Perang Israel–Iran dan Inflasi Global
Perang berkepanjangan antara Israel dan Iran akan membuat harga minyak dunia naik lebih dari 10%. Setiap kenaikan 10% akan berkontribusi terhadap inflasi global sebesar 0,4% pada 2019. Dengan pola yang sama, perang Israel–Iran dapat membuat harga minyak dunia naik lebih dari 20%.

Oleh Muhammad Syarkawi Rauf, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Hasanuddin, Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) 2015-2018, pernah menjadi Direktur Utama BERDIKARI dan Komisaris Utama PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI/IX dan kini aktif sebagai Chairman of Asian Competition Institute (ACI).
Perang Israel-Iran yang dimulai pada 13 Juni 2025 menimbulkan ketidakpastian perekonomian global.
Hal ini dapat diamati pada peningkatan harga minyak dunia, yaitu minyak jenis Brent yang naik 11,1% menjadi US$74,927 per barel pada Selasa (17/6/2025).
Demikian juga dengan kenaikan harga gas alam cair dunia (liquified natural gas/LNG) untuk kontrak Juli 2025 menjadi US$45,34 atau mengalami peningkatan sekitar 3,2% dibandingkan dengan kontrak Juni 2025.
Eskalasi perang Israel–Iran yang kian tinggi dan berkepanjangan dapat mengganggu lalu lintas perdagangan gas dan minyak mentah yang melewati teluk Persia.
Sekitar 35% perdagangan gas dan minyak mentah dunia melalui selat Hormuz yang dikuasai Iran.
Gangguan logistik gas dan minyak mentah dunia dapat mendorong harga minyak dunia ke angka tertinggi sekitar US$100/barel. Lebih tinggi dibandingkan dengan harga Juli 2024 yang mencapai sekitar US$87,426/barel.
Kenaikan harga minyak dunia berdampak langsung ke negara-negara importir minyak dunia berupa cost push inflation, yaitu inflasi tinggi yang dipicu kenaikan biaya, khususnya kenaikan biaya logistik karena kenaikan harga bahan bakar minyak.
Sebelum meletusnya perang Israel–Iran, International Monetary Fund (IMF) dalam World Economic Outlook (WEO), April 2025, memproyeksikan bahwa inflasi global pada tahun 2025 dapat mencapai 4,3%, naik 0,1% dari proyeksi Januari 2025.
Tekanan Terhadap Inflasi
Proyeksi inflasi per April 2025 untuk negara maju pada tahun 2025 mencapai 2,5%. Sementara, proyeksi inflasi untuk Emerging Market and Developing Economies (EMDEs) mencapai 5,5% pada tahun 2025.
Proyeksi inflasi di atas didasarkan pada perubahan harga komoditas dunia dan menyusutnya volume perdagangan global yang disebabkan oleh perang dagang Amerika Serikat (AS)–China.
Saat proyeksi IMF dibuat, tren harga minyak dunia lagi turun.
Tekanan inflasi global, secara khusus terhadap negara maju dan EMDEs bersumber dari gangguan rantai pasok global, kenaikan harga barang impor di AS, dan menyusutnya volume perdagangan global yang mengganggu pasokan (supply shock).
Kini, perang Israel–Iran menambah tekanan terhadap inflasi global yang bersumber dari kenaikan harga minyak mentah dan gas. Perang berkepanjangan memberikan tekanan baru terhadap perekonomian global berupa kenaikan harga minyak mentah dunia.
Tekanan ganda terhadap inflasi global, yaitu menyusutnya pasokan global karena trade war jilid dua (tarif Trump) dan kenaikan harga minyak dunia lebih dari 10% diperkirakan berdampak pada peningkatan inflasi global hingga 5,2%– 5,7% pada 2025.
Proyeksi inflasi global tahun 2025 hanya sekitar 4,3%.
Hasil riset dari FXStreet, portal independen yang menyiapkan analisis mengenai foreign exchange market memperkirakan bahwa perang berkepanjangan antara Israel dan Iran akan membuat harga minyak dunia naik lebih dari 10%.
Setiap kenaikan 10% harga minyak dunia akan berkontribusi terhadap inflasi global sebesar 0,4% pada 2019. Dengan pola yang sama, perang Israel–Iran dapat membuat harga minyak dunia naik lebih dari 20%.
Tak Seperti Saat Perang Yom Kippur
Namun demikian, perang Israel–Iran tahun 2025 tidak akan berdampak sama dengan perang Yom Kippur antara Mesir dengan Israel tahun 1973.
Saat itu, negara-negara Arab, khususnya eksportir minyak dunia berkumpul di Kuwait menyatukan sikap untuk mengurangi produksi minyaknya sebesar 5% per bulan hingga Israel keluar dari Semenanjung Sinai dan dataran tinggi Golan.
Embargo minyak dunia menyebabkan harga naik 400%. Hal ini memberikan tekanan sangat kuat terhadap ketidakpastian perekonomian global.
Bahkan, negara-negara Eropa memberlakukan regulasi pembatasan kecepatan kendaraan bermotor di jalan bebas hambatan hanya 90 kilometer per jam untuk mengurangi konsumsi bahan bakar minyak.
Tren kenaikan inflasi global berdampak pada era suku bunga tinggi masih akan terus berlanjut.
Hal ini, salah satunya dapat diamati pada proyeksi sejumlah bank investasi global bahwa The Federal Reserve (The Fed) pada rapat 2 hari, minggu ketiga Juni 2025 akan mempertahankan Federal Fund Rate (FFF) sebesar 4,5%.
Negara-negara importir minyak yang mengalami dampak inflasi paling buruk diprediksi mempertahankan atau bahkan menaikkan suku bunga acuan, untuk mengurangi tekanan inflasi akibat kenaikan harga minyak mentah dunia.
Baca Juga: Perang Iran-Israel: Siapa yang Akan Menang?
Lalu, apa mitigasi risiko kenaikan harga minyak mentah dunia terhadap inflasi global, khususnya tren inflasi nasional?
Langkah antisipasi yang dapat dilakukan adalah menyiapkan skim bantuan sosial terhadap kelompok masyarakat paling rentan, yaitu masyarakat dengan pendapatan paling rendah.
Pemerintah sejak sekarang perlu memikirkan untuk memperpanjang insentif ekonomi berupa bantuan beras 10 kilogram per bulan kepada kelompok masyarakat miskin yang diumumkan pada awal Juni 2025.
Sementara itu dari sisi kebijakan moneter, peningkatan ekspektasi inflasi membuat Bank Indonesia (BI), paling tidak menunda tren pelonggaran suku bunga yang dimulai pada Mei 2025.
Langkah ini diperlukan untuk menjaga agar kenaikan harga minyak dunia tidak berdampak terlalu besar terhadap inflasi nasional tahun 2025.
Bauran kebijakan moneter dan fiskal juga harus mampu memberikan stimulus terhadap perekonomian sehingga dapat menahan laju pelambatan pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan sebesar 4,7% atau lebih kecil dari itu pada 2025 akibat tarif Trump dan perang Israel–Iran.***
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram TheStanceID.