Jakarta, TheStance – Di berbagai negara, pemerintah punya cara masing-masing untuk memastikan anak mendapatkan asupan gizi yang seimbang setiap hari yang sangat penting untuk mendukung tumbuh kembang dan daya tahan tubuhnya.
Di Indonesia, untuk menjamin hal ini, pemerintah ambil bagian melalui program makan bergizi gratis (MBG) di sekolah. Program yang dimulai awal tahun ini tak hanya membantu anak keluarga kurang mampu, tapi juga membentuk kebiasaan makan sehat.
Namun, jauh sebelum ada program MBG, sejumlah sekolah di tanah air telah menjalankan program serupa meski dalam lingkup kecil yakni sekolah masing-masing melalui program dapur sehat ramah anak.
Meski mampu memenuhi kebutuhan gizi siswa secara mandiri, tetapi pelaksanaan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang kaku tak memungkinkan mereka menjalankan fungsi sebagai dapur MBG.
Dapur Sehat Sudah berusia 10 Tahun
Salah satu sekolah yang sudah menjalankan program serupa MBG adalah SD Muhammadiyah 1 Ketelan, Solo, Jawa Tengah.
Berawal dari keprihatinan karena siswa sering jajan makanan sembarangan, wali murid dan pengurus sekolah pun mendirikan dapur sehat sekolah, yang kini telah memasuki usia 10 tahun sejak didirikan pada 2015.
Berbeda dari SPPG dalam program MBG yang menyediakan kebutuhan makanan dalam jumlah besar untuk banyak sekolah, dapur sehat ini terletak di dalam kompleks sekolah dan melayani kebutuhan makan khusus untuk 615 siswa setiap harinya.
Para juru masak mulai persiapan memasak sejak pukul 06.00 WIB dan menyajikan makanan pada pukul 11.30 WIB. Semua bahan makanan yang digunakan untuk makan siang siswa adalah bahan segar.
Yang paling penting, faktor higienitas sangat diperhatikan. Misalnya, dalam proses memasak, para juru masak menggunakan sarung tangan dan masker untuk mencegah kontaminasi bakteri.
"Kita (memasak) mulai pukul 05.30 WIB dari memasak nasi, bahan semua fresh tidak menumpuk. Dari penyajian juga bersih, pakai sarung tangan, sesuai SOP. Yang jelas tidak menumpuk bahan," kata juru masak Siti Nur Handayani (45), dikutip Kompas.
Siti mengungkapkan bahwa ia telah menjadi juru masak di dapur sehat ini sejak awal berdirinya. Total terdapat lima orang staf yang bekerja di dapur sehat.
Pengolahan bahan makanan dan tempat penyajian dilakukan secara terpisah untuk menjaga kebersihan dan higienitas makanan. "Jadi biar semua aman, sehat dan fresh. Tidak menumpuk (makanan) kita," jelasnya.
Dapur ini juga diawasi pihak eksternal seperti Puskesmas yang secara berkala memeriksa kondisi kantin. Selain itu SD Muhammadiyah 1 Solo juga bekerja sama dengan perguruan tinggi untuk melakukan analisis kandungan gizi.
Menariknya, makanan disajikan secara prasmanan, memungkinkan setiap siswa mengambil makanan dan lauk sesuai selera dan kebutuhan. Selain itu, metode prasmanan ini bertujuan untuk menghindari banyaknya sisa makanan terbuang.
"Anak-anak mulai makan siang pukul 11.30 WIB atau habis shalat (Dzuhur)," ucap Siti.
Terintegrasi dengan Pendidikan Karakter Siswa
Kepala SD Muhammadiyah 1 Ketelan, Sri Sayekti, mengatakan selama ini keberadaan dapur sehat sangat penting dalam mendukung kegiatan belajar mengajar.
"Jadi kantin bagian yang tidak bisa dipisahkan dari proses pembelajaran. Berdirinya kantin SD Muhammadiyah 1 Ketelan dulu adalah untuk menjadi upaya penjaminan mutu siswa supaya anak-anak bisa belajar dengan baik, sehat dan berprestasi," katanya.
Sri menambahkan, dapur sehat juga bukan hanya sekadar menyiapkan makanan, tetapi juga adanya berintegrasi dengan pendidikan dan berfungsi untuk membangun karakter siswa.
"Dapur sehat bukan sekedar memberi makan tapi juga untuk membangun kedisiplinan dan tanggung jawab siswa," ujar Sri.
Setelah selesai makan, setiap siswa bertanggung jawab untuk mencuci piring kaca yang digunakan dan mengembalikannya ke tempat semula.
Cara belajar seperti ini, ternyata membekas di hati siswa. Kebiasaan mencuci piring yang diajarkan di sekolah ternyata terbawa sampai rumah.
Tak heran, SD Muhammadiyah 1 Ketelan menjadi salah satu sekolah rujukan nasional. Tercatat, dapur sehat SD Muhammadiyah 1 Ketelan telah meraih predikat kantin sehat tingkat nasional dua kali dari Kementerian Kesehatan.
"Kantin ini tidak untuk bisnis. Kantin ini untuk membangun karakter bahkan pendidikan anti korupsi dibangun di sana. Maka tidak salah Kementerian Kesehatan memberikan predikat kami kantin sehat tingkat nasional selama dua periode," ujarnya.
Menolak Diganti Program MBG
Salah satu orangtua siswa SD Muhammadiyah 1 Ketelan, Cici Wiyarsih (45), mempercayakan dapur sehat SD Muhammadiyah 1 Ketelan untuk pemenuhan gizi anaknya di sekolah karena selama ini sudah teruji.
Tidak pernah ada laporan kendala maupun kasus keracunan yang dialami siswa selama ini. Karena itu, dirinya ingin dapur sehat SD Muhammadiyah 1 Ketelan terus dipertahankan.
"Kami orangtua sangat ketakutan dalam arti kami orangtua bukan hanya memikirkan anak-anak di rumah. Tapi kita gelisah, takut, kami otomatis memikirkan anak-anak di sekolah. Seharusnya orangtua sudah tenang karena memberikan kepercayaan ke sekolah tentang makanan yang diberikan kepada anak," kata Cici.
Cici mengaku, para orangtua murid rela membayar Rp9.000-Rp10.000 per porsi demi anak mereka mendapatkan makanan yang lebih segar, aman dan bergizi.
Dirinya sangat menghargai program MBG dari pemerintah. Namun, ia ingin pemerintah memberikan kebijakan agar SD Muhammadiyah 1 Ketelan bisa mengelola sendiri MBG-nya sehingga lebih terawasi higienitas makanannya.
"Kami sangat menghargai program dari pemerintah. Karena itu juga memberikan hak untuk anak-anak. Tapi kami berharap pemerintah memberikan kebijakan kepada SD Muhammadiyah 1 untuk mengelola langsung makanan yang akan diberikan kepada anak-anak," ujar dia.
Dialihkan ke Sekolah yang Membutuhkan
Humas SD Muhammadiyah 1 Ketelan, Dwi Jatmiko memastikan SD Muhammadiyah 1 Ketelan Solo secara terbuka menolak tawaran program MBG yang diajukan salah satu SPPG di Kota Solo, Jawa Tengah.
Dwi mengungkapkan penolakan tidak hanya datang dari pihak sekolah, melainkan juga mendapat dukungan penuh dari para wali murid.
Menurutnya, penolakan itu memiliki dasar yang kuat karena sejak 2015 sekolah telah menjalankan program dapur sehat ramah anak yang mampu memenuhi kebutuhan gizi siswa secara mandiri dan selama itu sekolah tidak pernah mengalami kendala.
Dwi pun menyarankan agar program MBG dialihkan ke sekolah lain yang lebih membutuhkan.
"Yang dilakukan di sekolah itu tim dapur selalu bisa mengontrol dan harganya terjangkau untuk semua siswa baik yang sejahtera maupun pra sejahtera. Kalau nanti sampai ada kejadian (setelah MBG), siapa yang akan tanggung jawab kalau sampai ada keracunan. Intinya sekolah menolak itu siapa yang mau menjamin kalau ada keracunan," pungkasnya.
Menanggapi kekhawatiran pihak sekolah, Wali Kota Solo, Respati Ardi, memastikan dapur sehat SD Muhammadiyah 1 Ketelan tidak akan digantikan MBG.
Justru, dapur sehat sekolah tersebut akan dijadikan percontohan di tengah maraknya gelombang keracunan MBG di berbagai daerah.
“Tidak ada yang ganti (MBG). Justru itu akan kita jadikan percontohan karena dia berhasil salah satunya,” kata Respati di Loji Gandrung Solo, Jawa Tengah, Sabtu (27/9/2025).
DPR Dorong Kantin Sekolah Jadi Dapur Khusus MBG
Ketua Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Said Abdullah mengusulkan kantin di sekolah direhabilitasi dan difungsikan sebagai dapur khusus untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Usulan ini muncul setelah maraknya kasus keracunan dan kekacauan dalam pelaksanaan MBG yang terjadi di berbagai daerah.
Menurut Said, saat ini beban SPPG terlalu berat karena harus memproduksi hingga 3.000 porsi makanan setiap harinya. Ia menilai jumlah ini terlalu besar dan berpotensi menimbulkan masalah dalam distribusi maupun pengawasan kualitas makanan.
"Bebannya terlalu berat kalau 3.000, disesuaikan aja 1.000 atau pemerintah dalam hal ini ngambil posisi yang ekstrem, langsung dapur MBG di sekolah-sekolah," kata Said di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (29/9/2025).
Nantinya, dapur MBG yang langsung berada di sekolah bisa memproduksi makanan hanya untuk kebutuhan sekolah tersebut. Hal ini, menurutnya, akan membuat proses pengawasan lebih mudah dan kualitas makanan lebih terjamin.
Ia menilai, model pelaksanaan MBG saat ini kurang melibatkan peran guru secara langsung. Dengan skema dapur MBG di sekolah, para guru akan lebih aktif mengawasi dan terlibat dalam pelaksanaan program.
“Kalau langsung ke sekolahnya, mau tidak mau, moralitas guru yang mewajibkan dia untuk ikut terlibat,” kata Said.
Politisi PDI Perjuangan ini meyakini, anggaran Badan Gizi Nasional yang selama ini digunakan tetap mencukupi jika konsep pelaksanaan diubah. Menurutnya, pengelolaan yang terdesentralisasi di setiap sekolah bisa membuat program lebih efisien.
Moratorium Program MBG Sampai Terbit Perpres
Founder dan CEO Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), Diah Satyani Saminarsih, menyoroti lemahnya perencanaan sejak awal MBG.
Berdasarkan data CISDI per 1 Oktober, jumlah kasus keracunan akibat program MBG mencapai 7.830 kasus di 21 provinsi dan 55 kabupaten/kota. Angka ini meningkat sekitar 2.000 kasus dibandingkan data pada 18 September lalu.
“Kami melihat dari tanggal tersebut hingga sekarang itu jumlahnya terus bertambah dengan cukup cepat. Jadi memang MBG ini sangat disayangkan tidak dilakukan persiapan yang tepat sejak awal. Tidak ada naskah akademis, penentuan lokasi prioritas, tata kelola, mekanisme monitoring, hingga peraturan presiden yang seharusnya mendahului berdirinya BGN,” ujar Diah dalam keterangannya, Kamis (2/10/2025).
Menurutnya, ketiadaan regulasi membuat pembagian tanggung jawab antar instansi menjadi tidak jelas.
“Kalau terjadi kejadian atau keracunan seperti sekarang siapa yang harus mengambil tanggung jawab, lalu tanggung jawabnya dalam bentuk apa? Itu semua berujung memang kepada ketiadaan panduan, ketiadaan acuan utama dalam bentuk perpres,” ungkapnya.
Untuk itu, CISDI mengusulkan agar program MBG dihentikan sementara atau moratorium sampai peraturan presiden (perpres) diterbitkan.
Sementara dikerjakan langkah-langkah mitigasinya dan pengamanannya, MBG bisa dihentikan dulu sementara dan kemudian dimulai lagi pada saat perpres paling tidak sudah ada,” tegasnya.
Baca Juga: MBG Yang Kuno dan Ketinggalan Jaman
Badan Gizi Nasional (BGN) menghormati keputusan wali murid ataupun pihak sekolah yang menolak pemberian MBG, sebagai hak penerima manfaat.
“Jika penerima manfaat belum mau menerima, kita hormati,” kata Kepala BGN, Dadan Hindayana dalam keterangannya, Rabu (2/10/2025).
BGN hanya ingin memastikan menjalankan tugas dan mandat Presiden Prabowo Subianto untuk memastikan gizi anak dapat terlaksana dengan baik. “MBG adalah hak penerima manfaat. BGN menunaikan tugas untuk memberikan hak tersebut.”
Mengacu pernyataan Kepala BGN tersebut, maka tidak ada alasan pihak SPPG datang membawa aparat memaksa sekolah menjadi penerima MBG. (est)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance