Jakarta, TheStance - Parlemen menyoroti tayangan televisi swasta Trans7 yang dinilai keliru menggambarkan nilai dan tradisi pesantren. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) justru direvisi agar nilai pesantren masuk di kurikulum nasional.

Alih-alih memotret tradisi penghormatan murid pada guru di pesantren, program itu dianggap menyesatkan publik karena mengemasnya secara sepotong menyebutnya sebagai bentuk feodalisme dan eksploitasi.

Wakil Ketua Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Lalu Hadrian Irfani, menegaskan bahwa pesantren merupakan pusat pembentukan moral, etika, serta karakter kebangsaan yang telah melahirkan banyak pejuang dan negarawan.

“Pesantren adalah kawah candradimuka pendidikan bangsa. Di sana diajarkan nilai keikhlasan, ketulusan, gotong royong, dan hormat kepada guru. Dari pesantrenlah lahir ulama, pejuang, dan tokoh yang menjaga negeri ini,” ujarnya.

Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini menilai viralnya tayangan itu adalah teguran Tuhan dan harus menjadi momentum bagi bangsa Indonesia untuk kembali belajar adab dan moral dari pesantren yang sejati, bukan seperti yang dinarasikan buruk tersebut.

“Mungkin Tuhan sedang menegur kita melalui layar kaca. Bangsa ini perlu kembali belajar adab dari pesantren, dari para kiai yang mengajarkan keikhlasan dalam kesunyian,” tambahnya.

Komisi X DPR, lanjut dia, berkomitmen mempertegas posisi pendidikan pesantren dalam revisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional agar hak-hak pendidikan pesantren diakui dan disetarakan dengan pendidikan umum.

“Pesantren adalah fondasi awal pendidikan di Indonesia. Banyak nilai dan sistem pendidikan kita hari ini berakar dari pesantren. Kami akan mendorong agar pendidikan karakter yang diajarkan di pesantren seperti etika, sopan santun, dan penghormatan kepada guru dapat diadopsi ke dalam kurikulum pendidikan nasional,” tegas Lalu.

Menjaga Adab Bukan Berarti Kudet

Maman Imanulhaq

Sementara itu, anggota Komisi VIII DPR Maman Imanulhaq berkisah bagaimana ia begitu mencintai dunia pesantren, dan mengerti tradisi di sana, yang tidak seperti dinarasikan oleh Trans7.

“Saya lahir di pesantren dibesarkan di pesantren dan diberi amanah untuk membangun pesantren sampai saya menjadi anggota DPR RI Komisi VIII,” paparnya, di Ruang PPIP Gedung Nusantara I Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (16/10/2025).

Politisi PKB itu juga menceritakan bagaimana value yang dipegang teguh para santri yaitu keikhlasan dan semangat untuk belajar, mandiri, dan menebarkan kemaslahatan, menjadi nilai yang diajarkan para kyai yang membimbing selama 24 jam.

“Para kyai itu mewakafkan dirinya baik ilmu, pikiran, harta, tenaga bahkan seluruh kehidupannya untuk memberi makan. Para kyailah yang membuat mushola dengan bantuan beberapa donatur, kyailah yang mempersiapkan asrama-asrama untuk para santri,” ujarnya.

Para santri kebanyakan bergerak dengan semangat prinsip al-muhaffaf atau dalam pesantren disebut al-muhafadhotu ‘ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah, yang berarti "memelihara yang lama yang baik, mengambil yang baru yang lebih baik."

Prinsip tersebut mengajarkan untuk tetap menjaga nilai dan tradisi lama yang baik (seperti kitab-kitab klasik dan metode pengajian tradisional) sambil mengadopsi ilmu pengetahuan dan teknologi baru yang bermanfaat untuk kemajuan.

“Jadi kita tetap memegang nilai-nilai serius yang kita miliki kekuatan Islam sebagai ilmu transformasi dan kekuatan Ahlussunnah Wal Jamaah yang selalu tetap toleran dan juga berpikir menerima beberapa program,” tuturnya.

Santri di pesantren, lanjut Maman, tidak anti dengan perkembangan baru, sehingga tidak semua santri “kudet” atau kurang update. Mereka tetap menghadapi segala perkembangan teknologi dan globalisasi, namun tetap mengedepankan adab dan etika.

Penguatan Lembaga Pendidikan Islam di UU

Lalu Hadrian IrfaniLalu berharap pemerintah dan seluruh pemangku kebijakan pendidikan tetap berpihak pada nilai-nilai luhur yang diwariskan pesantren, sebagai sumber moralitas dan jati diri bangsa di tengah derasnya arus modernitas.

Pihaknya akan mendorong UU Sisdiknas untuk memasukkan nilai dan pendidikan karakter Lembaga Pendidikan Islam seperti pesantren ke dalam beleid tersebut.

Pengamat pendidikan sekaligus Kepala Bidang Advokasi Guru Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Iman Zanatul Haerimenilai Undang-Undang Pesantren belum efektif menjawab tantangan riil pengelola pesantren di lapangan--yang jumlahnya 42.391 unit.

Di luar itu banyak pesantren yang belum terdata Kementerian Agama, sehingga pengawasan terhadap mutu, keamanan, hingga kelayakan fasilitas masih lemah. Hal ini berisiko memunculkan praktik penyimpangan, yang bisa mencoreng nilai hakiki pesantren.

Iman juga menyoroti tantangan besar yang dihadapi pesantren di era modern, mulai dari relevansi nilai dan metode pembelajaran, hingga keterbatasan sarana dan pengawasan.

“Metode hafalan sering dianggap kuno, padahal banyak sekolah Islam modern justru menjadikannya keunggulan. Begitu juga soal larangan penggunaan gadget—ini sebenarnya peluang bagi pesantren untuk melatih fokus dan kemampuan sosial santri di dunia nyata,” ujarnya.

Oleh karena itu, revisi UU Sisdiknas diharapkan secara tegas mengakomodasi kebutuhan pesantren, termasuk penetapan standar kesejahteraan guru dan pengasuhnya.

“Harus jelas batas antara pengabdian dan hak. Guru yang membangunkan santri setiap pagi, mengajarkan hafalan, dan membina karakter mereka, juga berhak atas penghargaan dan kesejahteraan yang layak. Undang-undang harus memastikan hal itu,” tegasnya.

Kesenjangan Pesantren Besar dan Kecil

Iman Zanatul Haeri

Iman menyerukan pemerintah dan negara agar mengakui pesantren bukan hanya sebagai lembaga pendidikan agama, tetapi juga warisan budaya bangsa yang terus beradaptasi menghadapi zaman.

“Pesantren telah berusia ratusan tahun, dan justru dari sanalah nilai-nilai kejujuran, gotong royong, dan ketulusan bangsa ini tumbuh. Negara seharusnya hadir untuk menjaga dan memperkuatnya,” tambahnya.

Dari sisi ekonomi, Iman menyoroti kesenjangan besar antara pesantren mandiri seperti Sidogiri, dengan pesantren-pesantren kecil yang bergantung pada bantuan pemerintah.

Dia menilai pesantren merupakan lembaga dengan jasa besar yang belum dibayar negara, karena berperan mengisi kekosongan layanan pendidikan di wilayah-wilayah yang belum tersentuh sekolah negeri.

Oleh karena itu, Iman memandang polemik tayangan Trans7 seharusnya menjadi titik refleksi memperkuat posisi lembaga pendidikan Islam itu dalam sisdiknas.

Apalagi, momentum tayangan Trans7 yang menyudutkan tradisi santri dan pesantren ini muncul pasca kematian 67 santri Al-Khoziny akibat tertimpa robohnya bangunan pesantren--yang tak memenuhi standar dan tak punya perizinan--di Sidoarjo, Jawa Timur.

“Pesantren bukan hanya lembaga pendidikan, tetapi juga tempat dakwah dan pemberdayaan masyarakat. Banyak santri yang hidup dalam keterbatasan ekonomi, bahkan ada yang ditinggalkan orang tuanya, sehingga mereka mengabdi sepenuhnya di pesantren. Hal ini sering disalahartikan sebagai bentuk eksploitasi,” jelas Iman.

Pesantren memiliki sejarah panjang dalam dakwah Islam dan pembentukan karakter bangsa. Namun, perbedaan kondisi antarwilayah membuat karakter pesantren di Indonesia sangat beragam, baik dari segi sistem pengajaran, budaya, maupun sumber daya.

Baca Juga: Yai Imam Aziz, Ulama di Simpang Kiri Jalan

Pada akhirnya, polemik ini menjadi pengingat penting bahwa media memiliki tanggung jawab moral dalam membentuk cara pandang publik terhadap lembaga keagamaan seperti pesantren.

Ketika nilai keikhlasan dan keteladanan dalam relasi kyai-santri yang direduksi menjadi narasi hiburan menyesatkan di Trans7, bukan hanya santri yang terluka, tetapi juga hati nurani mayoritas anak bangsa yang tercoreng.

Karena itu, Iman berharap media memahami nilai tersebut dengan tepat sebelum merepresentasikannya dalam narasi hiburan agar tak terkesan menghina, di tengah rencana masuknya lembaga pendidikan Islam dalam revisi UU Sisdiknas. (par)

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance