Harun Al-Rasyid Lubis

Oleh Harun Al-Rasyid Lubis. Guru Besar Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan (FTSL) Institut Teknologi Bandung (ITB), alumni KRA 37 Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), kini menjadi Ketua Rukun Warga (RW) 16 Kelurahan Sekeloa, Bandung, kini aktif di Infrastructure Partnership & Knowledge Center (IPKC) dan menjadi anggota tim teknis WCC (Waste Crises Center) Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).

Sertifikasi konstruksi adalah pengakuan formal terhadap kompetensi tenaga kerja di bidang konstruksi.

Kegagalan bangunan (seperti runtuh, retak struktural, kebocoran) biasanya disebabkan oleh kombinasi faktor-faktor, antara lain: keterbatasan anggaran (faktor utama), tidak melibatkan tenaga profesional dan penyedia jasa konstruksi yang bersertifikat, minimnya pengawasan (supervisi), dan pelanggaran ketentuan perizinan bangunan.

Tulisan ini menyampaikan jalan panjang pembenahan yang sudah dilakukan untuk meningkatkan kompetensi tenaga kerja industri konstruksi dan usulan solusi lanjutannya.

Sistem sertifikasi dan lisensi dalam industri konstruksi di Indonesia memerlukan pembenahan fundamental.

Banyak pelaku konstruksi merasa bahwa sistem ini sering kali tidak relevan, membebani secara administratif, dan tidak selalu meningkatkan kompetensi atau profesionalisme yang sebenarnya.

Untuk memahami apa yang salah, kita perlu membedakan secara jelas antara lisensi dan sertifikasi serta mengevaluasi bagaimana kedua konsep ini diterapkan secara tidak optimal.

Sistem sertifikasi dan lisensi jasa konstruksi perlu dibongkar dan disusun ulang untuk menciptakan efisiensi dan relevansi yang lebih besar dalam industri konstruksi.

Lisensi harus diatur oleh undang-undang dan hanya berlaku untuk profesi dengan tanggung jawab hukum yang jelas, sedangkan sertifikasi harus diatur oleh pasar dan bersifat sukarela. Jangan dicampur aduk lagi, dan dibuat kabur fungsi.

Perlu Keberanian Politik

mpr

Untuk mewujudkan reformasi ini, keberanian politik diperlukan untuk merevisi undang-undang yang ada dan menata ulang sistem yang sudah terbukti tidak efektif.

Sistem sertifikasi dan lisensi dalam industri konstruksi di Indonesia memerlukan pembenahan fundamental.

Banyak pelaku konstruksi merasa bahwa sistem ini sering kali tidak relevan, membebani secara administratif, dan tidak selalu meningkatkan kompetensi atau profesionalisme yang sebenarnya.

Untuk memahami apa yang salah, kita perlu membedakan secara jelas antara lisensi dan sertifikasi serta mengevaluasi bagaimana kedua konsep ini diterapkan secara tidak optimal.

  1. Lisensi: Izin yang Diatur oleh Undang-Undang

    Lisensi seharusnya menjadi alat regulasi wajib yang diatur oleh hukum untuk profesi tertentu yang bertanggung jawab langsung atas hasil pekerjaan konstruksi.

    Lisensi bertujuan untuk memastikan bahwa individu yang memegang tanggung jawab besar memiliki kompetensi yang diperlukan dan mematuhi kode etik profesional.

    Lisensi hanya perlu diterapkan pada individu yang bertindak sebagai “submitting person” yaitu orang yang bertanggung jawab secara hukum atas desain dan pelaksanaan konstruksi yang aman.

    Contohnya: Insinyur perancang struktur, arsitek utama, atau insinyur lapangan yang bertugas menyetujui desain lapangan. Mengapa Lisensi Penting? Lisensi memberikan tanggung jawab hukum kepada individu untuk memastikan bahwa hasil konstruksi aman dan sesuai dengan standar.

    Profesi yang memiliki lisensi harus terikat dengan kode etik profesional, dan pelanggaran kode etik dapat mengakibatkan pencabutan lisensi.

    Masalahnya, lisensi sering diterapkan secara luas tanpa membedakan tanggung jawab. Bahkan posisi yang tidak memiliki peran krusial dalam keselamatan atau desain harus memegang lisensi.

    Regulasi lisensi saat ini membebani banyak pekerja konstruksi yang sebenarnya tidak memerlukan lisensi, sehingga menciptakan biaya tambahan tanpa manfaat yang jelas.

    Baca Juga: Alih-Alih Pidanakan Pemilik Ponpes Al Khoziny, Pemerintah Pilih Bentuk Satgas

  2. Sertifikasi: Bukti Kompetensi yang Bersifat Sukarela

    Sertifikasi seharusnya menjadi alat pengakuan pasar terhadap kompetensi seseorang. Sertifikasi tidak seharusnya diwajibkan secara hukum, melainkan dibiarkan sebagai mekanisme yang didorong oleh kebutuhan pasar dan profesionalisme.

    Sertifikasi berlaku untuk semua pekerja di industri konstruksi, dari manajer proyek hingga pekerja teknis, yang ingin menguatkan keahlian mereka di bidang tertentu.

    Contohnya: Sertifikasi kompetensi untuk tenaga kerja konstruksi seperti tukang las, operator alat berat, atau supervisor proyek.

    Mengapa Sertifikasi Penting? Sertifikasi memberikan pengakuan atas kompetensi seseorang di bidang tertentu, tetapi tanpa memberikan tanggung jawab hukum.

    Hal ini membantu individu meningkatkan nilai pasar mereka di industri konstruksi, karena sertifikasi menjadi indikator keahlian yang diakui.

    Masalahnya: sertifikasi sering kali diwajibkan oleh regulasi, padahal sifatnya seharusnya sukarela. Hal ini menciptakan birokrasi yang tidak perlu dan menimbulkan biaya tinggi.

    Banyak sertifikasi yang tidak relevan dengan tugas pekerjaan di lapangan, tetapi tetap menjadi syarat administratif yang menghambat produktivitas.

    Sistem sertifikasi juga dipenuhi oleh biaya tambahan dan proses yang tidak efisien, yang sering kali menjadi beban bagi pekerja konstruksi.

  3. Distorsi dalam Sistem Sertifikasi dan Lisensi

    Distorsi terjadi ketika sertifikasi dan lisensi tidak difungsikan sesuai peran masing-masing.

    Akibatnya: Pekerja konstruksi, bahkan yang tidak memiliki peran krusial, diwajibkan memiliki lisensi atau sertifikasi, menciptakan pengeluaran dan proses administratif yang tidak perlu.

    Fokus pada jumlah sertifikasi atau lisensi menggantikan fokus pada kompetensi aktual atau hasil pekerjaan.

    Sistem menjadi peluang bagi lembaga tertentu untuk mengambil keuntungan dari biaya sertifikasi tanpa memberikan manfaat nyata bagi industri konstruksi.

  4. Solusi: Reformasi Sertifikasi dan Lisensi

    Untuk memperbaiki sistem sertifikasi dan lisensi, reformasi mendasar diperlukan, termasuk revisi undang-undang yang mengatur sektor konstruksi.

Rekomendasi Reformasi

transformasi digital

  1. Restrukturisasi

    Lisensi hanya diberikan kepada profesi yang memiliki tanggung jawab hukum langsung terhadap keselamatan dan keberhasilan proyek (yakni submitting person). Pemerintah harus menetapkan standar lisensi yang lebih fokus pada kode etik dan kompetensi hukum.

  2. Desentralisasi

    Sertifikasi tidak boleh diwajibkan secara hukum, melainkan diatur oleh pasar. Misalnya, kontraktor dapat memutuskan apakah mereka ingin mempekerjakan individu dengan sertifikasi tertentu, tetapi itu bukan syarat wajib dari pemerintah.

    Lembaga konstruksi nasional atau asosiasi profesi dapat memainkan peran sebagai penyedia sertifikasi berbasis kebutuhan pasar.

  3. Efisiensi Proses dan Biaya

    Sistem sertifikasi harus dibuat lebih sederhana dan terjangkau, dengan fokus pada kebutuhan lapangan. Pekerja hanya perlu mengambil sertifikasi yang relevan dengan peran mereka, bukan sekadar memenuhi syarat administratif.

  4. Revisi Undang-Undang

    UU Jasa Konstruksi (UU No. 2/2017) perlu direvisi untuk membedakan dengan jelas antara lisensi (mandatory) dan sertifikasi (voluntary).

    Regulasi yang mewajibkan semua pekerja konstruksi memiliki sertifikasi atau lisensi harus dihapus karena menghambat efisiensi industri.

Dampak Reformasi

BNPB - bangunan

Pekerja konstruksi tidak lagi dibebani dengan persyaratan administratif yang tidak relevan, sehingga dapat fokus pada pekerjaan mereka.

Biaya sertifikasi dan lisensi yang sering kali membebani pekerja akan berkurang, menciptakan efisiensi di sektor konstruksi.

Sistem lisensi akan memastikan bahwa hanya individu yang bertanggung jawab secara hukum yang diwajibkan memiliki lisensi, meningkatkan akuntabilitas profesional di sektor ini.

Sistem sertifikasi dan lisensi di Indonesia perlu dibongkar dan disusun ulang untuk menciptakan efisiensi dan relevansi yang lebih besar dalam industri konstruksi.

Lisensi harus diatur oleh undang-undang dan hanya berlaku untuk profesi dengan tanggung jawab hukum yang jelas, sedangkan sertifikasi harus diatur oleh pasar dan bersifat sukarela. Jangan dicampur aduk lagi, dan dibuat kabur fungsi.

Untuk mewujudkan reformasi ini, keberanian politik diperlukan untuk merevisi undang-undang yang ada dan menata ulang sistem yang sudah terbukti tidak efektif.

Undang-undang adalah hasil buatan manusia; ketika sistem yang diatur tidak sesuai lagi dengan kebutuhan industri, tidak ada alasan untuk tidak merevisinya demi kemajuan bersama.***

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance.