Jakarta, TheStance -- Pemerintah memutuskan menunda pungutan pajak untuk pedagang online di marketplace hingga ekonomi tumbuh 6%.
Ini disampaikan Bimo Widayanto, Dirjen Pajak, dalam media briefing di kantor pusat Direktorat Jenderal Pajak di Jakarta, Senin (20/10/2025).
"Arahan dari Pak Menteri untuk menunggu sampai pertumbuhan ekonomi 6%," jelasnya.
Sekadar catatan, pajak yang pungutannya ditunda ini adalah Pajak Penghasilan (PPh) pasal 22 untuk pelaku UMKM. Saat ini tarif pajaknya 0,5% dari omzet apabila omzer per tahun antara Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar.
Bila omzet di atas Rp4,8 miliar per tahun, maka tidak bisa menggunakan pajak final UMKM dan dikenai tarif PPh normal. Sedab untuk omzet di bawah Rp500 juta, tidak dikenai pajak..
Sebelumnya, Kementerian Keuangan telah menerbitkan PMK No 37 Tahun 2025 yang mengatur pungutan pajak itu dilakukan oleh patform.
Artinya, platform marketplace yang akan menagih pungutan PPh2 ke merchant mereka masing-masing, dan lalu menyetorkannya ke Dijen Pajak.
Namun penerapan PMK No 37/2025 ini ditunda.
Bimo menjelaskan awalnya penundaan itu hanya akan Februari 2026, dan setelah itu marketplace akan diminta memungut pajak.
Tapi ada briefing terbaru dari Menteri Keuangan Purbaya bahwa penundaan itu berlaku sampai pertumbuhan ekonomi mencapai 6%.
Kapan Ekonomi Tumbuh 6%
Pertanyaannya: kapan ekonomi bisa tumbuh 6%?
Dalam catatan TheStance, tidak pernah selama 10 tahun terakhir. Selama 10 tahun era pemerintahan Jokowi, ekonomi tidak pernah tumbuh mencapai 6%, selalu di kisaran 5%.
Era Prabowo setahun terakhir juga sama. Pada kuartal I-2025, pertumbuhan ekonomi bahkan sempat turun hanya 4,87%, lalu jadi 5,12% di kuartal II.
Tapi angka 5,12% itu pun diragukan banyak ekonom, diduga dimainkan.
Yang jelas, sulit mencapa angka pertumbuhan ekonomi 6%. Belum pernah dalam 10 tahun terakhir.
Bahkan proyeksi ekonomi Indonesia 2026 oleh IMF dan Asian Development Bank (ADB) juga masih di kisaran 5%, tidak sampai 6%.
Indonesia hanya pernah mencapai pertumbuhan ekonomi 6% di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), selama lima kali, yaitu pada 2007, 2008, 2010, 2011 dan 2012.
Setelah itu tidak ada lagi pertumbuhan ekonomi 6% sampai saat ini.
Menunda pungutan pajak oleh market place "sampai ekonomi tumbuh 6%" dengan demikian sama saja ditunda sampai waktu yang tidak ditentukan, untuk tidak disebut dibatalkan.
Meningkatan Ketidakpatuhan Perpajakan
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies, Nailul Huda, cenderung tidak setuju dengan penundaan ini.
Pasalnya PPh 22 UMKM hanya menarget mereka dengan omzet di atas Rp500 juta per tahun, dan jumlah mereka terbatas.
CELIOS memperkirakan hanya sekitar 10% pedagang di marketplace yang memiliki omzet di atas Rp500 juta per tahun hingga miliaran.
Mayoritas 90% memiliki omzet di bawah Rp500 juta per tahun hingga otomatis bebas PPh 22.
Untuk kelompok 10% pedagang besar ini, menurut Nailul, seharusnya mereka lebih taat pajak.
"Kelompok ini seharusnya sudah taat pajak dengan sistem self-assessment, dan akan terbantu kalau mekanisme pemungutan di marketplace segera diberlakukan," katanya, Selasa (21/10/2025).
Selain itu, menurutnya, penundaan ini juga memperlemah upaya meningkatkan kepatuhan perpajakan di kalangan para pedagang besar.
Belum lagi batasan "sampai ekonomi tumbuh 6%" yang tidak jelas kapan terealisir.
Ini makin meningkatkan ketidakpatuhan dalam membayar pajak.
Bukan Berarti Tidak Bayar PPh
Sekadar catatan, penundaan ini tidak berarti pedagang yang sudah melampaui omzet Rp500 juta per tahun bebas PPh 22.
Penundaaan yang dimaksud hanyalah penundaan pungutan oleh marketplace.
Artinya, pungutan PPh 22 tetap berlaku, hanya metodenya kembali menggunakan cara lama yaitu self-assessment: pedagang menghitung sendiri omzet, lalu melaporkan secara mandiri ke Ditjen Pajak.
Dalam catatan The Stance, rendahnya kepatuhan membayar pajak dengan sistem self-assessment ini sebenarnya juga salah satu motif mengapa ada ide mendelegasikan pungutan PPh 22 ke pihak marketplace.
Sebab, marketplace memiliki catatan yang lebih detil mengenai omzet merchant mereka masing-masing dan bisa melakukan pemotongan otomatis, hingga uang pajak lebih mudah diraup.
Tapi ternyata pemerintah memutuskan menunda metode pungutan ini hingga kapan-kapan. (bsi)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance