Industri Padat Karya Dibayangi PHK Akibat Tarif Trump, Ambil Solusi Ini!
Pemerintah harus menstimulus ekonomi di saat perang tarif, dengan mengalihkan dana MBG.

Jakarta, TheStanceID - Banyak kalangan mengkhawatirkan data ekonomi Indonesia belakangan ini. Pemicunya adalah sejumlah indikator perekonomian terkini yang menunjukkan kondisi perlambatan.
Tercatat, pertumbuhan ekonomi pada 2024 sedikit melambat menjadi 5,02% secara tahunan, dibandingkan pada 2023 yang sebesar 5,05%.
Badan Pusat Statistik (BPS) pun mencatat deflasi sebesar 0,09% secara tahunan (yoy) pada Februari 2025. Ini untuk pertama kalinya sejak tahun 2000, deflasi terjadi di awal tahun.
Hal ini pun memunculkan pertanyaan: apakah daya beli masyarakat menurun? Apalagi sebelumnya, pada Mei-September 2024, juga terjadi deflasi selama 5 bulan berturut-turut, yang juga dikaitkan dengan pelemahan daya beli masyarakat.
Kondisi ekonomi Indonesia yang sedang "tak baik-baik saja" ini bakal semakin terpukul menyusul diterbitkannya kebijakan tarif resiprokal atau timbal balik oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump terhadap lebih dari 180 negara termasuk Indonesia.
Lantas apa saja ancaman nyata yang akan dihadapi perekonomian Indonesia akibat dari kebijakan tarif Trump tersebut, dan apa yang perlu dilakukan pemerintah?
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyebut kenaikan tarif resiprokal Trump berpotensi memicu resesi ekonomi Indonesia di kuartal IV pada 2025.
"Resesi itu karena potensi ekspor menurun, harga komoditas makin rendah, penerimaan pajak melemah, fiskal pemerintah tidak mampu berikan stimulus tambahan, sisi konsumsi rumah tangga melemah. Perfect storm," kata Bhima dalam keterangannya.
Ancaman Gelombang PHK
Bhima menjelaskan, resesi ekonomi terjadi bilamana dua atau tiga kuartal ekonomi mengalami pelambatan. "Resesi berbeda dari krisis ekonomi di mana pertumbuhan minus. Dalam resesi tidak harus minus, growth melambat saja sudah bisa disebut resesi."
Menurut Bhima, tarif timbal balik ini secara khusus akan menghantam dan membuat sektor-sektor yang bergantung pada ekspor ke AS berada "di ujung tanduk", seperti sektor otomotif serta elektronik.
"Imbasnya layoff [PHK] dan penurunan kapasitas produksi semua industri otomotif dan elektrik di dalam negeri," kata Bhima.
Data Kementerian Perdagangan menunjukkan, ekspor mesin dan perlengkapan elektrik Indonesia ke AS pada 2024 mencapai US$4,1 miliar.
Sementara itu, Direktur Eksekutif NEXT Indonesia Center Christiantoko menyebut bila pengiriman ekspor ke AS terganggu akibat tarif tinggi, maka penjualan produk-produk padat karya tersebut bisa anjlok tajam atau bahkan terhenti sama sekali.
“Karena lebih dari separuh produk-produk tersebut diserap oleh pasar Amerika,” tegasnya.
Dampak serius dari kebijakan ini juga mengancam nasib jutaan tenaga kerja di sektor padat karya, terutama di industri tekstil dan produk tekstil (TPT) yang diperkirakan menyerap lebih dari 3 juta orang.
“Jika ekspor turun drastis, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal bisa menjadi kenyataan. Ini masalah serius yang harus dipikirkan oleh pemerintah. Apalagi, saat ini sedang marak informasi soal potensi PHK,” ujarnya.
Apindo mencatat jumlah tenaga kerja yang di-PHK mencapai 40 ribu orang pada Januari-Februari 2025, ditambah tahun lalu sebanyak 250 ribu orang. Berdasarkan data BPS, per Agustus 2024, tercatat ada 7,47 juta orang menganggur.
Rupiah Ke 17.000/USD, PHK Kian Massif
Ekonom senior INDEF M. Fadhil Hasan mengungkap kenaikan tarif resiprokal juga bisa berdampak terhadap depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar, termasuk kenaikan barang-barang impor Indonesia di AS.
