Belajar dari Perang Bhatoro Katong dan Ki Agung Kutu
Dari perang spiritual di Desa Nglawu, kita belajar bagaimana kekuasaan, ideologi, dan perdagangan selalu terkait.

Oleh Muhammad Fawaid, seorang akademisi pemerhati sosial dan ekonomi, dosen di Institut Sains dan Teknologi NU (STINUBA) Denpasar, yang juga Katib Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Bali. Kini aktif menciptakan konten melalui akun Tiktok @m..fawaid.al.
Bayangkan sebuah dunia tanpa bea masuk, tanpa regulasi ekspor-impor, tanpa persaingan dagang antarnegara superpower. Dunia yang sederhana. Tapi sayangnya, Bhatoro Katong tidak hidup di dunia semacam itu.
Dia hidup di abad 15, ketika menyebarkan agama Islam di Ponorogo tak ubahnya seperti melempar produk global ke pasar lokal: penuh harapan, idealisme, dan… tentu saja, benturan.
Bukan benturan ekonomi digital seperti sekarang, tapi benturan antara tombak dan keyakinan. Bhatoro Katong ini bisa dibilang seperti “Chief Executive Officer/CEO startup spiritual” dari Kesultanan Demak.
Target pasarnya, Jawa bagian barat ke timur. Strateginya, ekspansi dakwah. Tools-nya? Bukan WhatsApp blast atau iklan Instagram, tapi prajurit dan kitab.
Ia masuk ke Desa Plampitan (yang kini jadi Setono), mengajarkan Islam layaknya seminar motivasi. Respons masyarakat? Positif. Mirip saat produk Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dapat endorse gratis dari selebgram.
Tapi, seperti kisah klasik perdagangan global saat ini, selalu ada pihak lama yang terganggu dengan kehadiran pemain baru. Masuklah Ki Ageng Kutu, petahana spiritual lokal.
Ia bukan hanya pemegang otoritas wilayah, tapi juga punya “brand lama” yakni Buddha, yang sudah established, punya jaringan luas, dan didukung pertapa dari Gunung Bayangkaki (kalau sekarang mungkin semacam Think Tank tradisional).
Ki Ageng Kutu Melawan
Awalnya Ki Ageng Kutu bersikap seperti negara netral di forum G20, tak menghalangi produk masuk, tapi tak ingin ganti supplier juga.
Tapi Bhatoro Katong? Oh tidak. Ia bukan tipe distributor yang puas hanya melihat market share naik pelan-pelan. Ia ingin ekspansi total, satu identitas, satu pelanggan, satu jalan hidup, dan jika perlu, buy 1 get 1 surga.
Maka dimulailah perang spiritual yang mirip perang dagang hari ini: saling adu pengaruh, adu strategi, dan tentu saja, adu narasi.
Kalau di zaman modern kita punya Amerika Serikat vs Tiongkok soal chip dan teknologi, di Ponorogo waktu itu ada Islam vs Buddha soal iman dan eksistensi.
Ki Ageng Kutu pun tidak tinggal diam. Ia keluarkan jurus nasionalisme lokal: panggil semua pendeta, pertapa, dan pasukan spiritual gunung.
Bahkan tunggangannya pun tak main-main: seekor banteng super dengan lompatan luar biasa, mirip regulasi bea cukai yang bisa melompati logika.
Perang pecah. Saling pukul. Saling klaim wilayah. Saling percaya diri. Orang Islam kalah, lari ke hutan. Yang selamat membuka cabang kecil-kecilan di desa lain.
Minta Dukungan Pusat
Bhatoro Katong sendiri akhirnya harus balik ke Demak, bukan untuk menyerah, tapi minta “investasi baru” dari Sultan. Persis menteri yang datang ke presiden sambil berkata,
“Pak, pasar kita diserbu produk asing. Butuh tambahan pasukan… eh, maksudnya anggaran.”
Ironisnya, kisah ini begitu mirip dengan situasi Indonesia hari ini dalam menghadapi perang dagang global. Ketika produk dalam negeri dicekik oleh barang impor murah, para pemangku kepentingan masih sibuk perang narasi.
Satu kubu teriak “cinta produk lokal”, tapi tak ada satu pun pabrik yang hidup tanpa subsidi. Yang lain sibuk menyalahkan pasar, padahal kebijakan ekspor kita sendiri ruwetnya seperti benang kusut disulam pake jaring nelayan.
Dan entah kenapa, dalam situasi penuh tekanan seperti itu, solusi paling umum tetap saja: kembali ke pusat, minta bantuan.
Sama seperti Bhatoro Katong. Ketika kalah, bukan introspeksi, tapi minta pasukan tambahan. Sebuah tradisi "luhur" yang kini diwarisi oleh pejabat modern: kalau krisis, bukan perbaiki sistem, tapi lempar proposal ke atas.
Baca juga: Presiden Trump, Darah Proteksionistis Kaum Republiken, dan Perang Tarif
Ah, Ponorogo… siapa sangka bahwa dari perang spiritual di Desa Nglawu, kita bisa belajar tentang bagaimana kekuasaan, ideologi, dan perdagangan selalu terkait erat.
Bedanya, kalau dulu perang pakai pedang dan tombak, sekarang cukup pakai data ekspor, ketentuan tarif, dan opini publik yang viral tiga hari doang.
Sungguh, sejarah memang selalu berulang. Tapi kalau tidak disertai kesadaran dan ketahanan ekonomi, maka yang akan berulang cuma satu, kita tetap jadi pasar, bukan pemain.***
Untuk menikmati berita peristiwa di seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.