Jakarta, TheStance – Setelah tunjangan rumah mendapat protes dan berujung demonstrasi, kini uang pensiun wakil rakyat menjadi sasaran untuk diutak-atik melalui gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Seorang psikolog bernama Lita Linggayani dan seorang Advokat, Syamsul Jahidin, nekad mengajukan uji materil Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan/Administrasi Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara Serta Bekas Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dan Bekas Anggota Lembaga Tinggi Negara.

Berdasarkan gugatan yang teregistrasi di Mahkamah Konstitusi (MK) per 30 September 2025, mereka ingin jatah uang pensiunan DPR dihapus.

Yang dibidik ada tiga pasal yakni Pasal 1 a, Pasal 1 f, dan Pasal 12 UU Nomor 12 Tahun 1980. Tiga pasal tersebut dianggap menjadi celah atau dasar selama ini mantan anggota atau pimpinan DPR mendapat uang pensiun setiap bulannya.

Ketimpangan dan Menambah Beban Anggaran

Dalam permohonannya, Lita menilai tidak adil bagi dia untuk menanggung hak pensiun anggota DPR yang hanya menjabat selama lima tahun. Padahal uang negara yang digunakan untuk mengalokasikan pensiun itu berasal dari pajak yang ia bayarkan.

“(Pemohon I) tidak rela pajaknya digunakan untuk membayar anggota DPR yang hanya menempati jabatan lima tahun tetapi mendapatkan tunjangan pensiun seumur hidup dan dapat diwariskan,” demikian tertulis dalam permohonan yang dikutip dari laman resmi MK, Jumat, (03/10/2025).

Lita juga meyakini penyaluran pensiun bagi anggota DPR menambah beban anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Tercatat ada sekitar 5.175 mantan anggota DPR yang berhak mendapat uang pensiun sejak UU 12/1980 berlaku.

Sementara pemohon lain yakni Syamsul Jahidin menekankan pemberian hak pensiun kepada DPR terasa sangat timpang jika dibandingkan dengan nasib tenaga guru honorer, yang tak mendapat keistimewaan serupa.

Selain itu, alokasi APBN selama ini untuk dana pensiunan DPR yang uangnya dari pajak rakyat telah nyata membuka jurang antara si kaya dan si miskin.

“Kehidupan sosial masyarakat yang belum membaik, tapi anggota DPR sejahtera,” kata Syamsul dalam gugatan.

Para penggugat juga menghitung beban fiskal yang ditanggung rakyat selama negara membayarkan hak pensiun pejabat DPR.

Merujuk 45 tahun atau sejak waktu pemberlakuan Undang-Undang 12/1980, setidaknya total anggota DPR mencapai 5.175 orang dari sembilan periode selama parlemen berdiri.

Dari perhitungan para pemohon, jika ada ribuan pensiunan DPR, maka APBN mengeluarkan senilai Rp226 miliar, merujuk pada perhitungan gaji sesuai Peraturan Pemerintah (PP) 75/2000 dan batas persenan pensiun berdasar Undang-Undang 12/1980.

Besaran Pensiun Anggota DPR

Anggota DPR joget

Berdasarkan penelusuran TheStance dari berbagai sumber, diketahui bahwa anggota DPR yang berhenti dengan hormat dari jabatannya berhak memperoleh pensiun yang ditetapkan berdasarkan lama masa jabatan.

“Besarnya pensiun pokok sebulan adalah 1 persen dari dasar pensiun untuk tiap-tiap satu bulan masa jabatan dengan ketentuan bahwa besarnya pensiun pokok sekurang-kurangnya 6 persen dan sebanyak-banyaknya 75 persen dari dasar pensiun," tulis pasal 13 ayat 2 UU Nomor 12 Tahun 1980.

Dus, besaran uang pensiun yang didapat bermacam-macam. Jatah uang pensiun tertinggi sebesar Rp3,6 juta untuk anggota DPR yang menjabat 2 periode. Lalu, Rp2,9 juta bagi yang menjabat 1 periode, dan Rp400 ribu bagi yang menjabat 1-6 bulan saja.

Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat anggaran untuk membayar tunjangan pensiun anggota DPR itu per bulannya menghabiskan Rp1,4 miliar atau mencapai Rp16,8 milar per tahunnya.

Selain itu, para wakil rakyat yang pensiun juga berhak mendapatkan Jaminan Hari Tua (JHT) sebesar Rp15 juta yang dibayarkan 1 kali.

Yang istimewa, pemberian uang pensiun anggota DPR ini berlaku seumur hidup dan dapat diturunkan kepada keturunan mantan anggota DPR, ketika anak tersebut masih di bawah umur.

Dalam Pasal 17 UU 12 (1980) disebutkan bahwa jika penerima meninggal, maka pasangannya berhak mendapat separuh dari nilai pensiun tersebut.

Untuk diketahui, di luar uang pensiun dan gaji pokok, anggota DPR mendapatkan tunjangan hingga Rp47,1 juta baik berupa tunjangan istri, tunjangan anak, tunjangan jabatan, hingga tunjangan komunikasi intensif.

Respons DPR

Puan Maharani

Menanggapi gugatan ini, Ketua DPR RI, Puan Maharani mengatakan segala fasilitas dan tunjangan yang dinikmati DPR sudah sesuai dengan aturan yang berlaku sehingga segala perubahan harus dilakukan sesuai dengan mekanisme hukum yang ada.

“Kami hargai aspirasi, tetapi semuanya itu ada aturannya, lihat dahulu aturannya. Tidak bisa kita hanya berbicara kepada satu lembaga atau lembaga lain, tetapi aturannya ini menyeluruh jadi kita lihat aturan yang ada,” kata Puan pada Kamis (2/10/2025).

Senada, Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad mengatakan,selama ini DPR hanya mengikuti aturan yang telah ditetapkan oleh Undang-undang. Aturan soal anggota DPR bisa menerima uang pensiun seumur hidup ini juga berjalan sejak lama.

"Ya sebenarnya kalau anggota DPR itu kan hanya mengikuti karena itu produk undang-undang yang sudah ada, sejak beberapa waktu yang lalu," kata Dasco di kompleks parlemen Senayan, Jumat (3/10/2025).

Namun, terkait gugatan atas aturan penerimaan uang pensiun untuk anggota DPR ini, Dasco menyebut DPR akan tunduk. "Nah apapun itu kami akan tunduk dan patuh pada hukum apa namanya putusan Mahkamah Konstitusi."

"Apapun yang diputuskan kita akan ikut. Demikian," imbuh Dasco.

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai peluang MK mengabulkan gugatan ini sangat terbuka. Alasannya, UU 12/1980 itu sudah sangat lama tak disentuh oleh perubahan.

“Perubahan paradigma terkait posisi DPR yang mungkin cukup berbeda dengan era orde baru terutama soal banyaknya tunjangan yang diterima anggota DPR adalah salah satu yang seharusnya menjadi alasan undang-undang ini dari kemarin-kemarin mestinya direvisi,” kata Lucius dalam keterangannya, Jumat (3/10/2025).

Produktivitas Tak Memuaskan, Tak Ada Masa pensiun

Lucius Karus -  Formappi

Formappi menilai kinerja DPR kurang memuaskan karena tahun ini hanya empat produk legislasi yang dirampungkan, dari target sebanyak 52 RUU Prioritas 2025.

“Nah UU IKN dan UU BUMN adalah dua contoh telak, betapa kualitas produk legislasi DPR sangat buruk. Bagaimana bisa dalam setahun dua RUU itu bisa direvisi. Itu kan sama sekali tidak menjamin kepastian hukum,” ujar Lucius.

Wacana penghapusan dana pensiun DPR, menurut dia, sudah disampaikan sejak lama. Namun sampai saat ini tidak ada tindakan serius dari pemerintah dan DPR untuk menyetop dana pensiun tersebut.

Ia tidak yakin parlemen akan mendorong revisi beleid tersebut, mengingat perubahan itu bakal merugikan mereka secara pribadi. Beda kasusnya jika membahas peraturan seperti UU Cipta Kerja hingga UU BUMN yang tak menyangkut pribadi mereka.

“Padahal setiap tahun masalah pensiun anggota DPR ini selalu diributkan publik. DPR seperti tuli mendengar kritikan publik itu,” tutur Lucius.

Dia juga menyoroti soal tidak ada batasan umur bagi anggota DPR juga menjadi titik celah yang melanggengkan uang pensiunan selama ini masih dinikmati.

“Itu artinya anggota DPR bisa menjabat sampai kapan pun jika terpilih. Itu artinya pula anggota DPR tak mengakui adanya waktu pensiun dalam jabatan itu. Kalau begitu mengapa harus diberi uang pensiun?” ungkapnya.

Untuk itu, diperlukan tekanan kuat dari masyarakat supaya penghapusan dana pensiun DPR itu bisa terlaksana. "Butuh tekanan publik yang kuat untuk mendorong pemerintah mengambil sikap tegas memutuskan rantai pensiun DPR ini."

Pejabat Negara Lembaga Lain juga Nikmati Pensiun

Tidak hanya anggota DPR, pensiun juga diberikan kepada para pejabat negara dari lembaga negara lain. Mereka berdasarkan UU 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara berhak mendapatkan pensiun setiap bulan.

Pelaksanaan administrasi atas penitipan dana iuran pensiun untuk pegawai negeri dan pejabat negara dilakukan oleh PT Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (PT Taspen).

Dalam UU Nomor 5 Tahun 2014, pejabat negara tersebut meliputi:

  1. Presiden dan wakil presiden;

  2. Ketua, wakil ketua, dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);

  3. Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);

  4. Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD);

  5. Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung (MA), serta

  6. Ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan, kecuali hakim ad hoc;

  7. Ketua, wakil ketua, dan anggota Mahkamah Konstitusi (MK);

  8. Ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK);

  9. Ketua, wakil ketua, dan anggota Komisi Yudisial (KY);

  10. Ketua dan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK);

  11. Menteri dan jabatan setingkat menteri;

  12. Kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta-Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh;

  13. Gubernur dan wakil gubernur;

  14. Bupati/wali kota dan wakil bupati/wakil wali kota; dan

  15. Pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh undang-undang.

Sebelumnya, mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengeluhkan beban APBN untuk dana pensiun. Pensiunan Aparatur Sipil Negara (ASN) atau Pegawai Negeri Sipil (PNS) mencapai Rp2.800 triliun terhadap keuangan negara.

Oleh sebab itu, dia sempat mewacanakan agar skema pensiunan diubah karena selama ini pembayaran pensiunan seluruhnya mengandalkan APBN.

"Yang terjadi sekarang, ASN, TNI, Polri memang mengumpulkan dana pensiun di Taspen dan Asabri namun untuk pensiunnya mereka enggak pernah membayarkan, tetapi yang membayarkan APBN penuh," ucap Sri Mulyani.

Baca Juga: Tembus Rp70 Juta per Bulan, Tunjangan Perumahan DPRD Harus Dievaluasi

Pengamat Komunikasi Politik Universitas Paramadina Erik Ardiyanto mengatakan skema dana pensiun anggota DPR RI tidak adil, tidak efisien, dan menjadi beban anggaran negara secara jangka panjang.

"Di tengah upaya pemerintah melakukan efisiensi dan reformasi birokrasi, skema pensiun seumur hidup bagi anggota legislatif justru menunjukkan ketimpangan dan privilege yang berlebihan", ujar Erik lewat keterangan tertulis, Sabtu (04/10/2025).

Ia juga menyoroti tunjangan seumur hidup DPR dengan masa jabatan lima tahun atau dua periode. Padahal, jutaan pekerja di sektor lain harus bekerja puluhan tahun untuk mendapatkan jaminan hari tua yang layak.

"Anggota DPR RI sebagai wakil rakyat seharusnya menjadi contoh dalam penghematan anggaran ini dengan mengevaluasi kembali hak-hak istimewa dan hak keuangan yang mereka dapatkan di tengah kondisi rakyat yang sulit,” kata Erik.

Menurut Erik, hal ini bukan soal besarannya saja, tetapi juga asas keadilan dan kepantasan. DPR RI disebut seharusnya menjadi teladan dalam reformasi sistem pensiun, bukan mempertahankan privilese. (est)

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance