Presiden Trump, Darah Proteksionistis Kaum Republiken, dan Perang Tarif

Trump tak menghendaki China menggunakan banyak negara sebagai “proxy” ekspornya ke AS.

By
in Social Podium on
Presiden Trump, Darah Proteksionistis Kaum Republiken, dan Perang Tarif
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump hanyalah satu dari beberapa presiden dari Partai Republik yang memakai instrumen tarif untuk mengegolkan kepentingan AS. (Sumber: https://www.voanews.com/)

Oleh Andi Rahmat, aktivis cum politisi, yang pernah memimpin Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), dan menjadi anggota DPR (periode 2004-2009 & 2009-2014). Mencuri perhatian setelah menjadi salah satu inisiator Hak Angket terkait Bank Century, kini dia aktif menyuarakan aspirasi melalui Partai Gelora.

Sebetulnya tidak ada yang aneh dari perilaku kebijakan ekonomi Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Penggunaan instrumen tarif sebagai alat proteksionisme perdagangan sudah digunakan oleh beberapa presiden AS dalam 100 tahun terakhir.

Uniknya, penggunaan instrumen tarif ini memang khas bagi Presiden AS dari kalangan Partai Republik. Di tahun 1930, Presiden Herbert Hoover mengesahkan Smooth-Hawley Act untuk melindungi sektor pertanian AS dari serbuan impor.

Tahun 1987, Presiden Ronald Reagan menarget industri otomotif Jepang dengan mengenakan tarif 100% terhadap sejumlah produk Jepang. Tujuannya menekan Jepang agar lebih membuka diri bagi penetrasi industri otomotif AS di Jepang kala itu.

Di tahun 2002, Presiden G.W. Bush juga mengenakan tarif 30% terhadap impor baja dari Eropa. Tujuannya melindungi Industri baja AS yang sedang mengalami masalah serius.

Bangunan pemikiran kebijakan ekonomi kalangan Republiken memungkinkan hampir semua Presiden AS dari kalangan Republik--khususnya dari sayap konservatif, untuk menggunakan instrumen tarif dalam kebijakan perdagangan internasional.

Tetapi Presiden Trump memang unik. Alih-alih menggunakan tarif selektif terbatas, Trump memilih menggunakan tarif sebagai senjata pamungkas raksasa.

Tidak hanya kepada satu atau dua negara, tapi mencakup lebih dari 65 negara yang dianggapnya menciptakan defisit perdagangan bagi AS. Tidak ada preseden semacam ini dalam sejarah modern perang dagang antar negara.

Karena tanpa preseden, reaksi dunia pun juga seperti tidak percaya. Cara Trump menggunakan instrumen tarif memang tidak memiliki pra teks normal yang dapat digunakan untuk mencerna kebijakannya.

Tidak ada model norma rasional yang selama ini dipraktikkan dalam perdagangan internasional yang bisa dipakai untuk memahami kebijakan Trump.

Bukan Kebijakan Sia-Sia

peta dunia yang saling terkaitKebijakan unik ini bukannya tanpa hasil. Seketika, semua tindak tanduk kebijakan Trump menjadi magnet bagi aktivitas ekonomi. Pasar Modal dunia bergerak liar mengikuti irama genderang kebijakan Trump.

Negara-negara dalam daftar sasaran tarif AS, berlomba-lomba mengeluarkan kebijakan mitigatifnya. Mulai dari pemberlakuan tarif pembalasan (retaliatory tarif) hingga tawaran tarif 0% (zero tariff) bagi produk-produk AS.

Sampai di sini, Presiden Trump terlihat berhasil menggunakan kharisma pengaruh perekonomian AS untuk menciptakan efek kejut yang besar. Ekonomi AS memang sangat sentral dan dominan dalam percaturan ekonomi dunia.

Trump sukses menunjukkan besarnya ketergantungan ekonomi dunia terhadap perekonomian AS. Faktanya, 65 negara yang disasar memiliki ketergantungan ekonomi yang besar terhadap AS.

Dia nampaknya hendak membangun persekutuan perdagangan baru di atas apa yang dianggapnya sebagai persekutuan lama yang sudah tidak lagi menguntungkan AS.

Dalam pandangannya, 65 negara dengan ekonomi kuat dan memiliki hubungan bisnis yang solid dengan AS adalah modal bagi persekutuan baru itu.

Trump hanya menginginkan agar negara-negara itu sadar akan itu, bersedia tunduk dalam negosiasi pada pakta baru ekonomi yang dikendalikan AS.

Dan menerima fakta, bahwa AS adalah negara eksportir, bukan negara importir, pusat bagi manufaktur global dan mata rantai pasokan global. Trump sedang membangun Tata Ekonomi Dunia yang baru, dengan AS sebagai pusatnya.

Awal dari Proses Panjang

TrumpPemahaman semacam ini akan membawa kita pada satu posisi berpikir bahwa apa yang dilakukan Trump ini barulah permulaan dari suatu proses yang panjang.

Ini bukan kebijakan dengan tujuan temporer, melainkan bertujuan panjang, strategis bagi AS dan akan memakan waktu lama. Dan dunia dipaksa menormalisasikan drama ini, menjadikan ketidakpastian sebagai kepastian baru di perdagangan global.

Model berpikir seperti ini penting bagi kita di Indonesia. Terutama bagi para perancang kebijakan negara.

Respon pemerintah Indonesia mesti dirancang dalam jangka panjang. Itupun dengan tidak mengabaikan mitigasi jangka pendeknya untuk mengatasi dampak kejutan (shock) jangka pendek yang dialami.

Dalam hal ini ada beberapa hal yang nampaknya mungkin dijadikan sebagai dasar kebijakan itu.

Pertama, sebagai negara yang menganut politik internasional bebas aktif, penting bagi Indonesia untuk menunjukan sikap kooperatif dan keinginan mencapai kesepakatan baru yang menguntungkan kedua belah pihak.

Konsekuensinya, pemerintah mesti mengesampingkan penggunaan instrumen tarif pembalasan (retaliatory tarif) dalam opsi kebijakannya.

Kebijakan intimidatif AS terhadap perekonomian Indonesia tidak harus direspon secara emosional. Dalam hal ini, pesan Presiden Prabowo untuk tidak bereaksi emosional terhadap kebijakan AS adalah pesan yang tepat dan patut untuk dilaksanakan.

Gunakan Organisasi Ekonomi Dunia

Kedua, Indonesia mesti aktif menggunakan organisasi ekonomi dunia yang Indonesia terlibat di dalamnya sebagai sarana mitigasi jangka panjang. ASEAN, G20, APEC adalah di antara forum-forum yang dapat berguna bagi penguatan posisi Indonesia.

Jangan dilupakan satu aspek penting yang menjadi titik lemah dari kebijakan Tarif Trump. Kebijakan ini menempatkan AS sebagai “ lawan” bagi banyak negara dengan ekonomi kuat di dunia.

AS hanya akan sukses dalam jangka panjang jika berhasil memecah dan mencegah konsolidasi negara-negara yang disasar. Ia akan berusaha keras mengeksploitasi pragmatisme dan keinginan masing-masing negara menyelamatkan kepentingan nasional.

Sebaliknya, jika negara-negara itu cukup kuat, berkonsolidasi, mau menegosiasikan kepentingan nasionalnya dalam kerangka kepentingan stabilitas perdagangan global, maka AS akan terpojok, terisolasi bahkan oleh sekutu-sekutu terdekatnya.

Ketiga, sasaran utama dari kebijakan tarif Trump ini tetap saja adalah kompetitor utamanya, China. Trump telah memperluas zona persaingannya dengan China.

Jelas bahwa Trump tidak menghendaki China menggunakan banyak negara yang ada di dalam list-nya sebagai “proxy” ekspornya ke AS. Vietnam contohnya, adalah salah satu negara yang paling tinggi tarifnya.

Bagi Indonesia dengan kekayaan sumber daya alam dan populasi yang besar, ini tentu merupakan peluang tersendiri. AS menyadari betul sifat interdependensi perdagangan global.

Baca juga: Peluang dan Ancaman Perang Tarif AS-China: Siapa Untung, Siapa Rugi?

AS tetap memerlukan pusat produksi baru yang menguntungkan perekonomian domestiknya. AS memerlukan sentra pasokan baru bagi kepentingan konsumennya.

Indonesia mesti hadir di sini. Dalam hal ini, tentu kita akan bersaing dengan India, yang dalam 2 dekade terakhir telah berupaya keras menyakinkan pelaku bisnis AS untuk menjadikan India sebagai alternatif bagi China.

Langkah-langkah ini tentu memerlukan kerja keras dan upaya sungguh-sungguh. Tetapi seperti kata pepatah, “in every great crisis, lies great opportunity.”

Dalam setiap krisis besar, terdapat kesempatan besar. Wallaahua'lam.***

Untuk menikmati berita peristiwa di seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.