Ragukan Pemerkosaan Massal 1998, Fadli Zon Dinilai Tak Sensitif, Kaburkan Sejarah

Menteri Kebudayaan Fadli Zon menilai penggunaan kata 'massal' pada kekerasan seksual yang terjadi pada Mei 1998 terlalu cepat disimpulkan. Padahal Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Kerusuhan Mei 1998 mengungkap 92 kasus kekerasan seksual di Jakarta, Medan, dan Surabaya.

By
in Headline on
Ragukan Pemerkosaan Massal 1998, Fadli Zon Dinilai Tak Sensitif, Kaburkan Sejarah
Sosok Ita Martadinata korban perkosaan yang dibunuh sebelum bersaksi di PBB, dalam lukisan karya Dewi Candraningrum, dipajang di lobi luar kantor Komnas Perempuan, Jakarta. (Sumber : Komnas Perempuan)

Jakarta, TheStanceID – Polemik terkait peristiwa pemerkosaan massal 1998 mencuat kembali setelah Menteri Kebudayaan Fadli Zon, menyatakan dalam sebuah wawancara bahwa tidak pernah ada bukti pemerkosaan massal dalam tragedi Mei 1998.

Dalam wawancara yang tayang di kanal YouTube media IDN Times, Rabu (11/6/2025) lalu, Fadli menyampaikan pemerkosaan massal adalah “rumor” yang perlu diluruskan sesuai fakta.

Pernyataan itu disampaikan kepada pemimpin redaksi IDN Times Uni Lubis dalam wawancara berkaitan dengan proyek penulisan ulang buku sejarah nasional yang direncanakan keluar 17 Agustus 2025.

“Pemerkosaan massal kata siapa? Enggak pernah ada buktinya. Itu adalah cerita. Kalau ada, tunjukkan (buktinya),” ujar Fadli Zon. Rumor-rumor seperti itu, lanjut dia, "tidak akan menyelesaikan persoalan."

Ketika ditanya soal laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang mengungkap kesaksian dan bukti yang menunjukkan para perempuan menjadi target perkosaan, Fadli Zon mengeklaim "pernah membantah" dan "mereka tak bisa buktikan".

Ucapan Fadli pun langsung mendapat kecaman dan memantik kemarahan publik. Dia dinilai tidak sensitif dan punya muatan lain di balik pengingkarannya terhadap peristiwa pemerkosaan massal 1998.

Pertanyakan Penggunaan Istilah "Perkosaan Massal"

Fadli Zon

Beberapa hari kemudian, Fadli Zon menjelaskan kembali pernyataannya tersebut.

Dirinya tidak menyangkal adanya pemerkosaan pada periode tersebut, tetapi penggunaan kata 'massal' pada kekerasan seksual yang terjadi pada peristiwa Mei 1998, menurutnya terlalu cepat untuk disimpulkan.

“Ini bukan soal menyangkal korban. Ini soal menghindari penyimpulan yang terlalu cepat, yang justru bisa membuat luka makin dalam dan kebenaran makin kabur,” ujar Fadli Zon, Selasa (17/6/2025).

Menurut Fadli, melihat sejarah harus secara jernih dan tetap dengan empati serta tidak menanggalkan akal sehat.

"Setiap luka sejarah harus kita hormati. Tapi, sejarah bukan hanya tentang emosi, ia juga tentang kejujuran pada data dan fakta," kata Fadli Zon.

Faktanya, memang ada perbedaan perihal laporan jumlah korban kekerasan seksual yang berbeda-beda. Jumlah korban yang dicatat TGPF berbeda dengan Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRK).

TRK mencatat sebanyak 168 kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual sampai 3 Juli 1998 dengan rincian sebanyak 153 kasus terjadi di Jakarta, 20 korban meninggal dunia.

Perbedaan jumlah korban ini bukanlah kontradiksi, sebab TGPF hanya mencatat kasus yang bisa dibuktikan secara hukum, sementara TRK mencatat seluruh laporan yang diterima.

Seperti Fadli Zon, keduanya tak menyangkal bahwa telah terjadi pemerkosaan di sejumlah daerah pada Mei 1998.

Temuan TGPF Terkait Kasus Pemerkosaan 1998

kerusuhan mei 98

Laporan resmi TGPF terkait Kerusuhan Mei 1998 mengungkap temuan adanya pelanggaran HAM, termasuk kekerasan seksual terhadap perempuan Tionghoa.

Ketika itu, TGPF dibentuk sebagai mandat resmi negara melalui Keputusan Bersama lima pejabat tinggi negara yakni Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI, Menteri Kehakiman, Menteri Dalam Negeri, Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, dan Jaksa Agung tertanggal 23 Juli 1998.

Pembentukan ini merupakan pelaksanaan langsung atas perintah Presiden BJ Habibie, sekaligus menjadikan TGPF sebagai instrumen legal dan sah pemerintah untuk mengungkap fakta-fakta peristiwa seputar kerusuhan Mei 1998, termasuk tragedi pemerkosaan massal terhadap perempuan etnis Tionghoa.

Hasilnya, TGPF mencatat terdapat 92 kasus kekerasan seksual di Jakarta, Medan, dan Surabaya, terdiri atas 53 kasus pemerkosaan dengan penganiayaan, 10 kasus penyerangan seksual, dan 15 kasus pelecehan seksual.

Menurut Komnas Perempuan, salah satu rekomendasi dari TGPF yang ditindaklanjuti yaitu pembentukan Tim Penyelidikan Pro-Justisia Komnas HAM untuk dugaan pelanggaran HAM berat kasus Mei 1998.

Salah satu kasus dalam laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa 13-15 Mei 1998 menyebutkan adanya sekelompok orang tak dikenal memasuki ruko korban serta menjarah barang-barang.

Salah satu korban, R, ditelanjangi dan dipaksa menyaksikan dua adiknya diperkosa. Setelah diperkosa, kedua gadis itu dilempar ke lantai bawah yang sudah mulai terbakar.

"Kedua gadis itu mati, sedang R berhasil selamat karena ada yang menolong," tulis laporan tersebut.

Baca Juga: Aktivis 98: Blunder Yusril Indikasikan Kasus HAM Berat Tak Bakal Diusut

Dalam temuannya, TGPF menyebut kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998 terjadi di dalam rumah, di jalan dan di depan tempat usaha. Mayoritas kekerasan seksual terjadi di dalam rumah atau bangunan.

TGPF juga menemukan bahwa sebagian besar kasus perkosaan adalah gang rape atau diperkosa oleh sejumlah orang secara bergantian pada waktu yang sama. Kebanyakan kasus perkosaan juga dilakukan di hadapan orang lain.

Meskipun korban kekerasan tidak semuanya berasal dari etnis Tionghoa, namun sebagian besar kasus kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998 diderita oleh etnis Tionghoa. Selain itu, korban kekerasan seksual ini pun bersifat lintas kelas sosial.

Habibie Akui Ada Tindakan Kekerasan Seksual Mei 1998

Habibie pidato

Pengakuan soal adanya tindakan kekerasan seksual pada Mei 1998 juga disampaikan Presiden BJ Habibie dalam pidato tanggal 14 Agustus 1998 di hadapan DPR.

Habibie menyatakan bahwa ada kekerasan dan perundungan seksual terhadap kaum perempuan. Khususnya, terhadap kelompok etnis Tionghoa.

"Dan rumah penduduk tersebut bahkan disertai tindak kekerasan dan perundungan seksual terhadap kaum perempuan, terutama kelompok etnis Tionghoa," ujarnya.

Habibie mengatakan peristiwa itu mencoreng muka bangsa Indonesia. Oleh karena itu, dia mengutuk kebiadaban tersebut.

"Seluruh rangkaian tindak kejahatan tidak bertanggung jawab tersebut sangat memalukan dan telah mencoreng muka kita sendiri," ungkap Habibie.

Sejak peristiwa memilukan itu, Pemerintah berkomitmen untuk membentuk suatu komisi atau lembaga yang bertujuan melindungi perempuan dari segala tindakan kekerasan terhadap perempuan.

Hingga akhirnya dibentuklah Komnas Perempuan oleh Presiden Habibie melalui Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1998.

Penyangkalan Fakta Peristiwa Perkosaan Mei 1998

Habibie - Komnas Perempuan

Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas yang terdiri dari sejumlah organisasi masyarakat sipil dan individu, mengecam keras pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang dianggap sebagai manipulasi dan pengaburan sejarah.

Fadli Zon juga dinilai mengabaikan upaya pengungkapan kebenaran atas tragedi kemanusiaan yang terjadi, khususnya kekerasan terhadap perempuan dalam peristiwa Mei 1998.

Kritikan disampakan aktivis perempuan, Ita Fatia Nadia, yang pada Oktober 1998 bersama 10 tokoh perempuan bertemu dengan Presiden BJ Habibie, untuk menyerahkan dokumen data dan fakta terkait pemerkosaan pada Mei 1998.

"Dia sebagai pejabat publik, sebagai menteri yang seharusnya menumbuhkan, menyemai satu bangunan untuk membangun kembali recalling memory untuk reparasi, untuk bagaimana menyembuhkan trauma bangsa ini, untuk menyembuhkan trauma dari kaum perempuan yang menjadi korban," kata Ita yang ikut mendampingi para korban perkosaan Mei 1998.

Ita pun mengenang bagaimana ancaman diterima oleh para korban, saksi dan juga pendamping yang berbicara mengenai perkosaan Mei 1998 secara terbuka ketika itu.

Bahkan, pada Oktober 1998, seorang anggota tim relawan, Ita Martadinata Haryono (18 tahun) dibunuh satu minggu sebelum menyampaikan kesaksian di PBB bersama dengan ibunya Wiwin Haryono dan komunitas Buddha.

Ita Martadinata diketahui meninggal akibat luka pada bagian leher dan vagina. "Ketika saya ke kamarnya, darah Ita masih hangat, " kata Ita Fatia. Ita dibunuh ketika pulang sekolah. Pembunuhnya hingga kini tak pernah terungkap.

Belajar Tidak Melupakan Sejarah dari Bangsa Lain

Prof Sulistiyowati Irianto

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Sulistyawati Irianto, menilai penyangkalan Fadli Zon semestinya dilihat dalam konteks yang lebih luas, yakni terkait penulisan ulang sejarah.

"Yang sedang dilakukan dengan penulisan sejarah ulang dengan dewan-dewan pemberian gelar dan kemudian pengingkaran terhadap peristiwa kekerasan seksual terhadap perempuan itu adalah penyesatan identitas bangsa," kata Profesor Sulis.

Sekedar catatan, dilansir dari BBC Indonesia diketahui bahwa dalam draf Kerangka Konsep Penulisan "Sejarah Indonesia" yang sedang dibuat Pemerintah, sejumlah pelanggaran HAM berat ternyata tidak dimasukkan dalam proyek ini.

Beberapa di antaranya adalah penembakan misterius (Petrus), penghilangan paksa aktivis 1997-1998, tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II, kasus pelanggaran HAM di Aceh dan Papua, pembantaian 1965, dan pemerkosaan Mei 1998.

Menurut Prof Sulis, Indonesia semestinya belajar dari bangsa-bangsa lain, termasuk bagaimana mereka bangkit dari penderitaan akibat perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, seperti yang dilakukan Jepang dan Jerman.

"Bangsa apa yang melupakan sejarahnya? Karena mereka tidak bisa membangun ke depan kalau mereka tidak punya pengetahuan yang memadai tentang apa yang pernah terjadi," ujarnya.

Ia mencontohkan, di berbagai kota di Jerman dibangun memorialisasi berupa tugu peringatan di mana pejabat yang menjadi perdana menteri seusai pelantikannya kemudian akan mengunjungi salah satu memorialisasi.

Tujuannya sebagai upaya untuk merawat ingatan publik terhadap peristiwa kelam masa lalu, sekaligus sebagai bentuk penghormatan kepada para korban dan upaya untuk mencegah terulangnya peristiwa serupa.

"Mereka mengatakan 'mea culpa' sampai tiga kali untuk menunjukkan bahwa mereka menyesal terhadap peristiwa-peristiwa kejahatan terhadap kemanusiaan tujuannya apa? Agar tidak diulangi lagi oleh generasi yang akan datang," jelas Profesor Sulis.

Selain membuat pengakuan bahwa peristiwa ini pernah terjadi, negara menurut Prof Sulis, juga berkewajiban memulihkan trauma-trauma yang bukan hanya dialami oleh korban, tetapi juga oleh segenap keluarga bangsa. (est)

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram TheStanceID.

\