Jakarta, TheStance – Penetapan biaya Rp15 ribu per porsi untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG) bagi para lanjut usia (lansia) dan penyandang disabilitas memicu keraguan akan kecukupan anggaran, dan kelayakan serta keseriusan program.
Menteri Sosial Saifullah Yusuf atau Gus Ipul kembali menegaskan bahwa pemerintah menetapkan biaya Rp15 ribu untuk satu porsi Makan Bergizi Gratis (MBG) bagi lansia dan penyandang disabilitas yang akan mulai berjalan tahun depan.
Pernyataan ini disampaikan setelah ia mengusulkan program MBG khusus lansia kepada Presiden Prabowo Subianto. “Ini per menu Rp15.000, per menu Rp15.000 dua kali berarti Rp30.000,” kata Gus Ipul di Jakarta Selatan, Kamis (13/11/2025).
Meski program ini disebut sebagai bentuk penyesuaian terhadap skema MBG Presiden, ruang lingkup yang dipilih Kementerian Sosial sangat spesifik: hanya menyasar lansia terlantar berusia di atas 75 tahun dan penyandang disabilitas.
“Nah kita sesuaikan dengan program Bapak Presiden menjadi makan bergizi khusus berlansia dan penyandang kesehatan. Menyasar 100 ribu lansia, lansia terlantar maksudnya ya, lansia dengan usia di atas 75 tahun. Yang kedua penyandang kesehatan yang memang memerlukan bantuan,” jelas Gus Ipul.
Gus Ipul memastikan jatah makanan diberikan dua kali sehari, sementara pengantarannya hanya dilakukan pada pagi hari dan tetap berjalan tanpa hari libur.
“Ini makan bergizi gratis sehari dua kali, pagi dan siang, tetapi diantarkan setiap pagi. Sehari sekali di pagi hari, tanpa mengenal hari libur, Sabtu atau Minggu,” ujarnya.
Langkah Berisiko bagi Lansia

Meski target penerimanya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan total populasi sasaran potensial, program ini memunculkan pertanyaan mengenai efektivitas program dan komitmen pendanaan jangka panjang.
Demikian juga pertanyaan mengenai mutu gizi, keberlanjutan pendanaan, dan keterbatasan sasaran yang hanya mencakup sebagian kecil kelompok rentan.
Epidemiolog, sekaligus Pakar Keamanan Kesehatan, Dicky Budiman menilai program pemerintah menyediakan dua kali MBG per hari bagi 100.000 lansia dan 30.000 penyandang disabilitas adalah langkah positif.
Namun, juga sangat berisiko jika tidak disertai standar keamanan pangan yang ketat. Pemerintah harus belajar dari kasus keracunan pada program MBG di sekolah, sehingga perlu menerapkan sistem preventive food safety sejak awal.
“Sertifikasi dapur, pemasok, kontrol rantai dingin, dan protokol distribusi itu wajib. Semua dapur atau kelompok pengolah yang menyiapkan makanan bagi lansia dan penyandang disabilitas harus lolos verifikasi Dinas Kesehatan atau Kemenkes,” ujarnya kepada TheStance.
Ia mengingatkan bahwa kelompok lansia sangat rentan secara biologis karena penurunan imunitas (immunosenescence) dan komorbiditas, sehingga jauh lebih berisiko terkena infeksi akibat makanan.
Oleh karenanya, menu harus dirancang khusus untuk kelompok rentan, menghindari makanan berisiko tinggi dan menggunakan bahan yang aman disimpan atau dipanaskan ulang. Tekstur makanan juga perlu menyesuaikan kebutuhan lansia.
Selain itu, harus diterapkan titik kontrol kritis seperti suhu minimal memasak, pendinginan cepat hingga 4 derajat celcius, dan pemanasan ulang minimal 75 derajat celcius.
Risiko Kontaminasi di Jalur Distribusi
Terkait rencana distribusi dua porsi sekaligus, Dicky mengingatkan bahwa hal ini berpotensi besar memicu kontaminasi. Ia menyarankan pemerintah mempertimbangkan jadwal distribusi pagi–siang atau memanfaatkan jejaring relawan lokal.
“Idealnya jangan diberikan dua porsi pagi hari tanpa mekanisme penyimpanan aman. Jika terpaksa, harus memakai wadah insulated atau cool box untuk menjaga suhu,” jelasnya.
Penerima atau keluarga juga perlu diberi instruksi tertulis agar segera menyimpan atau memanaskan porsi kedua sebelum dikonsumsi karena makanan cepat masuk ke zona bahaya pada suhu 4–60 derajat celcius di wilayah tropis seperti Indonesia.
“Pengalaman keracunan pada program sebelumnya menunjukkan lemahnya pengawasan, standar dapur yang tidak seragam, dan distribusi yang tidak konsisten,” tambahnya.
Program skala besar ini tentu juga mengandung risiko besar. Kesalahan di satu dapur atau pemasok bisa berdampak negatif terhadap ribuan penerima. Karena itu, Dicky mengusulkan model desentralisasi yang terkontrol dibanding sentralisasi.
Sebagai catatan kritis, ia menegaskan lima langkah penting sebelum program diluncurkan penuh. Pertama, perlu pilot project terukur di 2 atau 3 provinsi untuk 5.000 penerima, dengan sistem pengawasan memadai dan evaluasi ketat selama 3 bulan.
Kedua, hindari pemberian dua porsi sekaligus jika tak ada protokol perlindungan suhu makanan. Ketiga, sertifikasi dan audit berkala pada semua dapur, termasuk sampling mikrobiologi secara acak yang dibiayai pemerintah.
Keempat, pelaksanaan transparan baik dari data termasuk komunikasi publik untuk menjaga kepercayaan publik dan mencegah rumor.
Terakhir, fokus pada gizi dan keamanan dengan menghindari bahan yang diproses secara ultra dan memilih menu seimbang yang aman diolah serta disimpan.
Baca Juga: Dilema Aturan Kaku SPPG: SD Langganan Juara Kantin Sehat Nasional Tolak MBG
“Keamanan pangan harus menjadi prioritas. Jika standar tidak dipenuhi, risikonya besar terutama bagi kelompok paling rentan,” pungkas Dicy.
Dengan berbagai risiko dan tantangan implementasi itu, keberhasilan MBG bagi lansia dan penyandang disabilitas bergantung pada kemampuan pemerintah memperketat standar keamanan pangan, pendanaan memadai, dan pengawasan transparan.
Tanpa itu, program yang diharapkan memperkuat perlindungan kelompok rentan ini justru berpotensi menjadi biang masalah kesehatan bagi mereka yang hendak dibantu. (par)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance