Oleh Arcandra Tahar. Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) periode 2016, dan Wakil Menteri ESDM (2016-2019), yang merupakan pemegang hak paten platform pengeboran multikolom TLP (Multi Column TLP/McT) di Amerika Serikat.

Pada minggu kedua bulan Oktober 2025, eskalasi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China kembali memanas.

Seperti yang kita saksikan selama ini, kalau terjadi perang dagang antara dua negara ini maka yang repot bukan saja mereka berdua tapi juga negara lain.

Kita tentu bertanya-tanya penyebab dari eskalasi ini.

Dari informasi yang beredar, Beijing minggu lalu mengambil kebijakan untuk membatasi ekpor mineral strategis (critical minerals) ke AS yang sangat dibutuhkan untuk industri baterai, motor listrik dan semikonduktor.

Lebih jauh lagi mineral strategis ini juga sangat dibutuhkan oleh industri pertahanan AS.

Sebagai pengingat untuk sahabat energi semua, mineral strategis yang jadi rebutan dunia saat ini adalah tembaga (copper), nickel, cobalt, lithium, manganese, graphite dan logam tanah jarang (rare earth elements).

Untuk tulisan ini kita akan membahas khusus tentang logam tanah jarang.

Kenapa AS sangat bergantung kapada China untuk memenuhi kebutuhan logam tanah jarang mereka? Dari data tahun lalu, tambang logam tanah jarang 68% berada di China dan hanya 11% di Amerika Serikat dan 9% di Australia.

Yang mengejutkan, 90% pengolahannya ada di China dan 9% ada di Malaysia. Dapat dibayangkan bagaimana bergantungnya AS dan negara lain terhadap China serta Malaysia akan hasil pengolahan logam tanah jarang ini.

Jarang Bukan Berarti Sulit Didapatkan

rare earthApakah logam tanah jarang benar-benar susah untuk didapatkan? Jawabannya tidak. Logam ini selain bisa kita temukan sebagai elemen utama di beberapa tambang, juga bisa didapatkan dari elemen ikutan di tambang timah, bauksit dan biji besi.

Kalau begitu apa yang menyebabkan China menjadi sangat dominan dalam hal penguasaan logam tanah jarang? Apakah secara kebetulan mereka punya cadangan yang cukup besar?

Ternyata punya cadangan besar belum tentu bisa menguasai mineral ini, karena ada negara yang punya cadangan besar tapi tidak mampu untuk menambangnya.

Penguasaan China akan logam tanah jarang tidak terlepas dari visi besar Deng Xiaoping pemimpin mereka di tahun 1990-an. Beliau mengatakan kalau Timur Tengah punya minyak maka China punya logam tanah jarang.

Dulu tahun 1973 sewaktu terjadi krisis energi di AS, negara-negara Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (Organisation for Economic Cooperation and Development/OECD) diwajibkan punya cadangan minyak strategis (strategic petroleum reserve/SPR) untuk 90 hari konsumsi.

Zaman sekarang China bukan saja berpikir untuk mempunyai cadangan minyak strategis tapi sudah jauh melangkah dengan membuat cadangan mineral strategis (strategic critical mineral).

Ini semua dimulai dari visi besar oleh pemimpin tertinggi yang kemudian diimplementasikan lewat penguasaan teknologi dan sumber daya manusia yang handal.

Penguasaan logam tanah jarang oleh China bukanlah program tiba-tiba tapi direncanakan dengan baik dan membutuhkan waktu paling tidak sekitar 20 tahunan untuk mewujudkannya.

China Tak Monopoli Teknologi Logam Tanah Jarang

stasiun antariksa Pertanyaan selanjutnya adalah apakah hanya China yang punya teknologi dan SDM yang mampu menguasai logam tanah jarang?

Jawabannya tentu saja tidak. Banyak negara menguasai teknologi pengolahaan (processing) ini tapi tidak mempunyai support system seperti yang ada di China. Apa saja support system tersebut?

Pertama, negara hadir dan mendukung penuh pengembangan teknologi pengolahaan logam tanah jarang lewat penyediaan dana yang cukup besar.

Kalau hanya mengandalkan dana dari private sector, maka sering terjadi processing plant ini rugi akibat harga logam tanah jarang yang fluktuatif. Pada saat harga turun, ongkos produksi lebih besar dari revenue yang diperoleh.

Dengan kondisi ini, processing plant yang sudah terbangun memilih untuk tidak beroperasi. Jadi perlu diingat bahwa tidak selamanya pengelolaan logam tanah jarang bisa menghasilkan keuntungan bagi dunia usaha.

Kondisi kedua yang membuat Cina menjadi maju untuk pengolahaan logam tanah jarang adalah support penuh dari negara dalam menjamin ketersediaan sumber daya manusia (SDM).

Banyak SDM di negara lain yang beralih profesi karena processing plant nya bangkrut akibat harga komoditi yang jatuh. Dengan kondisi ini, SDM yang sudah terlatih dan berpengalaman hilang dari ekosistem.

Baca Juga: Kartu China Lawan Trump: dari Film, Hiasan Natal, hingga Tanah Jarang

Support system ketiga adalah pemerintah China melakukan industrialisasi yang menyerap hasil logam tanah jarang yang sudah diproduksi.

Dengan ekosistem yang terbentuk, naik turunnya harga komoditas tak banyak pengaruhnya terhadap keberlangsungan processing plant yang dibangun. Hal ini terbukti dari masih bertahannya processing plant logam tanah jarang di China hingga kini.

Support system keempat adalah aturan mengenai persyaratan lingkungan yang lebih longgar di China dan penolakan dari masyarakat yang sedikit.

Di negara maju isu lingkungan dan penolakan dari masyarakat menjadi penghalang dari aktivitas penambangan dan pengolahaan. Akibatnya, pengolahan logam tanah jarang menjadi kurang menarik.

Dari empat support system diatas kita jadi paham bagaimana Cina bisa menjadi penguasa logam tanah jarang didunia. Mimpi besar pemerintah China sudah menjadi kenyataan. Semoga bermanfaat dan terima kasih.***

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance.