Jakarta, TheStance – Beberapa waktu lalu masyarakat dihebohkan dengan adanya tunjangan perumahan bagi anggota DPR RI sebesar Rp50 juta per bulan. Berkat desakan masyarakat pula dan lewat sejumlah aksi unjukrasa, tunjangan perumahan anggota DPR itu akhirnya diputuskan untuk dihentikan mulai 31 Agustus 2025.

Namun, ternyata keputusan itu tidak serta merta diikuti oleh DPRD di berbagai daerah di Indonesia. Bahkan, di beberapa daerah nilainya sangat fantastis, tembus Rp70 jutaan per bulan. Angka ini di atas tunjangan rumah politisi Senayan yang dianggarkan Rp50 juta perbulan.

Berbagai kalangan pun berpendapat tunjangan rumah bagi DPRD ini perlu dievaluasi karena dinilai tidak sensitif ditengah kondisi ekonomi masyarakat saat ini.

Tunjangan Perumahan DPRD di Berbagai Daerah

gaji dan tunjangan dprd

Berdasarkan penelusuran TheStance, tunjangan rumah bagi anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota jumlahnya bervariasi sesuai dengan peraturan yang menjadi landasan hukumnya. Berikut di antaranya :

- DKI Jakarta, tunjangan perumahan bagi pimpinan DPRD ditetapkan sebesar Rp78,8 juta per bulan termasuk pajak. Sedangkan untuk anggota DPRD, tunjangannya mencapai Rp70,4 juta per bulan. Tunjangan itu sesuai Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 415 Tahun 2022.

Besaran tunjangan rumah DPRD Jakarta ini setara 16 kali UMP Jakarta 2025 yang berada pada Rp5,39 juta.

- Jawa Barat, berdasarkan Peraturan Gubernur Jabar Nomor 189 Tahun 2021, tunjangan perumahan Ketua DPRD mencapai Rp 70 juta per bulan, Wakil Ketua Rp 65 juta, dan anggota Rp 62 juta.

Jika dibandingkan dengan UMP Jawa Barat sebesar Rp2,19 juta, tunjangan rumah yang diterima anggota dewan ini setara dengan 31-35 kali UMP masyarakat Jabar.

- Jawa Tengah, Keputusan Gubernur Jateng Nomor 100.3.3.1/51 Tahun 2025 menetapkan besaran tunjangan perumahan Ketua DPRD Rp 79,63 juta per bulan, Wakil Ketua Rp 72,31 juta, dan anggota Rp 47,77 juta. Tercatat, tunjangan perumahan ini merupakan yang tertinggi se-Indonesia.

Besaran tunjangan rumah untuk DPRD Jateng ini mencapai 20-39 kali UMP Jawa Tengah tahun 2025 yang berada pada Rp2,16 juta.

- Jawa Timur, Keputusan Gubernur Jatim Nomor 188/30/KPTS/013/2023 menyebutkan tunjangan Ketua DPRD sebesar Rp 57,7 juta per bulan, Wakil Ketua Rp 54,8 juta, dan anggota Rp 49 juta.

Dengan UMP Jawa Timur yang berada dalam kisaran Rp2,3 juta, tunjangan yang diperoleh anggota dewan ini setara dengan 24-28 kali UMP yang diterima masyarakat.

Respon DPRD dan Kepala Daerah

basri Baco

Menanggapi tuntutan masyarakat, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Basri Baco menegaskan, pihaknya tidak keberatan jika angka fantastis itu dievaluasi. “Tak ada fraksi yang menolak dievaluasi,” ujarnya.

Namun, kata Baco, pihaknya tidak bisa memutuskan sendiri nominal penurunan tunjangan perumahan DPRD DKI sebab harus melibatkan pemerintah pusat. "Akan berkoordinasi dengan pihak gubernur dan pihak Kemendagri," ungkap Baco, Selasa (9/9/2025).

Politikus Golkar ini menyebut terdapat sejumlah tahapan sebelum penurunan tunjangan perumahan anggota DPRD DKI terealisasi. Ia bahkan mengklaim besaran tersebut ditetapkan Gubernur Pramono Anung hingga Kementerian Keuangan.

"Kan tidak bisa sendiri, semua tunjangan yang dewan dapat itu kan yang menetapkan bukan dewan, melainkan pemerintah, gubernur, dan Kementerian Keuangan," ucapnya.

Sementara itu, Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung menyatakan, pihaknya sudah berkomunikasi dengan DPRD. Ia menegaskan keputusan sepenuhnya ada di tangan dewan.

“Saya menunggu apa yang diputuskan oleh DPRD DKI,” kata Pramono di Balai Kota, Minggu (7/9/2025).

Di Jawa Barat, Gubernur Dedi Mulyadi menyebut, aturan tersebut merupakan warisan kepemimpinan sebelumnya. Ia mengaku tidak keberatan jika tunjangan perumahan dihapus.

“Tak masalah dihapus, apalagi jika melukai hati rakyat,” ujar Dedi.

Sementara itu, Wakil Ketua DPRD Jawa Barat, MQ Iswara, berkata alokasi terbesar dari take home pay yang diterima adalah tunjangan perumahan. Namun, nominal itu belum dipotong pajak progresif sebesar 30%.

“Kami menerimanya selama ini hanya Rp44 juta, sekaligus saya ingin meluruskan.” ujarnya.

Menurut dia, tunjangan ini merupakan hak sesuai peraturan yang ada karena tidak mendapat fasilitas rumah dinas. Di Jawa Barat, ia juga menyampaikan ada 27 kabupaten/kota yang jaraknya jauh dari ibukota provinsi.

Meski demikian, pimpinan DPRD dan ketua fraksi sepakat untuk mengevaluasi tunjangan tersebut, menyusul adanya tuntutan dari masyarakat.

“Ini timingnya pas. Kemendagri sedang evaluasi APBD Perubahan 2025. Kami akan serahkan ke Kemendagri. Kalau Kemendagri tidak mengizinkan, kami tidak akan menerima,” kata Iswara.

Mendagri : Kepala Daerah Bisa Evaluasi Besaran Tunjangan DPRD

Tito Karnavian

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyampaikan, bisa saja kepala daerah bersama DPRD mengevaluasi tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di wilayahnya masing-masing.

"Saya menyarankan kepada daerah dan DPRD berkomunikasi dengan mereka untuk melakukan evaluasi," kata Tito dalam keterangannya, Selasa (9/9/2025).

Pemerintah pusat, kata Tito, sebenarnya tidak memiliki kewenangan untuk mencampuri ranah pemberian tunjangan.

Kewenangan tunjangan tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2017 tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota DPRD.

"PP tahun 2017 itu memberikan kewenangan kepada daerah untuk memberikan tunjangan kepada DPRD, disesuaikan dengan kemampuan keuangannya," kata Tito.

"Sebelum ada rumah dinas untuk mereka, diberikan tunjangan rumah yang sesuai harganya, kewajaran, dan lain-lain," tambahnya.

Meski diakui Tito, adanya masyarakat di sejumlah daerah yang merasa keberatan dengan besarnya tunjangan rumah para anggota dewan.

Oleh karena itu, dia meminta seluruh kepala daerah untuk proaktif menanggapi berbagai aspirasi masyarakat, termasuk tunjangan tersebut.

"Beberapa daerah yang ada keberatan dari masyarakat, saya minta untuk proaktif melakukan komunikasi sehingga ditemukan (keputusan) yang baik," ucap Tito.

Demo Tolak Tunjangan Perumahan DPRD

Sebelumnya, Aliansi Mahasiswa Peduli Sosial Demokrasi (AMPSI) menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung DPRD DKI Jakarta, Kamis (4/9/2025).

Dalam aksinya, mereka menolak besaran tunjangan perumahan anggota dewan yang dianggap terlalu tinggi dan tidak sebanding dengan kondisi ekonomi masyarakat.

Di Semarang, Jawa Tengah, mahasiswa berunjukrasa menyuarakan hal serupa.

Mereka kecewa nominal gaji dan tunjangan yang diterima para anggota sangat besar, tapi kebijakannya selama ini justru tidak berpihak pada rakyat.

"Kami cukup kecewa, kinerjanya kurang dirasakan oleh masyarakat secara umum. Pengawasan dan aspirasi masyarakat itu belum tercover. Kami memandang tunjangan gaji DPR yang saat ini, tidak sebanding dengan pekerjaan yang ditunjukan," kata Dany, salah satu mahasiswa dari kampus di Semarang, Jawa Tengah, dikutip dari BBC News Indonesia.

Dany meminta agar kebutuhan rakyat seperti pendidikan, kesehatan, hingga lapangan pekerjaan yang belum terjamin bisa terpenuhi.

"DPR sebagai perwakilan rakyat harapannya bisa mewakili kepentingan masyarakat. Kami menuntut kesejahteraan rakyat menjadi prioritas," ujarnya.

Sementara itu, Mahasiswa Universitas Sumatera Utara, Jalaluddin Pulungan (22), juga menilai tunjangan perumahan anggota dewan besaran nilainya tidak masuk akal. Nilai tersebut sangat kontras dibandingkan upah minimum provinsi yang hanya Rp2,99 juta.

"Ini sangat tidak masuk akal. Karena kita lihat dari kinerja mereka dan juga penghasilan warga Sumatera Utara jauh dari nominal itu," ujar Jalaluddin.

Hanya Akal-Akalan

Pengamat Kebijakan Publik, Trubus Rahardiansyah menilai, tunjangan perumahan DPRD seharusnya tidak ada. Pasalnya, sebagai sosok yang mewakili warga Jakarta, mereka seharusnya berdomisili di Ibu Kota.

"Mereka rumahnya di Jakarta, masa ada tunjangan rumah. Kalau dia rumahnya di Bogor, ya jadi anggota DPRD di Bogor aja, kenapa di Jakarta," ujar Trubus, dalam keterangannya.

Untuk diketahui, tunjangan rumah dalam bentuk fasilitas rumah dinas ini semula ada karena untuk menunjang kinerja bagi mereka yang memang tidak memiliki hunian di kota bertugas.

Hal ini sejalan dengan praktik yang dilakukan pada kalangan ASN, BUMN, bahkan sebagian karyawan swasta.

Akan tetapi, wujud tunjangan rumah berupa uang ini apalagi untuk mereka yang tinggal sedari awal di kota tersebut memang menjadi tidak masuk akal.

Menurut dia, tunjangan perumahan tidak memiliki hal yang urgensi untuk diberikan kepada anggota DPRD Provinsi Jakarta. Trubus menilai, hal itu dibuat hanya sebagai akal-akalan yang mengarah kepada perilaku korupsi.

"Kalau (menurut) saya itu dihapus. Seperti DPR kan dihapus. Karena aneh, mereka tinggal di Jakarta, tapi tetap dapat tunjangan perumahan. Ini kan sesuatu yang menurut saya pemborosan anggaran. Akal-akalan lah itu," pungkasnya

Dia juga menyoroti selama ini legislatif DKI memang tidak pernah berupaya terbuka kepada publik mengenai penghasilan mereka. Untuk itu, ia mendorong, seharusnya anggaran tersebut dialihkan untuk program kepentingan rakyat.

"Jadi penggunaan anggaran selama ini memang ditutup dan publik tidak tahu. Maksudnya itu, aturannya enggak jelas," ucapnya.

Tunjangan Tidak Sebanding dengan Kinerja

anggota dprd

Sementara itu, Sahel Muzammil dari Transparency International Indonesia mendesak seluruh jajaran pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun lokal, harus segera mengevaluasi segala keputusan terkait tunjangan dengan lebih memperhatikan kondisi perekonomian dan keuangan negara/daerah, serta kondisi masyarakat pada umumnya.

"Sebab hal ini bukan hanya terlihat sebagai pemborosan, melainkan mulai terlihat sebagai 'korupsi yang dilegalkan'," ucap Sahel.

Apalagi, kata Sahel, selama ini publik tidak melihat kinerja nyata dari jajaran pemerintahan dan legislatif.

"Harus dipahami, kemarahan publik hari-hari bukan hanya karena angka-angka tunjangan yang tidak wajar, melainkan juga karena kinerja yang tidak memuaskan dari orang-orang yang mereka pilih dalam pemilu," ungkapnya.

Tindak lanjut yang dilakukan DPRD usai mendapat sorotan juga memperlihatkan para anggota dewan yang tidak sensitif pada kondisi sekitar.

"Ini pembelajaran penting, sebagai warga kita tidak boleh berhenti mengawasi dan mengevaluasi mereka, termasuk mengawasi keputusan-keputusan terkait anggaran, bahkan mungkin sampai keputusan terkait perizinan, kontrak, dan pengadaan yang notabene sering menjadi bancakan korupsi," ujar Sahel. (est)

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance