Polemik Sniper di Jalur Mudik: Potret Antipati Publik terhadap TNI/Polri
Pengamanan mudik kini dicurigai menyasar target lain: tak cuma jaga mudik tapi merepresi aksi demo.

Jakarta, TheStanceID - Demi mencegah kriminalitas selama arus mudik Lebaran, Kepolisian mengerahkan tim penembak jitu (sniper) ke jalanan. Di tengah protes masyarakat sipil dan turunnya jumlah pemudik, prosedur tahunan tersebut pun dicurigai.
Berdasarkan survei yang dilakukan Badan Kebijakan Transportasi Kemenhub bersama akademisi, jumlah pemudik Lebaran 2025 diperkirakan hanya 146,48 juta orang. Angka ini anjlok nyaris seperempat dari jumlah pemudik 2024 sebanyak 193,28 juta orang.
Penurunan tersebut semakin memperkuat dugaan bahwa sektor riil sedang tidak baik-baik saja, mengingat deflasi terjadi di awal tahun. Pada akhir Februari, Indeks Harga Konsumen (IHK) tercatat turun 0,48% secara bulanan.
"Komoditas utama penyebab deflasi Februari adalah diskon tarif listrik, daging ayam ras, cabai merah, tomat dan telur ayam ras," kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti dalam konferensi pers, Senin (3/3/2025).
Deflasi mengindikasikan bahwa harga barang-barang pokok mengalami penurunan, yang bisa mengindikasikan bahwa permintaan masyarakat turun.
Padahal, normalnya harga barang meningkat jelang Ramadan karena konsumsi terdongkrak.
Namun demikian, meski jumlah pemudik lebih sedikit, Kepolisian RI (Polri) tetap memberlakukan prosedur pengamanan ekstra di sepanjang jalur mudik.
Aparat bersenjata laras panjang, yakni Brigade Mobil (Brimob), dikerahkan. Demikian juga penembak jitu (sniper).
Dari Jawa Barat hingga Jawa Tengah
Polres Cianjur Jawa Barat menyatakan sudah menyiapkan tim penembak jitu di sejumlah titik-titik rawan kejahatan dan objek vital. Langkah ini dilakukan guna memastikan keamanan pemudik yang melintas di wilayah Cianjur.
Kapolres Cianjur AKBP Rohman Yonky Dilatha mengungkapkan, pihaknya telah memetakan lokasi-lokasi yang memiliki risiko tinggi terhadap aksi kriminalitas.
"Kami sudah menyiapkan personel Brimob, termasuk penembak jitu, di beberapa titik strategis yang dianggap rawan. Namun, perlu dipahami bahwa tidak ada tempat yang benar-benar bebas dari potensi tindak kejahatan," ujar AKBP Rohman Yonky Dilatha dalam keterangannya terkait pengamanan arus mudik Lebaran 2025, Selasa (25/3/2025).
Dia menjelaskan bahwa kepolisian telah menentukan titik-titik strategis bagi para penembak jitu, khususnya untuk menghadapi kejahatan berintensitas tinggi yang melibatkan senjata api.
"Lokasi penempatan tetap dirahasiakan demi efektivitas pengamanan. Namun, pengawasan akan difokuskan di pusat perkotaan serta jalur perlintasan mudik yang rawan tindak kejahatan," ungkapnya.
Selain menyiapkan tim penembak jitu, Polres Cianjur juga meningkatkan patroli di jalur utama dan jalur alternatif guna mencegah berbagai bentuk gangguan keamanan, termasuk aksi pencurian dengan kekerasan dan begal.
Pengerahan tim penembak jitu dalam rangka pengamanan arus mudik dan balik Lebaran 2025/1446 Hijriah juga dilakukan oleh Polres Purwakarta Jawa Barat dan Polres Karanganyar Jawa Tengah.
Senjata Laras Panjang
Gubernur Jawa Tengah Ahmad Luthfi juga mengeluarkan usulan yang menuai reaksi publik karena meminta personel TNI dan Polri yang bertugas mengamankan Lebaran 2025 dibekali senjata laras panjang.
Menurutnya, persenjataan ini diperlukan bagi aparat yang berjaga di titik strategis, lokasi vital, serta daerah dengan potensi gangguan keamanan saat arus mudik dan balik Lebaran.
Luthfi menilai langkah ini penting untuk mengantisipasi ancaman dari pelaku kejahatan, seperti begal hingga teroris, yang bisa mengganggu agenda mudik Lebaran.
"Tolong nanti Pak Kapolda dan Pak Pangdam, anggotanya dikasih striking force yakni anggota dibekali senjata laras panjang," ujar Ahmad Luthfi saat memimpin Rakor Forkopimda bertema "Menjaga Kondusivitas Wilayah Jateng Menyambut Hari Raya Idul Fitri, Mudik Lebaran, dan Arus Balik" di Gedung Gradhika Bhakti Praja, Senin (17/3/2025).
Mantan Kapolda Jateng itu menjelaskan bahwa aparat bersenjata laras panjang akan ditempatkan di lokasi strategis, seperti pusat keramaian dengan potensi kriminalitas tinggi hingga area masjid yang ramai dikunjungi pemudik.
Warganet pun mempertanyakan urgensi usulan tersebut. Salah satu akun Twitter, @AqsaDipta, mengomentari dengan nada satir di tengah maraknya penembakan polisi terhadap warga sipil tanpa prosedur yang benar.
“Baru pegang pistol udah tembak anak sekolah, pemilik mobil yang disewakan. Apalagi kalau di-upgrade jadi laras panjang, di mana ada ratusan ribu warga sipil yang berdesak-desakan di stasiun, di terminal, dan di rest area," ujarnya.
Publik Kian Antipati
Menurut catatan TheStanceID, prosedur pengamanan mudik dengan mengerahkan anggota Brimob bersenjata lengkap ke fasilitas transportasi umum dan di jalanan bukanlah hal yang baru.
Praktik ini sudah berjalan bertahun tahun bahkan sejak zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Saat itu, tidak ada polemik, kritik, atau penolakan masyarakat.
Namun tahun ini berbagai komentar negatif dan penolakan bermunculan di media sosial, menunjukkan bahwa ada gelombang ketidakpercayaan warga sipil terhadap aparat bersenjata TNI dan Polri.
Maklum saja, gelombang aksi protes mahasiswa dan koalisi masyarakat sipil sedang terjadi di berbagai daerah untuk menolak revisi UU TNI yang dinilai tidak transparan dan mengembalikan semangat Dwi Fungsi TNI.
Hal ini misalnya terlihat dari status akun @kangrozin yang mempertanyakan penggunaan kekuatan berlebihan untuk pengamanan mudik di tengah gencarnya aksi demo menolak revisi UU TNI dan UU Polri.
"Polisi berpakaian seperti tentara dari combat unit untuk pengawalan mudik, entah apa ancaman yang mau dihadapi. RUU Polri mungkin perlu, tapi agendanya harusnya adalah demiliterisasi polisi," ujarnya.
Status tersebut sejauh ini telah sebanyak 275.300 kali. Salah satu akun yang mengomentari menuding pengamanan ekstra tersebut berisiko dijadikan dalih mobilisasi pengendalian demo.
"Ngawasin pemudik aja pake AK-101 sama AN94, gw sih mikirnya ini biar gampang mobilisasi kalau ada kericuhan demo," tulis akun @dappasidap.
Potensi Extrajudicial Killing
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Iqbal Muharam Nurfahmi menyebut penempatan sniper dalam arus mudik sebagai langkah yang berlebihan, karena membuka ruang terjadinya extrajudicial killing.
“Pernyataan penempatan tim penembak jitu di lokasi-lokasi strategis selama periode mudik menunjukkan pendekatan yang tidak proporsional dalam menangani masalah keamanan,” kata Iqbal, dalam keterangan tertulisnya, Rabu (26/3/2025).
Di sisi lain, ada kekhawatiran terjadi pelanggaran HAM ketika aparat yang dibekali senjata laras panjang itu menggunakannya di luar prosedur dan bertentangan dengan upaya menciptakan keamanan yang berbasis pada perlindungan hak warga sipil.
Penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian sebenarnya telah diatur secara rinci dalam Peraturan Kepolisian Nomor 1 Tahun 2009 (Perkap 1/2009).
Peraturan ini menjadi pedoman bagi aparat kepolisian dalam pelaksanaan tindakan kepolisian yang memerlukan penggunaan kekuatan, sehingga terhindar dari penggunaan kekuatan yang berlebihan atau tidak dapat dipertanggungjawabkan.
“Kesimpulan dari ketentuan tersebut bahwa penggunaan kekuatan senjata api dalam tindakan kepolisian menjadi upaya yang paling terakhir (last resort) dan sifatnya adalah untuk melumpuhkan bukan mematikan,” jelasnya.
Iqbal menambahkan, setiap individu yang terlibat dalam tindak pidana atau menjadi tersangka memiliki hak untuk diadili dengan cara yang adil dan berimbang untuk menyampaikan pembelaan atas tuduhan yang dikenakan kepada mereka.
Bisa Jalankan Misi Terselubung
Iqbal mengingatkan hak-hak untuk diadili dan membela diri akan hilang jika tersangka pelanggar hukum tewas akibat penembakan di lapangan, yang mengakibatkan perkara tersebut menjadi gugur di pengadilan.
"Keamanan publik tidak dapat dicapai melalui intimidasi dan kekerasan, tetapi harus melalui penghormatan terhadap hak asasi manusia," ujarnya.
Tidak ada jaminan bahwa pembuktian akan berjalan dan pasukan yang dimaksudkan untuk mengamankan jalur mudik tersebut menjalankan misi lain, seperti merepresi gerakan sipil masyarakat yang saat ini aktif memprotes revisi UU TNI.
Untuk itu, pihaknya menuntut Kapolres Cianjur, Kapolres Purwakarta, dan Kapolres Karanganyar untuk mencabut rencana ini dan berkomitmen pada pendekatan yang manusiawi dan sesuai dengan prinsip perlindungan HAM dalam merespons ancaman tindak pidana.
"ICJR juga meminta Kapolri memanggil dan menindak tegas Kapolres Cianjur, Kapolres Purwakarta, dan Kapolres Karanganyar atas promosi kebijakan yang mengarah pada pembenaran extrajudicial killing," tegasnya.
Meningkatnya kekhawatiran akan terjadinya extrajudicial killing dalam prosedur pengamanan jalur mudik tahun ini mengirimkan sinyal jelas bahwa ketidakpuasan dan ketakpercayaan publik terhadap aparat penegak hukum sedang berada di titik ekstrim.
Terutama, di tengah aksi demonstrasi di berbagai tempat di Tanah Air untuk menolak revisi UU TNI yang "kebetulan" disahkan jelang mudik Lebaran. (est)
Untuk menikmati berita peristiwa di seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.