menyoroti pelaporan dana reses yang seharusnya diterapkan secara transparan.
Terlebih, pada tahun ini, DPR mendapatkan kenaikan anggaran menjadi Rp9,9 triliun dari sebelumnya Rp6,6 triliun, menurut APBN.
"Memang mekanisme proses penganggaran kalau dilihat dalam Undang-Undang tentang Keuangan Negara secara normatif, itu dibahas kementerian dengan DPR karena kebijakan anggaran itu ada di DPR dengan pemerintah," ujar Arif.
"Nah, DPR mengajukan sendiri (besaran dana kunjungan kerja) melalui BURT sampai ke sekjen (sekretariat jenderal). Pertanyaannya adalah apakah mereka terbuka dengan basis evaluasi dari anggaran tahun-tahun sebelumnya?" tambahnya.
Sementara itu, Peneliti Indonesia Parliamentery Center (IPC), Arif Adiputro, menduga kenaikan dana reses menjadi Rp756 juta adalah alokasi dana tunjangan rumah dan alat komunikasi DPR yang sebelumnya dibatalkan.
Hasil penghitungan IPC, kata dia, angka Rp54 juta itu sesuai dengan jumlah dana tunjangan rumah yang dikurangi. "Sehingga, kami rasa bukan ada penambahan, melainkan anggaran yang sebelumnya dibatalkan kemudian dialihkan ke anggaran reses."
Lagi-Lagi, Rakyat Kena Prank Massal
Peneliti Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai masyarakat kena prank berjamaah dari wakil rakyat, setelah sempat dibuai karena DPR “rela” dipotong tunjangan perumahannya sebesar Rp50 juta per bulan.
Ternyata di balik layar, ada kenaikan dana reses yang nilainya jauh lebih fantastis, nilainya mencapai Rp702 juta per orang per sekali kegiatan reses.
“Kita dibikin senang dulu karena tunjangan rumah dihapus. Tapi ternyata, diam-diam, muncul tunjangan lain yang lebih fantastis. Seolah-olah rakyat kena prank massal,” kata Lucius dalam keterangannya, Minggu (12/10/2025).
“Dengan tunjangan reses sefantastis ini, kita jadi paham kenapa DPR tak menangis kehilangan 50 juta per bulan dari tunjangan perumahan,” tambahnya.
Lucius juga menyoroti tunjangan reses yang tidak jelas laporan pertanggungjawabannya. Menurutnya, selama ini, kegiatan anggota DPR RI selama masa reses hanya untuk memenuhi administrasi dan tidak wajib.
Tanpa ada laporan yang jelas dan rendahnya pengawasan dari masyarakat, tunjangan reses ini rawan disalahgunakan bahkan bisa masuk ke kantong pribadi anggota dewan.
“Pantas saja mekanisme pertanggungjawaban dana reses ini dibikin selonggar mungkin. Ya supaya uang dengan nilai fantastis itu bisa diakali. Kelihatan banget reses dimanfaatkan untuk kepentingan menambah pundi-pundi pendapatan anggota,” ujarnya.
Lucius juga menyinggung soal sedikitnya aspirasi yang dibawa anggota dewan di parlemen usai masa reses selesai. “Emang ada gitu aspirasi rakyat yang sungguh-sungguh diserap dan diperjuangkan anggota usai melaksanakan reses?”
Nebeng Kegiatan Kementerian Sampai Dapat Peringatan dari BPK
Sesuai aturan, laporan kegiatan dan pertanggungjawaban penggunaan anggaran wajib dibuat dan diserahkan.
Meski ada aturan, bahkan panduan pengelolaan reses yang transparan dan akuntabel untuk anggota DPR yang dibuat Indonesian Budget Center (IBC) bersama Yayasan Tifa pada 2020, penerapannya masih jauh dari harapan.
"Bagaimana bentuk akuntabilitas reses yang dilakukan secara individu kepada publik? Apa saja yang mereka serap aspirasinya? Tematik aspirasi apa saja yang menjadi soal di dapil mereka? Bagaimana mereka mengartikulasikan dalam perbincangan baik di internal maupun secara eksternal?" ujar Direktur Eksekutif Indonesian Budget Center (IBC), Arif Nur Alam.
Menurut Arif, selama ini praktik reses tidak dipahami sepenuhnya oleh anggota DPR sehingga tertanam anggapan bahwa reses merupakan rutinitas belaka. Padahal, masa reses harus menjadi titik temu antara pemberi mandat dan penerimanya.
Alhasil, kegiatan reses hanya berbentuk tatap muka hingga ceramah yang dihadiri orang-orang terpilih atau konstituen terbatas sehingga terkesan hanya "seremonial" dan "formalitas" belaka.
Temuan lainnya, di lapangan tidak sedikit anggota DPR yang justru 'nebeng' dengan kegiatan kementerian atau lembaga lain ketika melakukan reses.
"Apalagi, yang lebih miris, ketika reses mereka menunggu kebijakan dari kementerian. Misalkan, pembagian traktor atau bantuan yang lain, mereka yang menyerahkan. Ini sudah salah. Mereka ini legislator, bukan sebagai eksekutif," ungkap Arif.
Baca Juga: Pensiun DPR Seumur Hidup Digugat di MK, Dianggap Bebani Negara dan Tak Adil
Dari sisi administrasi pelaporan keuangan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tercatat tiga kali memberi peringatan sehubungan pengelolaan dana reses, dari 2019 sampai 2023.
Pada 2019, BPK menemukan hampir Rp1 triliun uang perjalanan dinas dan reses anggota DPR tanpa pertanggungjawaban. Setahun berselang, BPK kembali mendapati dana reses senilai Rp1,3 triliun tidak ada pertanggungjawabannya.
Pada 2023, BPK memberikan catatan lagi terkait dana reses, utamanya biaya konsumsi untuk berbagai kegiatan kunjungan kerja. Dalam laporan BPK dijelaskan belum adanya keseragaman penyampaian pertanggungjawaban belanja biaya konsumsi.
"Di lain sisi, pemberian biaya kegiatan yang direalisasikan sekali kirim, atau lumpsum, membikin pertanggungjawabannya kurang akuntabel," terang BPK dalam laporannya.
Menjawab keluhan dan kecurigaan publik soal transparansi dan pertanggungjawaban dana reses tersebut, Dasco berjanji DPR akan membuat aplikasi yang bakal merekam transparansi aktivitas saat reses.
"Jadi kalau mereka klik mau anggota DPR siapa, dari partai apa, kegiatan resesnya apa dan di mana saja, itu mereka wajib sejumlah titik yang didatangi, acaranya apa dia harus upload," pungkas Dasco. (est)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance