Jakarta, TheStance – Israel dan Hamas menyepakati gencatan senjata tahap pertama di Jalur Gaza, pada Rabu (8/10/2025). Kesepakatan itu mencakup pembebasan seluruh sandera israel oleh Hamas dan penarikan pasukan Israel.
Israel menyatakan masih ada 48 orang warganya yang disandera di Gaza, di mana sekitar 20 orang diyakini masih hidup.
Selain pertukaran tahanan, minimal 400 truk yang membawa bantuan kemanusiaan juga akan masuk ke Jalur Gaza setiap hari, selama lima hari pertama gencatan senjata. Penyaluran bantuan itu akan ditingkatkan pada hari-hari berikutnya.
Sedangkan tahap kedua dari rencana perdamaian tersebut menyerukan pembentukan mekanisme pemerintahan baru di Jalur Gaza tanpa keterlibatan Hamas.
Selain itu, juga pembentukan pasukan keamanan yang terdiri atas warga Palestina dan pasukan dari negara-negara Arab dan Muslim, serta pelucutan senjata Hamas.
Rencana tahap kedua itu, yang fokusnya adalah pengelolaan Gaza, dirumuskan terutama oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Israel--tanpa melibatkan Hamas.
Sebelumnya, pada 29 September, Trump mengumumkan rencana 20 poin untuk menyelesaikan konflik Gaza. Rencana tersebut di antaranya menyerukan gencatan senjata segera dan pembebasan sandera dalam waktu 72 jam.
Rencana itu turut menetapkan bahwa Hamas dan faksi perlawanan lain harus keluar dari pemerintahan Gaza, untuk dipercayakan pada “komite teknokrat dan non-politik Palestina” yang diawasi dewan internasional yang dipimpin oleh Trump.
"Perdamaian" Sepihak ala Trump dan Israel
Rencana "perdamaian" ini memang ditetapkan secara sepihak oleh Trump dan Israel, yang poin utamanya membuat Hamas tidak lagi memerintah Gaza, dan Gaza jatuh ke tangan Israel melalui suatu "Dewan Internasional'.
Dalam rencana tahap dua itu, Gaza akan dikelola oleh suatu "otoritas Palestina non-Hamas" di bawah pengawasan suatu "Dewan internasional" yang dipimpin Trump. Dengan kata lain Trump akan menjadi pemimpin tertinggi di Gaza.
Inilah yang ditolak Hamas. Sejauh ini mereka hanya setuju pada tahap pertama rencana tersebut, sedang bagian lainnya belum menyatakan kesepakatan.
Mereka menyatakan siap bila tak lagi memerintah Gaza, dan menyerahkan pengelolaan Gaza ke Otoritas Palestina (Palestinian Authority) yang selama ini memerintah di Tepi Barat.
Namun, mereka menolak keberadaan "Dewan Internasional" atau apapun namanya di mana pihak asing bisa mengendalikan Gaza. Sedang, Israel sebaliknya juga menolak bila Gaza dipegang oleh Otoritas Palestina di Tepi Barat.
Namun, daripada terus bersitegang soal rencana tahap dua yang implementasinya masih jauh, Israel dan Hamas sepakat untuk fokus di rencana tahap pertama dengan beberapa poin penting kesepakatan:
Hamas akan melepaskan semua sandera Israel yang masih mereka tawan
Israel akan membebaskan tahanan Palestina dari penjara (meski menolak membebaskan petinggi Hamas yang ditahan).
Israel akan menarik mundur pasukan dari 50% wilayah Gaaz (tidak menarik total).
Israel akan membuka blokade hingga 400 truk makanan bisa masuk setiap hari, setidaknya di lima hari pertama, hingga warga Gaza yang kelaparan bisa makan.
Langgar Gencatan Senjata, Serangan Israel Tewaskan 30 Warga Palestina
Meski kesepakatan tersebut "mencekik" Hamas dan menguntungkan Israel serta AS, tidak ada jaminan bahwa akan tercipta perdamaian jangka panjang antara Palestina dan Israel.
Keraguan dan skeptisme soal itu menjadi beralasan menyusul tewasnya sedikitnya 30 warga Palestina akibat serangan udara Israel sejak kesepakatan gencatan senjata diumumkan Rabu lalu.
Serangan terjadi hanya beberapa jam setelah gencatan senjata diumumkan sepihak oleh Trump, di mana penduduk setempat melaporkan kolom asap dan ledakan di wilayah Gaza.
Salah satu serangan paling parah menimpa rumah keluarga Ghaboun di lingkungan Al‑Sabra, Gaza Utara, di mana lebih dari 40 orang terjebak di bawah reruntuhan, menurut pertahanan sipil Gaza.
Mengutip CNN, Direktur Rumah Sakit Al‑Shifa, Dr. Mohammed Abu Salmiya mengatakan sejak Rabu malam, total korban tewas mencapai angka 30 orang.
Angkatan Pertahanan Israel (IDF) menyatakan bahwa mereka menargetkan sel teroris Hamas yang beroperasi berdekatan dengan pasukan IDF dan mengancam secara langsung.
Sementara itu, gencatan senjata yang baru diumumkan pun kian diragukan, karena serangan ini dianggap melanggar kesepakatan tetapi dibiarkan saja oleh AS.
Para penjamin gencatan senjata yang ikut meneken kesepakatan, yakni Qatar, Turki, dan Mesir juga diam saja. Maklum saja, mereka semua adalah sekutu dekat AS-sang pemasok senjata Israel-di Timur Tengah.
Kemlu RI: Gencatan Senjata Buka Jalan Bagi Bantuan Kemanusiaan
Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI menyambut baik dan mendukung upaya gencatan senjata antara Palestina dan Israel untuk menghentikan serangan militer Israel tersebut, yang uniknya mereka sebut sebagai "aksi kekerasan."
"Indonesia menyambut baik gencatan senjata fase pertama di Gaza dan penghentian kekerasan secara permanen," kata Kemlu dikutip dari @Kemlu_RI, Jumat (10/10/2025).
Dengan gencatan senjata dan penghentian "aksi kekerasan", Indonesia berharap akses bantuan kemanusiaan terutama untuk warga Gaza dapat segera dibuka sehingga masyarakat internasional dapat memberikan bantuan untuk membangun Gaza.
Kemlu RI juga mendorong masyarakat internasional untuk memanfaatkan momentum perdamaian Palestina sebagai upaya untuk mewujudkan kembali proses negosiasi solusi dua negara yang saat ini telah didukung oleh masyarakat internasional.
"Indonesia mendorong masyarakat internasional untuk memanfaatkan momentum ini guna memulai kembali proses perdamaian di Palestina berdasarkan Solusi Dua Negara, dan mewujudkan berdirinya negara Palestina yang merdeka dan berdaulat. Sesuai resolusi dan hukum internasional," ujarnya.
Selain mengapresiasi negara-negara yang terlibat dalam mendamaikan Palestina dan Israel yang tengah berkonflik, Indonesia berharap 4 negara pendorong mediasi damai Palestina-Israel mengawal tiap butir kesepakatan gencatan senjata dengan baik.
"Indonesia sampaikan penghargaan atas mediasi yang dilakukan AS, Mesir, Qatar dan Turki, dan tekankan pentingnya pelaksanaan setiap butir kesepakatan gencatan senjata dengan penuh iktikad baik," ungkap Kemlu.
Kirim Pasukan Perdamaian untuk Kawal Gencatan Senjata
Pakar hukum internasional Universitas Indonesia, Prof. Hikmahanto Juwana, menilai kesepakatan gencatan senjata antara Hamas dan Israel menjadi langkah awal penting menuju perdamaian permanen di kawasan Timur Tengah.
Ia menekankan perlunya keterlibatan negara-negara lain, termasuk Indonesia, dalam mengawal implementasi kesepakatan tersebut.
“Akan ada pasukan dari negara-negara di Timur Tengah yang akan mengawasi proses ini. Saya berharap Indonesia juga harus siap menyumbang pasukan untuk mengawasi proses perdamaian ini,” ujar Hikmahanto dalam keterangannya.
Menurutnya, ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan gencatan senjata ini. Pertama, keberadaan pasukan penjaga perdamaian dari negara-negara kawasan akan menjadi faktor kunci keberhasilan penghentian perang.
Kedua, dunia internasional akan memantau ketat pelaksanaan kesepakatan ini. Ketiga, Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump berkomitmen menjamin tidak ada lagi serangan baik dari pihak Hamas maupun Israel.
Ia menambahkan bahwa Trump tampak sangat berkeinginan kuat untuk mewujudkan perdamaian, terlepas apapun motivasi politik di baliknya. “Yang terpenting bagi kita adalah penghentian serangan ke Gaza.”
Terkait peran Indonesia, ia mendorong pemerintah berpartisipasi aktif dengan mengirim pasukan perdamaian, menempatkan perwakilan dalam pemerintahan transisi, maupun mengerahkan sumber daya BUMN karya untuk pembangunan kembali Gaza.
Baca Juga: Indonesia Tolak Terbitkan Visa, Atlet Israel Batal Ikut Kejuaraan Gimnastik di Jakarta
Sementara itu, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Ulil Abshar Abdalla, menilai kendati gencatan senjata memberikan sedikit kelonggaran, perdamaian jangka panjang masih sulit dicapai.
Hal ini dikarenakan Pemerintah Israel yang ultra-konservatif di bawah kepemimpinan Benjamin Netanyahu, masih menjadi kendala utama. Ia pun memperkirakan kebijakan keras terhadap Palestina masih berlanjut.
“Perdamaian belum bisa dicapai dalam waktu dekat, karena yang berkuasa di Israel sekarang ini adalah rezim yang sangat ultra-konservatif. Netanyahu (Perdana Menteri Israel) sekarang ini kebijakannya makin keras terhadap palestina dan mereka ini tampaknya diuntungkan oleh perang sekarang ini,” ujarnya
Dia menilai bahwa faktor-faktor domestik di Israel, termasuk tekanan dari masyarakat dan politisi internal, turut berperan dalam tercapainya gencatan senjata ini.
“Gencatan senjata yang sekarang ini dicapai antara lain juga, karena tuntutan dari dalam Israel sendiri, dari publik Israel terhadap pemerintah Netanyahu sekarang besar sekali, karena Netanyahu dianggap gagal membebaskan 200 warga Israel yang ditawan oleh Hamas,” pungkasnya. (est)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance