Senin, 04 Agustus 2025
Term of Use Media Guidelines

Hindari Royalti, Kafe Pilih Putar Suara Burung hingga Instrumental

Usai kasus pelanggaran hak cipta oleh Mie Gacoan Bali, banyak pengusaha kafe dan restoran tidak lagi memutar lagu komersial sebagai penambah suasana. Diganti suara burung, suara angin, suara gemericik air, hingga musik instrumental. Tujuannya biar gratis, tidak perlu bayar royalti. Tapi tren ini melemahkan ekosistem musik lokal dan tidak memberikan apresiasi kepada pemegang hak cipta.

By
in Pop Culture on
Hindari Royalti, Kafe Pilih Putar Suara Burung hingga Instrumental
Ilustrasi suasana kafe

Jakarta, TheStanceID – Kekhawatiran terhadap pelanggaran hak cipta kini mulai mengubah wajah industri kuliner, khususnya di wilayah Jabodetabek.

Sejumlah kafe dan restoran kini mulai mengganti lagu-lagu komersial dengan suara kicauan burung, gemericik air, hembusan angin di tengah hutan, hingga musik instrumental.

Ini dilakukan untuk menghindari kewajiban membayar royalti musik.

Keputusan ini diambil bukan tanpa pertimbangan. Gencarnya razia terkait pelanggaran hak cipta musik membuat banyak pemilik usaha memilih langkah aman dengan menghentikan total pemutaran lagu-lagu berlisensi.

Perlu diketahui, memutar lagu sebagai background suasana kafe termasuk pemutaran lagu yang sifatnya komersial. Pemilik kafe harus membayar royalti atas lagu yang diputar tersebut.

“Daripada bayar lisensi yang mahal atau digugat, kami ganti saja dengan suara alam. Ternyata, pelanggan malah merasa lebih rileks. Ada yang bilang seperti makan di tengah hutan tropis,” ujar salah satu pemilik kafe di kawasan Depok, Jawa Barat.

Tidak Boleh Sembarangan Putar Lagu

Maulana Yusran

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran mengatakan, pihaknya telah menyarankan para pemilik usaha kafe dan restoran untuk tidak memutar lagu jika tidak bersedia membayar royalti.

"Masyarakat harus tahu bahwa memutar lagu di tempat usaha, baik kecil maupun besar, ada cost-nya, ada biayanya," kata Maulana dalam keternagannya, Selasa (29/7/2025).

"Jadi jangan sembarangan putar lagu. Kalau memang enggak mau bayar, ya sudah enggak usah putar lagu. Pilihannya hanya begitu," tambahnya.

Maulana mengakui suasana kafe dan restoran kini memang berubah karena tidak lagi memutar lagu.

Tapi para pemilik kafe dan restoran tidak mau ambl risiko. Mereka tidak ingin mengikuti jejak bos Mie Gacoan Bali yang jadi tersangka.

Dampak Kasus Mie Gacoan Bali

Mie Gacoan

Kasus Mie Gacoan Bali adalah kasus fenomenal di dunia royalti lagu.

Pada 27 Juli 2022, Direktur Mie Gacoan Bali, I Gusti Ayu Sasih Ira, resmi ditetapkan sebagai tersangka.

Tindak pidananya, gerai Mie Gacoan yang dia kelola memutar lagu-lagu populer sebagai pemanis suasana tanpa bayar royalti. Itu dilakukan sejak tahun 2022.

Berdasarkan SK Menteri Hukum dan HAM RI Nomor HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016, tarif royalti bagi pengguna komersial musik dan lagu di sektor restoran ditentukan berdasarkan jumlah kursi.

“Tarif Royalti untuk bidang usaha jasa kuliner bermusik Restoran dan Kafe ditentukan tiap kursi per tahun, dengan ketentuan bahwa Royalti Pencipta sebesar Rp 60.000 per kursi per tahun dan Royalti Hak Terkait sebesar Rp 60.000 per kursi per tahun,” tertulis dalam aturan tersebut.

Artinya, total royalti yang harus dibayarkan pemilik usaha mencapai Rp 120.000 per kursi per tahun. Jika dikalikan dengan jumlah kursi di satu outlet, tagihan royalti bisa mencapai angka miliaran rupiah dalam setahun.

Dalam kasus Mie Gacoan Bali, total tagihan royalti yang seharusnya mereka bayar mencapai Rp7 miliar.

LMKN : Jangan Berkelit, Royalti Kita Terendah di Dunia

Dharma Oratmangun

Menanggapi hal ini, Ketua Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), Dharma Oratmangun, mengatakan, tidak ada alasan untuk takut membayar royalti, apalagi tarif yang diberlakukan di Indonesia tergolong sangat rendah dibandingkan negara lain.

“Royalti kita, tarif kita paling rendah di dunia. Jadi, bayar royalti itu bentuk kepatuhan hukum. Kalau mau berkelit, nanti kena hukum, itu saja jawabannya,” kata Dharma, Kamis (31/7/2025).

Ia juga menegaskan bahwa pelaku usaha tidak perlu mencari celah untuk menghindari kewajiban tersebut

“Jangan pakai ilmu berkelit untuk tidak bayar royalti, lalu mau pakai apa? Pakai musik sebanyak-banyaknya, tarif kita paling rendah,” tambahnya.

Selain itu, besaran tarif royalti juga sudah disesuaikan dengan kondisi usaha di Indonesia, termasuk pelaku UMKM.

DJKI : Pelaku UMKM Bisa Ajukan Keringanan Biaya Royalti

Agung Damarsasongko

Direktur Hak Cipta dan Desain Industri Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI), Agung Damarsasongko, menjelaskan bahwa kafe, restoran, hotel, pusat kebugaran, dan pusat perbelanjaan, memang wajib membayar royalti atas pemutaran musik di ruang publik.

Regulasi ini mengacu pada Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.

Menurutnya, banyak pelaku usaha yang belum memahami perbedaan antara penggunaan musik untuk kepentingan pribadi dan untuk tujuan komersial.

Memutar lagu, meski dilakukan dari layanan streaming pribadi seperti Spotify atau YouTube di kafe atau tempat usaha lainnya, tetap dikategorikan sebagai penggunaan musik untuk aktivitas komersial.

“Musik yang diputar di restoran atau ruang publik lainnya adalah bentuk komunikasi pertunjukan kepada publik. Itu bukan konsumsi pribadi, dan karenanya wajib membayar royalti sesuai dengan ketentuan yang sudah diatur,” ujar Agung dikutip dari laman resmi DJKI.

Pengusaha Pilih Tidak Putar Lagu di Kafe

Kecenderungan pengusaha untuk tidak memutar lagu d kafe sebenarnya termasuk mengejutkan.

Setelah kasus Mie Gacoan Bali, sebenarnya ada harapan bahwa pengusaha kafe atau restoran mulai tertib membayar royalti lagu.

Tidak disangka, mereka justru menghindari penggunaan lagu lagu komersial.

Sebagai gantinya, mereka memutar suara alam seperti kicauan burung, desiran angin, atau gemericik air untuk menciptakan suasana tenang dan bebas royalti.

Agung mengatakan memahami kekhawatiran para pelaku usaha. Namun, memutuskan tidak memutar lagu-lagu Indonesia demi menghindari royalti bukanlah keputusan bijak.

“Itu justru akan melemahkan ekosistem musik lokal dan tidak memberikan apresiasi kepada pencipta/pemegang hak cipta," ungkapnya dalam keterangan resmi di DJKI.

Terkait adanya opsi seperti memutar musik instrumental tanpa lisensi atau lagu-lagu dari luar negeri, Agung mengingatkan bahwa pelaku usaha tetap harus bersikap waspada. Sebab, tidak semua musik instrumental bebas dari perlindungan hak cipta.

"Beberapa lagu yang diklaim 'no copyright' justru bisa menjerat pelaku usaha dalam pelanggaran apabila digunakan tanpa verifikasi sumber. Termasuk lagu luar negeri jika mereka dilindungi hak cipta, kewajiban royalti tetap berlaku,” katanya.

Agung pun menyarankan bagi pelaku usaha yang belum memiliki anggaran untuk membayar royalti, ada beberapa pilihan yang bisa diambil.

Beberapa di antaranya adalah menggunakan musik bebas lisensi (royalty-free), lagu berlisensi Creative Commons yang mengizinkan penggunaan komersial, memutar karya musik ciptaan sendiri, hingga menjalin kerja sama langsung dengan musisi independen yang bersedia memberikan izin secara cuma-cuma.

Agung juga memastikan bahwa aturan royalti sebenarnya tidak selalu dipukul rata, terutama untuk pelaku usaha di sektor UMKM.

Dia meminta pelaku UMKM tak perlu khawatir terkait biaya royalti. Sebab, ada mekanisme keringanan hingga pembebasan tarif royalti yang dapat diterapkan, tergantung pada luas tempat usaha, kapasitas pengunjung, serta sejauh mana musik tersebut digunakan dalam kegiatan operasional.

"Kami mendorong pelaku UMKM untuk mengajukan permohonan keringanan secara resmi agar terlindungi secara hukum dan ikut mendukung ekosistem musik dalam negeri,” katanya. (est)

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance.

\