Harun Al-Rasyid Lubis

Oleh Harun Al-Rasyid Lubis. Guru Besar Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan (FTSL) Institut Teknologi Bandung (ITB), Chairperson Infrastructure Partnership & Knowledge Center (IPKC), yang kini aktif sebagai Tim Teknis WCC (Waste Crises Center) Kementerian Lingkungan Hidup dan Tim Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Bidang Pekerjaan Umum.

Kota-kota besar di Indonesia sedang dalam keadaan darurat sampah. Gunungan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang melampaui batas dan sungai-sungai yang berubah menjadi saluran limbah adalah bukti nyata dari krisis sistemik yang mengancam kesehatan publik, ekonomi, dan lingkungan.

Akar masalahnya sederhana namun parah: timbulan sampah yang masif tidak diimbangi dengan sistem pengelolaan yang memadai, dan prinsip “pencemar membayar” (polluter pays principle) belum diimplementasikan secara efektif.

Dalam keputusasaan, solusi instan seperti Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) skala besar (grande) sering diangkat sebagai panacea. Namun, pengalaman empiris justru memberikan peringatan keras.

Jalan keluar yang lebih realistis, tangguh, dan berkelanjutan justru terletak pada pembangunan ekosistem pengelolaan sampah terdistribusi—jaringan dari solusi skala mikro hingga menengah—yang didorong inovasi regulasi dan platform pembiayaan digital.

Danantara setelah sukses dengan Patriot Bond, bermaksud memulai investasi dalam proyek PLTSa. PLN akan berperan sebagai pembeli tunggal listrik yang dihasilkan (single off-taker), sehingga memberikan kepastian pasar.

Ini peluang strategis bagi swasta dan menyambut positif masuknya Danantara sebagai sinyal keseriusan pemerintah.

Peraturan Presiden (Perpres) yang mengatur PLTSa pun sudah direvisi. Revisi ini diharapkan dapat memberikan kepastian dan kemudahan untuk menyukseskan initiatif ini.

Dua Solusi Sampah Indonesia: PLTSa vs Sistem Terdesentralisasi

PLTSa Benowo

Saat Indonesia berjuang melawan krisis sampah yang kian parah, dua jalur solusi utama muncul dan menciptakan perdebatan strategis yang sengit.

  1. Pilihan Pertama: Akselerasi PLTSa Skala Besar (Pendekatan Top-Down)

    Ini adalah pilihan yang sedang didorong oleh pemerintah dan didanai oleh entitas seperti Danantara.

    • Tujuan: Membangun PLTSa/ITF di berbagai kota (Jakarta, Jawa Barat, Tangerang, dll) sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN).

    • Argumentasi: Dianggap sebagai solusi cepat yang terlihat nyata, mengatasi dua masalah sekaligus (sampah dan energi), serta sesuai dengan instruksi presiden.

    • Tantangan yang Diakui (dari Berita):

      • Tarif Tinggi: Biaya listrik yang dihasilkan (~US$ 0,20/kWh) jauh lebih mahal dari pembangkit lain, membutuhkan subsidi.

      • Ketergantungan Regulasi: Keberhasilan proyek bergantung pada revisi Perpres yang menjamin tipping fee dan pasokan sampah minimal 1.000 ton/hari dari Pemda.

      • Risiko Fiskal: Investasinya sangat besar (ratusan juta dolar per proyek).

  2. Pilihan Kedua: Revolusi Sistem Terdesentralisasi (Pendekatan Bottom-Up)

    Ini alternatif lain sekaligus merupakan peringatan terhadap pilihan pertama.

    • Tujuan: Menolak solusi "monumen" yang terpusat dan membangun "jaringan" atau "tentara semut" yang terdesentralisasi.

    • Argumentasi: PLTSa skala besar adalah ilusi yang mahal dan berbahaya karena:

      • Salah Input: Sampah Indonesia basah (60% organik) sehingga tidak efisien dibakar dan justru butuh bahan bakar fosil tambahan.

      • Perusak Ekonomi Sirkular yang Ada: Menghancurkan mata pencaharian jutaan pemulung yang selama ini menjadi tulang punggung daur ulang informal.

      • Rentan Gagal: Membutuhkan biaya tinggi dan bergantung pada politik, berisiko menjadi "aset terlantar".

    • Solusi Alternatif yang Ditawarkan:

      • Tingkat Mikro: Pengomposan dan biogas di rumah tangga, integrasi pemulung melalui Bank Sampah digital.

      • Tingkat Menengah: Membangun Fasilitas Pengolahan Antara (Intermediate Processing Facility/IPF) untuk menghasilkan refuse derived fuel (RDF) yang lebih berkualitas dan layak secara ekonomi.

      • Sistem Digital: Menerapkan Pay-As-You-Throw digital dan tipping fee cerdas untuk menciptakan insentif dan transparansi.

Pertemuan di Tengah: Titik Kritis yang Sama

sampah

Menariknya, kedua pilihan yang tampak berseberangan ini justru menyoroti tantangan inti yang sama:

  1. Kualitas dan Komposisi Sampah: Baik pro-PLTSa maupun kontra-PLTSa sepakat bahwa karakteristik sampah Indonesia adalah masalah yang mendasar.

    Sistem terdesentralisasi menyelesaikannya dengan pemilahan dan kompos di sumber, sementara PLTSa berisiko gagal jika masalah ini diabaikan.

  2. Aspek Ekonomi dan Keberlanjutan Finansial: Kedua belah pihak mengakui bahwa model bisnis yang bankable adalah kunci.

    Artikel opini meragukan keekonomian PLTSa, sementara berita utama menyatakan bahwa revisi Perpres dan tipping fee dirancang khusus untuk menjawab keraguan ini.

  3. Peran Sektor Informal

    Ini adalah titik pembeda utama. Sistem terdesentralisasi menempatkan pemulung sebagai pahlawan, sedangkan model PLTSa sentralistik berisiko meminggirkan mereka.

Kesimpulannya, negara ini berada pada persimpangan jalan:

  • Apakah akan melanjutkan investasi besar-besaran pada PLTSa skala besar dengan harapan regulasi dan teknologi dapat mengatasi semua tantangan yang telah diprediksi?

  • Atau beralih ke investasi yang lebih tersebar pada sistem terdesentralisasi yang diklaim lebih tangguh, inklusif, dan sesuai dengan realitas lokal?

Baca Juga: Menjawab Kekhawatiran Menteri LHK terkait "Bahaya" Insinerator Skala Kecil

Keputusan ini tidak hanya menentukan bagaimana teknis sampah kota akan dikelola, tetapi juga bentuk ekonomi sirkular di masa depan, serta ke mana muara aliran puluhan triliun rupiah dana investasi akan diarahkan.

Keberanian untuk mempertanyakan narasi arus utama saat ini dan mempelajari alternatif yang lebih murah dan tangguh adalah sebuah langkah yang kritis dan waktunya adalah sekarang.

Keberhasilan setiap pilihan sangat bergantung pada kepastian ditegakkannnya regulasi yang ada dan kemampuan Pemerintah Daerah dapat menjamin pasokan sampah secara berkelanjutan.

Dengan kata lain: menjinakkan jasa rantai kumpul-angkut-buang-timbun sampah, yang selama ini sudah beroperasi baik secara formal maupun informal.***

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance.