Jakarta, TheStance – Gubernur Aceh Muzakir Manaf alias Mualem memberi lampu hijau soal bantuan internasional atau luar negeri yang ingin masuk Aceh untuk membantu korban banjir dan longsor.

"Saya rasa tidak ada larangan. Sah-sah saja, tidak ada masalah," kata Mualem usai rapat percepatan penanganan bencana di Sumatra yang digelar di Laund Sultan Iskandar Muda, Aceh Besar pada Minggu (7/12/2025).

Ia memastikan relawan internasional ataupun bantuan luar negeri yang masuk Aceh tidak akan dipersulit.

Menurut Mualem, sejauh ini bantuan dari luar negeri yang sudah mendarat ke Aceh berasal dari Malaysia berupa obat-obatan dan dokter. Kemudian dari China yaitu relawan sebanyak lima orang untuk membantu pencarian mayat dalam lumpur.

Rencananya, pada Rabu lusa (10/12/2025) akan ada gelombang kedua bantuan dari Malaysia yaitu obat-obatan sebanyak 3 ton. "Mereka (bantuan Malaysia) hari Rabu akan datang membawa obat sebanyak 3 ton lagi dan dokter," katanya.

Sikap Mualem ini sangat berbeda dengan sikap pemerintah pusat yang hingga kini belum membuka bantuan internasional. Mualem bisa dibilang membangkang pusat dengan membuka akses Aceh untuk bantuan internasional.

Pemerintah Pusat Masih Belum Membuka Bantuan Internasional

Menlu Sugiono

Sebelumnya, Menteri Luar Negeri RI Sugiono menyampaikan bahwa Indonesia masih dapat melakukan penanganan bencana banjir dan longsor di Sumatera secara mandiri, sehingga bantuan dari negara-negara sahabat masih belum diperlukan.

"Saya yakin kita bisa menyelesaikan masalah ini," ujar Sugiono di Gedung Pancasila Kementerian Luar Negeri, Jakarta, Jumat (05/12/2025).

Meskipun begitu, Sugiono tetap mengucapkan terima kasih atas tawaran bantuan dari negara-negara sahabat, mengatakan bahwa tawaran tersebut mencerminkan kepedulian mereka terhadap situasi di Indonesia.

Senada, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi juga menyatakan bahwa Indonesia masih sanggup untuk mengatasi bencana di Sumatera dan masih memiliki stok pangan yang cukup bagi para korban bencana.

Ia menyampaikan APBN yang dimiliki pemerintah cukup, karena pemerintah memiliki komponen dana siap pakai untuk kesiapsiagaan bencana.

Sejumlah Negara Tawarkan Bantuan Untuk Indonesia

sanae

Sejumlah negara menyampaikan ucapan belasungkawa atas peristiwa banjir bandang dan longsor yang menewaskan setidaknya 921 orang di tiga provinsi di Sumatra.

Tidak hanya itu, sejumlah pemimpin negara juga menyampaikan komitmennya untuk memberikan bantuan yang dibutuhkan Indonesia.

Perdana Menteri Jepang, Sanae Takaichi, misalnya mengatakan komitmen berupa bantuan itu dilakukan sebagai wujud persahabatan yang terjalin lama dengan dua negara di Asia Tenggara: Indonesia dan Thailand.

Niat sama juga diutarakan Uni Emirat Arab (UEA) melalui dubesnya untuk Indonesia, Abdullah Salem Al Dhaheri.

Dia mengatakan UEA pada prinsipnya tinggal menunggu saja dari Indonesia, apakah menerima bantuan internasional atau tidak.

"Kami akan selalu mendukung permintaan Indonesia, asalkan mereka mengatakan 'Ya, Indonesia terbuka untuk upaya internasional'," ucapnya di Jakarta, Jumat pekan lalu, seperti dikutip Antara.

Begitu pula, Presiden Iran, Masoud Pezeskhian. Dia menyebut Iran siap memberikan bantuan kemanusiaan dan bantuan darurat yang komprehensif ke wilayah yang terdampak.

Biaya Rehabilitasi Capai Rp51,82 Triliun

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memperkirakan, biaya pemulihan untuk daerah terdampak bencana di Aceh, Sumatra Utara (Sumut), dan Sumatra Barat (Sumbar) mencapai Rp51,82 triliun.

Perkiraan tersebut disampaikan Suharyanto dalam rapat terbatas (ratas) bersama Presiden Prabowo Subianto dengan kementerian/lembaga di Lanud Sultan Iskandar Muda, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Minggu (7/12/2025) malam.

"Kami laporkan secara nasional dari Kementerian PU (Pekerjaan Umum) dengan penjumlahan dari tiga provinsi estimasi yang diperlukan dana adalah Rp 51,82 triliun," ujar Suharyanto dikutip dari Youtube Sekretariat Presiden.

Dia merinci untuk Aceh, estimasi biaya pemulihan mencapai sekitar Rp 25,41 triliun. Di provinsi tersebut, terdapat 37.546 rumah yang mengalami kerusakan, mulai dari rusak ringan, sedang, hingga berat.

Kerusakan juga terjadi pada berbagai fasilitas publik, seperti jembatan, jalan, tempat ibadah, sekolah, pondok pesantren, rumah sakit, hingga puskesmas.

Selain itu, sektor pertanian turut terdampak, meliputi lahan tanaman pangan, ternak, sawah, kebun, tambak, serta sejumlah kantor pemerintahan.

Kepala BNPB

Untuk Sumatra Utara, pemerintah memerlukan anggaran sekitar Rp12,8 triliun. "Kami sudah berkoordinasi dengan Kementerian PU untuk mengembalikan kondisi semula," kata Suharyanto.

Sementara itu di Sumatra Barat, kebutuhan pemulihan diperkirakan mencapai Rp13,52 triliun. "Kami laporkan untuk Sumatra Barat hasil penghitungan sementara dari Kementerian PU, ini membutuhkan anggaran Rp13,52 triliun," ujarnya.

Suharyanto mengeklaim kondisi di Sumbar reatif lebih baik. Namun, masih ada dua kabupaten yang perlu penanganan khusus, yakni Pesisir Selatan dan Agam, karena masih ada lima nagari terisolasi.

Sebelumnya, Center of Economic and Law Studies (Celios) dalam kajiannya memperkirakan total kerugian imbas bencana banjir hingga longsor di Pulau Sumatra bulan ini mencapai hingga sebesar Rp68,67 triliun.

Perkiraan tersebut diungkapkan berasal dari hitung-hitungan sebanyak lima jenis kerugian yang dihadapi masyarakat setempat seperti kehilangan rumah/tempat tinggal, potensi kehilangan panen di lahan sawah, hingga perbaikan jalan.

Saat ini berdasarkan data BNPB per Senin, 8 Desember 2025 pukul 16.00 WIB, total korban tewas mencapai 961 orang, dan 293 hilang. Jumlah korban tewas ini meningkat 40 orang dibanding per 7 Desember, yang masih dilaporkan sebanyak 921 orang.

Prabowo Alokasikan Rp4 Miliar ke Pemda Terdampak

Prabowo - jembatan

Prabowo menyebut akan mengalokasikan masing-masing Rp4 miliar untuk 52 kabupaten kota terdampak banjir dan longsor di Sumatra dan Aceh.

Hal itu disampaikan Prabowo saat memimpin rapat terbatas dengan jajaran kabinet menterinya di Landasan Udara (Lanud) Sultan Iskandar Muda, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Minggu (7/12) malam usai meninjau banjir.

Jumlah itu lebih besar dua kali lipat dari usulan Menteri dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian sebesar Rp2 miliar. "Untuk 52 kabupaten kota, ya? Baik segera ya. Mendagri, Anda minta Rp2 miliar per kabupaten, saya kasih Rp4 miliar," kata Prabowo.

Selain dana per kabupaten, Prabowo juga menyebut pemerintah pusat mengalokasikan dana per provinsi, yaitu Rp20 miliar Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat masing-masing.

"Untuk provinsi nanti dihitung, yang paling berat mana? Kirim 20M. Nanti gubernurnya suruh ketemu saya. Sumut ada? Hadir semua ya. Pokoknya kita bantu," katanya.

Prabowo juga menunjuk Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Jenderal TNI Maruli Simanjuntak, sebagai komandan satuan tugas (satgas) percepatan perbaikan jembatan di wilayah Aceh dan Sumatra yang terdampak banjir.

“Karena beliau punya banyak pasukan zeni, pasukan konstruksi, pasukan pembangunan, pasukan teritorial, jadi bisa segera membantu,” tambahnya.

Dalam rapat terbatas tersebut, Presiden Prabowo juga setuju menganggarkan Rp60 juta per rumah untuk membantu para pengungsi mengganti hunian mereka yang rusak ataupun hancur karena longsor dan banjir bandang Sumatra.

Berdasarkan data sementara BNPB, rumah masyarakat yang rusak sebanyak 37.546 rumah, baik itu rusak berat karena hilang tersapu banjir, rusak sedang, dan rusak ringan.

Data tersebut belum final, karena pendataan masih terus dilakukan oleh BNPB bersama Kementerian Pekerjaan Umum.

Alasan Pemerintah Harus Buka Bantuan Internasional

banjir aceh

Sikap pemerintah Indonesia yang menolak bantuan internasional dalam menangani bencana di Sumatra menuai kritik. Proses rekonstruksi dan rehabilitasi diyakini akan berjalan lamban.

Ketua Umum Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia (MPBI), Avianto Amri menilai, keputusan pemerintah pusat menolak bantuan asing itu seperti "mengabaikan masalah atau menyangkal kenyataan" atas realita yang sebenarnya.

Padahal, menurutnya, perbaikan kehidupan warga usai bencana membutuhkan banyak sumber daya, tidak cukup hanya mengandalkan pemerintah saja.

Ia memperkirakan pemulihan di seluruh wilayah terdampak banjir dan longsor Sumatra bisa memakan waktu hingga 20-30 tahun, jika sepenuhnya bergantung pada kemampuan pemerintah.

Avianto menjelaskan dalam standar operasi penanggulangan bencana, kecepatan menjadi suatu hal yang sangat penting. Tanpa itu, maka sama saja menambah panjang ancaman atau krisis bagi korban.

"Bisa-bisa warga terdampak kena penyakit akibat bawaan [banjir] dan itu semakin mempersulit penanganan," jelasnya.

"Belum lagi kalau ada korban yang membutuhkan akses obat-obatan yang rutin seperti pasien diabetes, TBC, darah tinggi, HIV, yang kalau terputus mereka akan semakin rentan." tambahnya.

Dia mencontohkan saat tsunami 2004, selang 2-4 hari pasca-tsunami, bantuan internasional langsung berdatangan. Daerah-daerah yang terisolir dapat dijangkau dengan helikopter.

Kapal-kapal militer milik AS, Malaysia, Australia, diperbolehkan bersandar di perairan Aceh demi memudahkan penyelamatan nyawa korban.

Dia menilai, intervensi pada masa darurat tersebut dibutuhkan untuk meminimalisir peningkatan jumlah korban jiwa apabila lambat ditangani.

Baca Juga: Taubat Nasuha Ekologi; Seruan Moral yang Bergeser Jadi Polemik Politik

Untuk itu, ia mendesak, pemerintah Indonesia segera membuka pintu untuk bantuan internasional demi mempercepat pemulihan, termasuk rekonstruksi dan rehabilitasi.

"Saya melihatnya pemerintah (menolak bantuan internasional) seperti membenamkan kepalanya ke bawah tanah. Dengan melihat realita yang ada itu sebenarnya (dampaknya) besar, massif, dan butuh banyak sumber daya," beber Avianto.

Pemerintah, kata Avianto, sebenarnya bisa menentukan atau memilih bantuan internasional yang dibutuhkan.

Ia berkaca pada bencana gempa bumi di Sulawesi Tengah, dimana pemerintah akhirnya membuka bantuan internasional tapi hanya untuk kebutuhan tertentu saja.

Lebih lanjut, Avianto juga menyarankan pemerintah membentuk badan sekelas Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) untuk memulai proses rekonstruksi dan rehabilitasi di Sumatra demi mempercepat pemulihan.

Apalagi, sejauh pengamatannya, rekonstruksi dan rehabilitasi ala pemerintah sangat lamban dan tidak melibatkan masyarakat.

"Semuanya sangat top-down. Pemerintah langsung menentukan ini paketnya A, B, dan C. Pilih. Kalau mau pilih silahkan, kalau tidak, ya sudah. Hal-hal seperti itu justru kontraproduktif dan tidak membangun ketangguhan," katanya. (est)

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp & Telegram The Stance