Aktivis 98: Blunder Yusril Indikasikan Kasus HAM Berat Tak Bakal Diusut

Sinyal buruk penuntasan kasus HAM: menko bidang HAM salah mendefinisikan 'pelanggaran HAM berat.'

By
in Headline on
Aktivis 98: Blunder Yusril Indikasikan Kasus HAM Berat Tak Bakal Diusut
Komnas HAM rutin menyelenggarakan edukasi guna membantu masyarakat awam memahami definisi Pelanggaran HAM Berat. Salah satunya melalui Kuliah Umum di Fakultas Hukum Universitas Tadulako, Palu, Sulawesi Tengah, Jumat (29/9/2023). Sumber: https://www.komnasham.go.id/

Jakarta, TheStanceID - Pemerintahan Prabowo Gibran dinilai memberikan sinyal bahwa pengusutan pelanggaran HAM berat di masa lalu tidak akan berjalan optimal, buntut dari pernyataan kontroversial Yusril Ihza Mahendra.

Ketika ditanya awak media di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (21/10/2024), Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Azasi Manusia (HAM), Imigrasi, dan Pemasyarakatan ini mengatakan bahwa kasus pelanggaran HAM di tahun 1998 bukan termasuk kategori pelanggaran HAM berat.

"Nggak," katanya.

Mantan Ketua Umum Partai Bulan Bintang mengemukakan bahwa tidak semua kejahatan kemanusiaan bisa dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat, meskipun kejahatan tersebut melanggar HAM.

"Pelanggaran HAM yang berat itu kan genosida, ethnic cleansing, tidak terjadi dalam beberapa dekade terakhir. Mungkin terjadi justru pada masa kolonial ya pada waktu awal perang kemerdekaan kita 1960-an," katanya.

Sadar menuai polemik, keesokan harinya, Selasa (22/10/2014) Yusril segera mengklarifikasi. Ia berdalih pernyataannya disalahpahami. Dia menjelaskan ulang pernyataan tersebut.

"Kemarin tidak begitu jelas apa yang ditanyakan kepada saya apakah terkait masalah genocide ataukah ethnic cleansing? Kalau memang dua poin itu yang ditanyakan, memang tidak terjadi pada waktu 1998," kata Yusril dikutip dari CNN Indonesia.

Yusril mengaku paham betul Undang-Undang Pengadilan HAM karena ikut merumuskan. Dia juga mengklaim bahwa dirinya paham benar mengenai peristiwa 98, karena menjadi bagian dalam pemerintahan saat itu.

"Jadi cukup mengerti tentang persoalan ini dan itu menjadi concern kita bersama-sama ya. Jadi jangan ada anggapan bahwa kita enggak peduli apa yang terjadi di masa lalu," ucapnya.

Yusril menegaskan pemerintahan Prabowo akan mengkaji seluruh rekomendasi dan temuan pemerintah-pemerintah terdahulu soal peristiwa 98. Dia juga akan berkoordinasi dengan Menteri HAM Natalius Pigai dan Komnas HAM.

"Percayalah bahwa pemerintah punya komitmen menegakkan masalah-masalah HAM itu sendiri," ujarnya.

Indikasi Buruk

Kepada TheStanceID, aktivis Reformasi 98 Petrus Hariyanto menilai pernyataan Yusril yang menyebut peristiwa 98 bukan pelanggaran HAM berat sebagai indikasi bahwa pemerintah saat ini berupaya menutup pengusutan kasus pelanggaran HAM masa lalu.

Mantan Sekjen Partai Rakyat Demokratik (PRD) itu tidak yakin pemerintahan sekarang akan menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat, mengingat Presiden Prabowo sendiri adalah pelaku kejahatan HAM masa lalu yang terlibat dalam penculikan aktivis.

"Justru politik impunitas akan semakin diteguhkan, termasuk kasus lain tidak akan disentuh. Hal ini ditunjukkan para jenderal yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran HAM justru dirangkul dan menjadi bagian dalam kekuasaan pemerintahan sekarang," ujar Petrus yang kini aktif menulis buku terkait perjuangan dan demokrasi.

Keberadaan sejumlah mantan aktivis HAM di pemerintahan Prabowo juga tak bisa diharapkan. Ia menilai, para pegiat HAM tersebut hanyalah petualang politik yang takkan berani menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.

"Mereka kami anggap sebagai petualang politik, yang menjual kawan-kawannya yang sampai saat ini masih hilang untuk kepentingan politik kekuasaan mereka," pungkas Petrus.

Yusril Tak Berhak

Mantan Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan Yusril tidak berwenang menyebut peristiwa 1998 sebagai ‘bukan pelanggaran HAM berat.’ Menurut Undang-undang, yang berhak menyatakan suatu peristiwa termasuk pelanggaran HAM berat atau tidak adalah Komnas HAM.

"Menurut undang-undang, menurut TAP MPR, pelanggaran HAM berat itu harus diselidiki. Sesudah diselidiki, ada 18 pelanggaran HAM berat, 5 sudah diadili, tapi 34 tersangkanya itu bebas semua," kata Mahfud di Kantor Kemhan, Jakarta, Selasa (22/10) dikutip dari Tempo.

"Jadi yang boleh menyatakan pelanggaran HAM berat itu terjadi atau tidak terjadi, tentu bukan Menkumham, yang boleh mengatakan itu hanya Komnas HAM menurut undang-undang," imbuh dia.

Menurutnya, Komnas HAM telah menyatakan peristiwa 98 masuk dalam pelanggaran HAM berat. Oleh karenanya, saat dirinya menjabat sebagai Menko Polhukam, pemerintah mengakui peristiwa 1998 sebagai kasus pelanggaran HAM Berat.

"Maka apa yang ditetapkan oleh Komnas HAM kita laksanakan, seperti yang 12 yang sudah diakui oleh Presiden dan diapresiasi oleh PBB, karena itu ditetapkan oleh lembaga yang menurut undang-undang berwenang untuk menetapkan," ujarnya.

Sebagai informasi, Presiden Joko Widodo sudah menerima laporan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat (PPHAM) di Istana Merdeka, Jakarta, pada Rabu, (11/01/2023).

Dalam keterangannya, Presiden Jokowi mengakui bahwa pelanggaran HAM yang berat telah terjadi pada berbagai peristiwa di Tanah Air, termasuk Peristiwa 1998.

“Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus, saya sebagai Kepala Negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa,” ujar Presiden Jokowi.

Blunder Besar

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia (AII) Usman Hamid menilai pernyataan Yusril tersebut sebagai blunder besar, mengingat posisinya sebagai menteri koordinator yang membidangi HAM.

"Tak sepantasnya pejabat pemerintah mengeluarkan pernyataan yang keliru tentang hak asasi manusia. Apalagi dari pejabat yang salah satu urusannya soal legislasi bidang HAM," ujarnya melalui keterangan yang diterima TheStanceID, Senin (21/10/2024).

Pernyataan Yusril, lanjut dia, tidak mencerminkan pemahaman yang benar khususnya mengenai pengertian pelanggaran HAM berat pada penjelasan Pasal 104 Ayat (1) dari UU 39/1999 tentang HAM maupun Pasal 7 UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM.

Pernyataan itu juga mengabaikan laporan resmi pencari fakta tim gabungan bentukan pemerintah dan penyelidikan pro-justisia Komnas HAM atas sejumlah peristiwa pada masa lalu.

Semua temuan tersebut telah menyimpulkan terjadinya pelanggaran HAM berat dalam bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan atau crimes against humanity. "Jadi, pelanggaran HAM yang berat menurut hukum nasional bukan hanya genosida dan pembersihan etnis," kata dia.

Usman juga menilai pernyataan Yusril tak hanya tidak akurat secara historis dan hukum, tetapi juga menunjukkan kurangnya empati terhadap korban.

"Tragedi Mei 1998 meninggalkan luka mendalam bagi mereka yang kehilangan orang-orang terkasih akibat kekerasan, perkosaan, dan pembunuhan yang menargetkan kelompok etnis tertentu, khususnya komunitas Tionghoa," tambah Usman.

Saat ini, Prabowo membentuk Kementerian HAM menjadi kementerian tersendiri yang diklaim sebagai bentuk keseriusan menyangkut isu HAM. Mantan Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai pun ditunjuk menjadi Menteri, didampingi Mugiyanto Sipin, korban penculikan yang juga aktivis HAM, sebagai Wakil Menteri.

Namun, Usman meragukan komitmen penegakan HAM Prabowo dan melihat hal itu hanya sebagai bentuk politik balas budi guna merangkul kelompok yang membantu pada Pilpres lalu.

"Setidaknya mencerminkan kabinet tidak berbasis keahlian dan integritas moral yang tinggi, tapi lebih pada politik balas jasa atau balas budi atas dukungan elektoral yang selama ini pernah diterima oleh Pemerintah yang terbentuk hari ini," tegas Usman. (est)

\