Jakarta, TheStance – Sebagai 1 dari 5 kawasan konservasi tertua di Indonesia, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) menjadi pusat penelitian botani sejak era kolonial. Pengelola tak hanya mengurusi flora, fauna, tapi juga manusia.
Dimulai sebagai Cagar Alam Cibodas pada 1889, area ini berkembang menjadi Cagar Alam Gunung Gede Pangrango pada 1978, dan kemudian ditetapkan menjadi 1 dari 5 taman nasional pertama Indonesia pada 1980.
Begitu pentingnya peran TNGGP hingga Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization/UNESCO) sejak 1977 menetapkannya sebagai Cagar Biosfer.
TNGGP menjadi cagar biosfer pertama di Indonesia dari total 21 yang ada di Tanah Air.
Kawasan tersebut lantas diperluas pada 2003 menjadi 24.270,8 hektare, mencakup wilayah Bogor, Sukabumi, dan Cianjur dan pengelolanya naik kelas menjadi Balai Besar pada 2007.
Setelah 30 tahun berkutat mengelola konservasi di berbagai wilayah Indonesia, Arief Mahmud akhirnya berlabuh di TNGGP setelah ditunjuk menakhodai Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (BB TNGGP) sejak 21 April 2025.
Baginya, mengelola konservasi taman nasional di Jawa berbeda jauh dari wilayah luar Jawa karena tantangan kependudukan.
TNGGP, misalnya, berbatasan langsung dengan 65 desa yang berpenduduk padat sehingga tekanan alih fungsi lahan, aktivitas ekonomi, dan industrialisasi menjadi tantangan terpelik.
Bukan Soal Alam Indah Saja

Tugas utama BB TNGGP adalah menjaga fungsi ekologi hutan sebagai rumah besar dan warisan tak ternilai bagi bangsa. Hal ini tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) TNGPP 2019-2025.
Kepada BBTNGGP, negara menggariskan visi berikut: “Sebagai Pusat Konservasi Hutan Hujan Tropis Pegunungan di Pulau Jawa yang Bermanfaat untuk Mendukung Pembangunan Wilayah dan Masyarakat”.
Adapun, misi pengelolaannya terbagi tiga yang menyasar flora dan fauna di dalamnya, serta manusianya.
Pertama, mempertahankan ekosistem hutan hujan tropis pegunungan dalam rangka meningkatkan populasi satwa macan tutul, owa jawa, surili, elang jawa, dan keanekaragaman hayati lain untuk menunjang pengembangan pendidikan dan penelitian.
Kedua, mengembangkan pendakian dan wisata alam lain yang berkelanjutan untuk seluruh jenjang umur dan ramah disabilitas.
Ketiga, mewujudkan fungsi pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam dan ekosistem hutan hujan tropis pegunungan dalam kerangka Cagar Biosfer Cibodas untuk mendukung pembangunan wilayah dan bagi kehidupan masyarakat.
Ketika menginjakkan kaki pertama kali di TNGGP, Arief menyadari betul bahwa tugas utamanya bukanlah untuk menjaga keindahan alam belaka, melainkan menanamkan kesadaran masyarakat akan pentingnya integritas ekosistem di dalamnya.
“Ada satu momen sunyi di tengah malam, di mana saya merasakan betapa Gede Pangrango adalah laboratorium alami dan reservoir kehidupan yang menyimpan begitu banyak keragaman hayati,” ujarnya.
Dilema Proyek Pariwisata & Orientasi Sosial
Memiliki amanat untuk mengelola TNGGP sembari mendukung kepentingan warga sekitar, Arief memilih skema perhutanan sosial dan kemitraan konservasi, agar masyarakat tetap bisa memanfaatkan kawasan hutan tanpa merusak ekosistem.
Untuk menjalankan tugas tersebut, dia dibantu 89 orang Pegawai Negeri Sipil (PNS), 14 orang Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), dan 40 Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri (PPNPN), menurut data BBTNGPP 2024.
Di bawah Arief ada lima pejabat Eselon III, yaitu Bagian Tata Usaha, Bidang Teknis Konservasi, Bidang Pengelolaan Taman Nasional (PTN) Wilayah I Cianjur, Bidang PTN Wilayah II Sukabumi, dan Bidang PTN Wilayah III Bogor.
Selain itu, pariwisata juga terus didorong. Hingga November 2025, TNGGP menyetor Pendapatan Nasional Bukan Pajak (PNBP) ke negara nilai hingga Rp8 miliar berkat masifnya kunjungan wisata, baik ke Jembatan Gantung Situ Gunung maupun pendakian.
Dengan aturan baru Kementerian Keuangan, sebagian dana akan kembali ke taman nasional untuk meningkatkan fasilitas, memperbaiki jalur, dan memperkuat konservasi.
Arief mengakui popularitas wisata memicu ekses dan masalah baru. Banyak pendaki yang saat ini hanya mengikuti tren tanpa kesiapan menyebabkan banyak insiden. Demikian juga pendakian ilegal lewat jalur tikus yang berisiko fatal bagi pelaku.
“Pendakian adalah wisata berisiko. Banyak yang celaka karena kurang persiapan,” ujarnya, menekankan alasan memperketat regulasi pendakian dan meningkatkan edukasi keselamatan.
Jalan Tengah Proyek Panas Bumi

Terkait penggunaan zona pemanfaatan eksplorasi panas bumi yang belakangan diwarnai penolakan sebagian warga dan aktivis, Arief menegaskan bahwa seluruh kegiatan proyek panas bumi berada di luar zona inti dan rimba.
“Area 546 hektare itu bukan habitat harimau, elang jawa, atau satwa endemik lainnya. Itu adalah lahan bekas hutan produksi dan sebagian sudah dimanfaatkan masyarakat sejak lama,” jelasnya.
Ia menekankan bahwa pemerintah tidak bisa serta-merta mengusir masyarakat yang telah puluhan tahun menggarap lahan di sana. Konservasi, menurutnya, tidak bisa dilakukan secara kaku tanpa memperhatikan kepentingan sosial warga di sekitar.
Hal ini, lanjut Arief, sejalan dengan kebijakan yang selama ini telah berjalan di mana pengelolaan kawasan TNGGP dilakukan dengan memastikan masyarakat tetap bisa meningkatkan kesejahteraan, tanpa merusak kawasan.
“Lahan ini milik negara, bukan hak pribadi. Justru masyarakat dibantu agar punya opsi ekonomi lain,” tambahnya, menilai keseimbangan antara perlindungan ekologi dan kepentingan sosial menjadi kunci keberhasilan konservasi.
Dia memastikan Balai Besar TNGGP akan memperkuat kolaborasi dengan pemerintah daerah, masyarakat sekitar, lembaga riset, dan sektor swasta dalam mengelola taman nasional tersebut.
Upaya ini mencakup edukasi publik, pengawasan pendakian, pemulihan habitat, dan perlindungan flora-fauna endemik. Arief menegaskan pentingnya pengelolaan yang adaptif di wilayah padat penduduk dengan interaksi sosial yang rumit.
“TNGGP adalah warisan dan amanah. Tugas kami memastikan kelestariannya untuk generasi mendatang,” ujarnya.
Tantangan Terbesar Perlindungan Satwa Endemik

Untuk diketahui, pengelolaan TNGPP ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 3683/Menhut-VII/JUH/2014 tanggal 8 Mei 2014 tentang Penetapan Kawasan Hutan TNGGP di 3 kabupaten yakni Bogor, Cianjur, dan Sukabumi, Jawa Barat.
Selain mengelola wisata alam, perlindungan satwa endemik menjadi fokus utama Balai Besar TNGGP. Salah satu yang mengkhawatirkan adalah burung ekek geling, spesies endemik Jawa Barat yang kini dinyatakan punah di alam.
Arief berencana membangun pusat konservasi khusus bekerja sama dengan lembaga penangkaran yang masih memiliki populasi tersisa. Menurutnya, pengelolaan konservasi tidak bisa didasarkan pada selera pribadi.
“Tugas kami menjaga TNGGP sebagai benteng terakhir perlindungan flora dan fauna, sekaligus tetap memberi manfaat bagi masyarakat,” tegasnya.
Arief mengakui bahwa amanahnya sebagai kepala BBTNGPP merupakan tanggungjawab luar biasa besar, yang membuatnya terkadang menghadapi pertarungan batin, antara ketakutan berlebihan sekaligus harapan besar.
Ketakutan terbesarnya adalah jika suatu saat manusia terlalu larut dalam eforia wisata alam tanpa menyadari batas daya dukungnya. Gunung bisa tampak kokoh, tapi sejatinya rapuh.
Jika eksploitasi terjadi secara berlebihan-baik oleh pendaki, wisatawan, atau bahkan oleh kebijakan yang tidak berpihak pada alam, maka keseimbangan ekosistem bakal hilang dalam sekejap.
"Saya tidak ingin Gunung Gede Pangrango berubah dari tempat pembelajaran konservasi menjadi sekadar ‘destinasi foto’ tanpa makna,” tuturnya.
Baca Juga: Isu Sosial Berbalut Ekologi di Balik Demo PSN Geothermal Gunung Gede Pangrango
Namun, dia menyimpan sebuah harapan besar: 50 tahun ke depan Gunung Gede Pangrango masih menjadi laboratorium hidup, tempat generasi muda belajar mencintai bumi, meneliti keanekaragaman hayati dan menemukan inspirasi tentang hidup.
“Saya percaya, dengan pengelolaan adaptif, teknologi yang bijak, dan masyarakat yang peduli, taman nasional ini akan terus menjadi ruang harmoni antara manusia dan alam,” ujarnya.
Ketika merasa tertekan dalam menjalankan tugasnya, Arief memiliki spot healing, yakni di Cibodas, di sekitaran Air Terjun Cibereum. Ia biasa mengunjungi lokasi tersebut di pagi hari, merasakan aura semesta yang membangkitkan semangatnya.
“Di sana saya merasakan kekuatan abadi alam melalui debit air yang tak pernah berhenti mengalir, yang merupakan sumber kehidupan bagi jutaan warga di bawah,” tuturnya.
Air terjun, lanjut dia, adalah simbol integritas yang memompa semangatnya untuk terus mengabdi di TNGGP. "Airnya murni, alirannya konsisten dan jujur, bahwa hulu yang kita jaga akan menjamin kesejahteraan hilir." (par)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp & Telegram The Stance