Dampak Tarif Impor Resiprokal Trump terhadap Ekonomi Indonesia (2)
Hanya masalah waktu. Krisis moneter berkepanjangan akan menjelma menjadi krisis ekonomi.

Oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies), akademisi yang mengawali karir di Institut Bisnis Indonesia (IBII), peraih gelar Magister Ekonomi Bisnis dari Erasmus University Rotterdam (Belanda) dan gelar profesional di bidang akuntansi manajemen dari Institute of Certified Management Accountants (Amerika Serikat).
Dunia terguncang.
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump memberlakukan tarif impor resiprokal kepada hampir seluruh negara di dunia. Khususnya, kepada negara yang masuk daftar ‘Dirty 15’, penyumbang defisit terbesar terhadap neraca perdagangan AS.
Tarif resiprokal Trump dimaksudkan untuk mengurangi defisit neraca perdagangan AS. Trump berpendapat, defisit perdagangan AS disebabkan tarif impor yang tinggi dan praktek dagang (hambatan non-tarif) yang tidak adil yang dikenakan kepada produk AS oleh negara mitra dagang khususnya ‘Dirty 15’.
Tarif resiprokal Trump membuat bursa saham dunia anjlok 2 hari berturut-turut. Aset kekayaan (wealth) senilai US$6,6 triliun menguap. Hal ini menggambarkan kondisi masa depan ekonomi dunia suram, peluang masuk resesi semakin besar.
Ekonomi Indonesia juga tidak terkecuali. Krisis moneter dan krisis fiskal sulit dihindari, it is only a matter of time. Hanya masalah waktu saja. Krisis moneter yang berkepanjangan akan menjelma menjadi krisis ekonomi secara luas.
Baca juga: Dampak Tarif Resiprokal Trump terhadap Ekonomi Dunia & Indonesia (1)
Berikut gambaran kondisi ekonomi Indonesia setelah Trump memberlakukan tarif resiprokal kepada hampir seluruh negara di dunia.
Tarif resiprokal Trump membuat volume perdagangan dunia menyusut. Ekspor Indonesia ke berbagai negara turun. Ekonomi tertekan. Defisit neraca perdagangan meningkat, kurs rupiah tertekan.
Di tengah prospek masa depan ekonomi yang suram, investasi akan melambat, atau kontraksi. Investor lebih memilih menyimpan cash dari pada surat berharga.
Artinya, akan terjadi divestasi saham dan obligasi secara besar-besaran, terjadi capital outflow dalam jumlah besar.
Bursa saham global sudah anjlok. Nasib bursa saham Indonesia juga akan sama, anjlok. Harga saham di bursa saham Indonesia saat ini overvalued: kemahalan.
Karena belum terkoreksi kebijakan tarif resiprokal Trump, akibat liburan superpanjang Lebaran. Investor akan berlomba-lomba menjual portofolio sahamnya ketika bursa dibuka kembali awal pekan depan. IHSG anjlok.
Bagaimana nasib pasar obligasi? Untuk Indonesia, pasar obligasi jauh lebih mengerikan.
Utang luar negeri Indonesia saat ini mencapai sekitar US$430 miliar. Lebih dari 90% utang tersebut dalam bentuk obligasi (surat utang).
Kalau pemilik obligasi divestasi 10% saja dari total kepemilikannya, maka kurs rupiah akan kolaps, meluncur cepat ke Rp18.000, bahkan bukan mustahil anjlok ke Rp20.000 per dolar AS.
Tidak diragukan, capital outflow US$40 miliar pasti akan membawa bencana besar bagi ekonomi Indonesia.
Intervensi Bank Indonesia (BI) tidak mungkin efektif lagi untuk mempertahankan kurs rupiah.
Untuk mencegah capital outflow, kemungkinan besar BI akan menaikkan suku bunga acuan. Tidak ada pilihan lain.
Tergantung berapa cepat rupiah terdepesiasi, suku bunga akan menyesuaikan. Semakin cepat rupiah anjlok, semakin tinggi BI menaikkan suku bunga acuan.
Kenaikan suku bunga BI pada gilirannya akan “membunuh” sektor riil yang memang sekarat akibat tarif resiprokal Trump.
Kenaikan suku bunga BI dan penguatan kurs dolar AS, ditambah kondisi ekonomi yang melemah, akan memicu banyak perusahaan gagal membayar bunga dan pokok utang yang jatuh tempo, baik utang dalam negeri maupun utang luar negeri.
Hal ini akan membuat ekonomi semakin tertekan, menuju chaos: krisis semakin dalam.
Di tengah kondisi ekonomi tertekan dan melambat, BI seharusnya menurunkan suku bunga.
Tetapi, ancaman capital outflow membuat posisi BI dilematis. Menurunkan suku bunga akan membuat capital outflow semakin kencang. Sedangkan menaikkan suku bunga akan mempercepat ekonomi kolaps.
Kondisi fiskal atau APBN juga kritis
Penerimaan negara turun, semakin memberatkan fiskal yang juga sedang sekarat. Kemampuan pemerintah memberi stimulus fiskal semakin terbatas. Pemerintah juga dalam posisi dilematis, menaikkan atau menurunkan tarif pajak?
Menurunkan tarif pajak untuk stimulus ekonomi hampir mustahil, karena fiskal akan kolaps. Sebaliknya, menaikkan tarif pajak akan mempercepat “membunuh” ekonomi.
Kondisi di atas menggambarkan skenario yang akan terjadi dengan ekonomi Indonesia, sebagai akibat dari kebijakan tarif resiprokal Trump. Hal ini sulit dihindari.
Sebaliknya, perang tarif akan semakin genting. China langsung membalas kebijakan Trump, dengan mengenakan tarif resiprokal balasan sebesar 34%. Sebagai info, Trump sebelumnya mengenakan tarif resiprokal 54% kepada China.
Sejauh ini Indonesia belum memberi reaksi memadai atas diberlakukannya tarif resiprokal Trump ini. Hal ini tentu saja tidak baik. Semoga pemerintah siap, dan mampu, mengatasi tantangan ekonomi dalam waktu dekat ini.
Untuk menikmati berita peristiwa di seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.