"Kita tahu bahwa dengan adanya kebijakan ini maka produk yang dijual di Amerika itu kan semakin mahal ya, harganya. Dan itu kemudian memberikan tekanan terhadap inflasi tentunya," kata Fadhil.
Jadi, lanjut dia, dampak tarif tersebut akan terasa ketika terjadi depresiasi nilai tukar rupiah. "Itu spill over-nya itu ke mana-mana. Kepada utang. Kepada fiskal dan seterusnya."
Perusahaan yang bahan bakunya impor dipastikan terdampak jika nilai dolar menguat. "Oleh karena itu antisipasi mereka memilih PHK, daripada mengonversi utang-utangnya. Jadi PHK yang sudah masif akan semakin masif."
Guru besar ekonomi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Didin S. Damanhuri memperkirakan dalam jangka dekat, kurs rupiah akan melewati Rp17.000 terhadap dollar Amerika.
"Kalau kurs sudah di atas Rp17.000 dan ini batas psikologis seperti pada 1998. Padahal pemerintah punya utang besar yang berdenominasi dolar. Itu akan menaikkan belanja bunga utang," kata Didin.
Pelemahan rupiah, kata Didin, akan menciptakan sentimen negatif di pasar modal. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) akan terdampak langsung dan bisa anjlok.
Sepanjang Januari hingga 6 Maret 2025, aliran modal asing yang keluar (capital outlow) sebesar Rp20,12 triliun. Angka ini belum termasuk potensi dampak dari kebijakan tarif Trump.
Industri TPT Paling Terdampak
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal memperkirakan sektor padat karya seperti pakaian jadi dan tekstil akan semakin terpuruk.
Menurutnya, tarif yang lebih tinggi itu akan memperlemah penetrasi produk Indonesia ke Amerika Serikat (AS). Padahal, separuh produk tekstil Indonesia diekspor ke AS.
Selama 2024 saja, nilai ekspor tekstil, mebel dan furnitur ke AS mencapai US$6 miliar, sedangkan dalam kurun waktu 5 tahun terakhir (2020–2024) nilai ekspornya tercatat sebesar US$30,4 miliar.
"Saat ini kondisi tekstil sedang berdarah-darah. Banyak industri yang sudah menutup pabriknya, menghentikan karyawannya, ada relokasi. Dengan tarif AS ini tentu semakin menekan tingkat penjualan dan juga profitabilitas industri ini," ujar Faisal dalam keterangannya.
Menurut Didin, meningkatnya pengangguran akan berdampak langsung pada melonjaknya angka kemiskinan di Indonesia dan berpotensi menciptakan situasi yang berbahaya pada sisi sosial, politik dan keamanan.
"Jadi jangan dianggap oleh pemerintah maupun oleh elite business bahwa ini seolah-olah hanya berdampak di pusaran modal pasar uang. Enggak menurut saya, tapi bisa hingga menyentuh seluruh lapisan masyarakat," katanya.
Christiantoko pun menyerukan pemerintah Indonesia untuk segera melakukan diplomasi, misalnya lewat Kedutaan Besar di Washington, untuk melobi dan memperjuangkan penurunan tarif atau bahkan pengecualian.
“Jangan sampai terlambat, saatnya diplomasi segera dilakukan. Karena masih ada waktu sebelum tarif diberlakukan penuh pada 9 April nanti,” pungkas Christiantoko.
Daya Beli Masyarakat Menurun
Ekonom Universitas Indonesia, Fithra Faisal melihat belanja masyarakat tertahan jelang lebaran karena porsi tabungan menipis akibat terhimpitnya ekonomi. Ditambah, banyak masyarakat masuk kategori rentan dan bahkan sudah menjadi korban PHK.
"Mereka cenderung menahan diri melihat situasi kedepan yang tidak terlalu baik," ungkap Fithra.
Untuk memperbaiki daya beli masyarakat, dia berharap pemerintah melakukan intervensi dari sisi pengeluaran masyarakat. Salah satunya adalah penangguhan iuran yang harus ditanggung masyarakat.
"Kalau dilihat dari pengeluaran kan pertama makanan, kedua itu perumahan, ketiga itu pajak dan iuran. Makanya kalau bisa iuran-iuran itu bisa ditangguhkan dulu. Misalnya, Iuran BPJS, pajak juga," ujarnya.
Dalam jangka menengah dan panjangnya, Fithra berharap industri Penyerap tenaga kerja di sektor formal diperkuat agar kelas menengah kembali bangkit. Seperti diketahui, kelas menengah merupakan penggerak konsumsi masyarakat.
Tekanan terhadap ekonomi bukan hanya dari faktor luar negeri saja, melainkan sudah didahului oleh tingkat konsumsi dalam negeri yang menurun. Mudik dan Lebaran tahun ini bisa menjadi salah satu indikator terjadinya pelambatan ekonomi di tanah air.
Berdasarkan survei Kementerian Perhubungan, potensi pergerakan pemudik mencapai 146,5 juta orang (52% dari total populasi) atau turun 20% dari prediksi tahun sebelumnya yang mencapai 193,6 juta orang.
Baca juga: Polemik Sniper di Jalur Mudik: Potret Antipati Publik terhadap TNI/Polri
Indikator lain bisa dilihat dari hasil survei Mandiri Spending Index (MSI) yang menunjukkan belanja masyarakat tertahan menjelang Lebaran 2025. Padahal, Ramadan dan libur Idul Fitri biasanya diikuti dengan peningkatan konsumsi secara signifikan.
“Kondisi pelemahan konsumsi ini perlu diwaspadai mengingat periode Ramadan dan libur Idul Fitri merupakan salah satu key driver pertumbuhan konsumsi rumah tangga,” tulis laporan Market Lens oleh Mandiri Institute, Rabu (3/4/2025).
Mandiri Institute melihat, konsumen cenderung defensif pada Ramadan 2025. Data MSI menunjukkan bahwa kenaikan belanja Ramadan 2025 jauh lebih lambat dibandingkan dua tahun sebelumnya.
Pada minggu kedua Ramadan 2025, belanja tumbuh 3,8% dibandingkan pra-Ramadan, jauh lebih rendah dibandingkan tahun 2023 dan 2024, yakni masing-masing sebesar 7,6% dan 4,6%.
Peluang yang Bisa Dimanfaatkan
Di tengah ancaman, Mohammad Faisal melihat ada peluang yang bisa dimanfaatkan Indonesia karena target utama tarif impor AS sebenarnya adalah China sebesar 34%, Vietnam 46%, Thailand 36%, Kamboja 49%, Bangladesh 37%, dan Sri Lanka 44%.
"Artinya, Indonesia bukan sasaran utama, tapi yang disasar adalah negara-negara kompetitor kita. Jadi kalau Indonesia jeli untuk melihat peluang ini, bisa mengambil pasar yang mereka justru kalah di situ," katanya.
Senada, Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti menilai Indonesia bisa mencontoh Vietnam saat perang dagang China-AS 2019, di mana mereka secara cerdik mensubtitusi produk China di AS dan memudahkan investasi asing masuk ke negaranya.
"Vietnam juga mempunyai fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) dan Bilateral Trade and Investment Framework Agreement (TIFA) dengan AS sejak 1994. Adapula potensi pelabelan ulang produk China di Vietnam," ungkap Esther kepada TheStanceID.
Walaupun tingkat kesamaan ekspor Indonesia dengan China ke AS relatif sedikit, kata Esther, ada beberapa produk yang bisa dimanfaatkan. "Indonesia dapat memperkuat posisinya sebagai penyedia bahan baku teknologi ramah lingkungan."
"AS masih membutuhkan produk lain seperti mineral, logam, dan barang konsumen. Indonesia mempunyai 10 komoditas utama ekspor seperti batubara, besi/baja, minyak kelapa sawit, bijih tembaga, nikel," katanya.
Didin S. Damanhuri menambahkan perlunya evaluasi menyeluruh atas program-program jangka pendek, menengah dan panjang.
"Anggaran-anggaran yang tidak berdampak untuk menghadapi jangka pendek ditunda dan dilakukan shifting untuk menciptakan stimulus ekonomi, bukan pengetatan, ke kalangan pelaku usaha, lebih khusus ke UMKM dan daerah," katanya.
Didin mengatakan, penyelamat ekonomi Indonesia pada krisis ekonomi 1998 dan 2008 adalah sektor UMKM, pertanian, dan ekonomi keluarga. Pemerintah harus memberi stimulus ke sektor ini guna menopang ekonomi Indonesia di kala perang dagang.
"MBG ini, masyarakat sudah bisa memaafkan. Yang sudah dilaksanakan Rp71 triliun, yang Rp100 triliun sebaiknya ditunda dulu dan dialihkan ke stimulus perekonomian untuk kalangan UMKM, daerah, pertanian, itu menjadi lebih prioritas," katanya. (est)
Untuk menikmati berita peristiwa di seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.