Kartu China Lawan Trump: dari Film, Hiasan Natal, hingga Tanah Jarang
China memiliki kartu truf yang sebagian telah dipakai untuk menundukkan angkara Trump di perang tarif.

Jakarta, TheStanceID - Amerika Serikat (AS) di bawah Presiden Donald Trump nekad melancarkan perang tarif melawan China, ngara yang justru memasok printhilan barang yang vital bagi AS mulai dari industri pertahanan, film, hingga perayaan Natal.
Tak seperti 130 negara sasaran tarif resiprokal Trump yang mengajukan negosiasi, China melawan dengan menaikkan tarif atas produk AS yang masuk ke negara dengan ekonomi terbesar kedua dunia tersebut.
China Central Television pada Jumat (11/4/2025) mengumumkan bahwa tarif tambahan atas produk AS telah dinaikkan dari 84% menjadi 125%, yang berlaku efektif per 12 April 2025.
Langkah tersebut, sebagaimana dikutip Reuters, diambil setelah AS menerapkan tarif sebesar 145% atas barang-barang asal China yang masuk ke negara Paman Sam tersebut.
Dalam pernyataan resminya, Kementerian Keuangan China menyatakan tidak akan menaikkan tarif lagi, sekalipun Trump kesetanan membalas dengan mendongkrak tarif yang telah ditetapkan sebesar 145%.
"Bahkan jika AS terus memberlakukan tarif yang lebih tinggi, itu tidak akan lagi memiliki signifikansi ekonomi dan akan menjadi lelucon dalam sejarah ekonomi dunia," tuturnya.
Sehari sebelumnya, Lembaga Film Nasional (National Film Administration) China mengumumkan bakal segera mengurangi "jumlah film Amerika yang diimpor."
Ini menjadi pukulan serius bagi industri hiburan di Hollywood AS, mengingat China adalah pasar film terbesar kedua di dunia.
Bisnis Aksesoris Natal Terdampak
Dampak perang tarif yang dilancarkan Trump juga bakal memukul industri pakaian jadi dan pernak-pernik dekorasi, khususnya terkait perayaan Natal.
Reuters melaporkan bahwa pengusaha China yang biasa memasok pohon Natal sintetis dan dekorasi perayaan Natal mengaku bahwa klien dari AS, yang biasanya memesan pernak-pernik Natal pada April, sampai saat ini masih belum muncul.
Hal ini terkait dengan perang tarif yang dilancarkan Trump dan berlaku efektif pada hari itu juga, sehingga para importir AS menahan pembelian mereka akibat kenaikan tarif impor.
Pengecer AS selama ini mengandalkan China untuk memasok 87% kebutuhan dekorasi Natal, dengan nilai sekitar US$4 miliar, atau sekitar Rp 67 triliun. Di sisi lain, pabrikan China bergantung pada AS untuk memasarkan setengah produk mereka.
Menindaklanjuti kebijakan tersebut, China semakin memperkuat keunggulannya dengan mengeluarkan kartu truf lainnya yakni membatasi pasokan logam tanah jarang (rare earth).
Mineral tersebut merupakan bahan baku utama untuk perangkat keras yang menopang teknologi terdepan, mulai dari mobil listrik, drone, smartphone hingga rudal.
The New York Times melaporkan langkah Beijing tersebut dapat melumpuhkan sektor-sektor strategis di Amerika seperti pertahanan, kedirgantaraan, dan manufaktur mobil.
Di sisi lain, mencari pemasok penggant tidaklah mudah karena China merupakan produsen utama dan terbesar logam tanah jarang di dunia.
Industri Nuklir AS Juga Terpukul
Terbaru, China mengeluarkan kartu truf lain dengan mengumumkan akan membatasi pasokan bahan baku yang penting untuk industri nuklir, yakni logam tanah jarang gadolinium dan dysprosium.
Keduanya biasa digunakan bersama dengan zirkonium untuk memproduksi bahan bakar nuklir, dan sampai dengan detik ini hanya Tiongkok yang efektif memproduksinya.
Sebagaimana diberitakan Sputnik, 99% produksi kedua bahan baku tersebut terkonsentrasi di satu pabrik yang berlokasi di dekat kota Shanghai.
Saat ini, menurut pakar nuklir Rusia Alexei Anpilogov, bahan baku nuklir yang terpasang di AS hanya bertahan 12-24 bulan. Setelah itu, jika AS tidak dapat menemukan sumber baru melalui pihak ketiga, kualitasnya akan menurun.
Memulihkan produksi di AS akan sangat rumit. Pasalnya, fasilitas sentrifugal terakhir di AS dinonaktifkan pada tahun 1996 dan teknisinya kini sudah pensiun.
"Ini bukan masalah bulan, tetapi bertahun-tahun, termasuk konstruksi, debugging produksi, dan penyesuaian teknologi," tutur Alexei.
Baca juga: Belajar dari Perang Bhatoro Katong dan Ki Agung Kutu
Mayoritas reaktor nuklir dunia saat ini menggunakan teknologi generasi 3 dan 3+. Rusia dan China saat ini adalah satu-satunya yang secara luas bereksperimen dengan reaktor generasi ke-4.
Pembatasan tanah jarang untuk pasar AS memungkinkan China dan Rusia untuk melompat meninggalkan Kubu Barat dalam kemajuan teknologi energi nuklir.
Saat ini, Eropa dan Amerika terjebak dengan reaktor generasi ketiga dan belum mampu menghasilkan produk yang setra dengan reaktor nuklir generasi ke-4. (ags)
Untuk menikmati berita peristiwa di seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.