
Indonesia Serahkan Pengelolaan Data Pribadi ke AS, Dinilai Langgar Konstitusi
Kesepakatan transfer data pribadi dari Indonesia ke Amerika Serikat menuai polemik. Pemerintah dinilai telah 'menjual' data pribadi tanpa hak.
15 artikel ditemukan
Kesepakatan transfer data pribadi dari Indonesia ke Amerika Serikat menuai polemik. Pemerintah dinilai telah 'menjual' data pribadi tanpa hak.
Ketika perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China memanas, Indonesia justru mengambil posisi strategis sebagai mitra dagang terbuka bagi keduanya. Yang menarik, sikap Indonesia terhadap tarif dagang AS dan China menunjukkan pendekatan yang berbeda, namun tetap pragmatis.
Presiden Prabowo Subianto menyebut kesepakatan perdagangan dengan Amerika Serikat merupakan yang terbaik. Anehnya, Apindo menilai penurunan tarif menjadi 19% membuka peluang ekspor, meski sebelumnya tarif dasar yang berlaku adalah 10%. Kedaulatan Indonesia tergadaikan.
Kalau melihat sejarah AS, tarif resiprokal Trump termasuk biasa-biasa saja, dibandingkan tarif Andrew Jackson, Morril, atau William McKinley.
Saat ini pengguna QRIS sudah mencapai 26 juta orang lebih, dan bisa digunakan di 9 negara, terutama ASEAN. Tapi Amerika menilai QIRS merugikan perusahaan-perusahaannya. Jadi salah satu isu dalam negosiasi tarif.
China memiliki kartu truf yang sebagian telah dipakai untuk menundukkan angkara Trump di perang tarif.
Trump tak menghendaki China menggunakan banyak negara sebagai “proxy” ekspornya ke AS.
Waspadai produk ‘tak bertuan’ yang cari pasar baru, dari China (senilai US$460 miliar) & AS (US$200 miliar).
Formula tarif Trump dinilai tidak memiliki landasan teori ekonomi yang solid.
Hanya masalah waktu. Krisis moneter berkepanjangan akan menjelma menjadi krisis ekonomi.
Pemerintah harus menstimulus ekonomi di saat perang tarif, dengan mengalihkan dana MBG.
Diversifikasi pasar, penguatan instrumen hukum perdagangan, dan diplomasi harus dilakukan.