Senin, 04 Agustus 2025
Term of Use Media Guidelines

RUU KUHAP: Mengejar Waktu, Cenderung Mengorbankan Substansi

RKUHAP memberikan kewenangan tanpa batas pada penyidik, termasuk penyidik dari unsur TNI, memungkinkan tersangka "menolak" pendampingan hukum dan tak wajib didampingi pengacara. Pemerintah dan DPR ngotot mengesahkan RUU KUHAP akhir tahun, jelang implementasi UU KUHP baru.

By
in Headline on
RUU KUHAP: Mengejar Waktu, Cenderung Mengorbankan Substansi
Seorang demonstran membawa poster penolakan RKUHAP yang dinilai memberi kewenangan terlalu luas bagi penyidik. (Sumber: https://www.instagram.com/bangsamahardika/)

Jakarta, TheStanceID - Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau RUU KUHAP yang kini dibahas di DPR dikejar agar rampung sebelum masa sidang berakhir.

Namun di balik semangat produktivitas itu, muncul kekhawatiran akan kualitas substansi yang belum teruji secara mendalam.

Apakah ribuan pasal dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) benar-benar telah dibahas tuntas, mengingat kesalahan kecil dalam Revisi KUHAP (RKUHAP) akan berimbas pada masyarakat luas yang menjadi obyek hukum?

Pada 8 Juli 2025, Komisi III DPR menggelar pembahasan perdana RUU KUHAP, dengan agenda penyerahan DIM dari pemerintah kepada Komisi III DPR RI.

"Drafnya [jadwal] ini nanti kita sepakati hari ini, tapi sesuai situasi pasti akan dinamis nanti pastinya kalau soal jadwal kan, siapa tahu bisa lebih cepat. Lebih cepat lebih baik,” ujar Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, di kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (8/7/2025).

Ia menilai UU KUHAP yang sudah berusia 44 tahun perlu direvisi dan diperbarui demi mengikuti perkembangan jaman dan kurang relevan dalam melindungi hak warga negara yang berhadapan dengan hukum.

Panitia Kerja (Panja) sudah dibentuk, oleh Komisi III dan naskah RUU sudah masuk ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 demi menyesuaikan UU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mulai berlaku pada Januari 2026.

"RUU KUHAP merupakan upaya nyata kita bersama dalam rangka menciptakan supremasi hukum dengan melakukan pembaharuan hukum acara pidana nasional menuju sistem peradilan pidana terpadu yang profesional dan akuntabel," katanya.

Wajib Selesai Tahun Ini

Edward OS Hiariej

Wakil Menteri Hukum Edward OS Hiariej menekankan pembahasan RUU KUHAP wajib diselesaikan tahun ini. “Mau tidak mau, suka tidak suka, bahkan senang atau tidak senang, RUU KUHAP harus disahkan pada 2025,” tuturnya pada Mei 2025.

Pasalnya, RUU KUHAP memiliki implikasi signifikan terhadap KUHP. Dia mengaku memahami alasan RUU KUHAP dikebut 2 hari dengan membahas 130 dari 1.676 DIM.

Setidaknya ada dua isu yang menjadi sorotan dan perlu diklarifikasi. Pertama, pandangan yang menyebut pemerintah dan DPR menyelesaikan pembahasan DIM RUU KUHAP dalam waktu 2 hari.

Ia mengeklaim dari 1.676 poin di DIM sebanyak 1.091 DIM bersifat tetap dan tidak dibahas karena pemerintah menyetujui usulan DPR. Sebanyak 295 DIM hanya memuat perbaikan redaksional tanpa perubahan substansi, sehingga tidak dibahas lebih lanjut.

Selain itu, 91 DIM dihapus karena dianggap berulang, dan sekitar 200 DIM dipindahkan posisinya demi menyusun struktur yang lebih sistematis. Dengan demikian, hanya sekitar 130 DIM yang benar-benar dibahas antara pemerintah dan DPR.

“Jadi yang perlu di clear-kan kepada publik dalam 2 hari bukan membahas 1.676 DIM, tapi 130 DIM saja,” katanya dalam sebuah diskusi RKUHAP, Jumat (25/07/2025).

Kedua, kritikan mengenai kurangnya partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation). Eddy menegaskan bahwa pembahasan RKUHAP tak hanya berlangsung 2 hari.

Prosesnya dimulai sejak 19 Maret 2025, saat Kementerian Hukum dan HAM serta Kementerian Sekretariat Negara menerima surat Presiden Prabowo Subianto yang menugaskan pembahasan RUU tersebut.

Undangan Mendadak

M Isnur - YLBHI

Sekitar 1 minggu setelah surat Presiden diterima, pemerintah mengundang 15 pakar untuk memberikan pandangan. Hingga 28 Mei 2025, telah dilakukan 5 pertemuan yang melibatkan berbagai kalangan, termasuk organisasi masyarakat sipil dan para ahli.

Selain itu, pada 28 Mei 2025, fakultas hukum dari berbagai perguruan tinggi juga diundang mengikuti rapat secara daring. Eddy menegaskan, meskipun masukan telah dihimpun dari banyak pihak, bukan berarti seluruhnya bisa dimasukkan ke draf RKUHAP.

Ketua Umum Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhamad Isnur mengaku diundang membahas RKUHAP, tetapi undangan sangat mendadak pada Minggu 20 Juli 2025 melalui pesan whatsapp.

Dia dan anggota koalisi masyarakat sipil memutuskan menghadiri Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Komisi III DPR, dan melihat belum ada perubahan fundamental terhadap perubahan hukum acara yang lebih baik di naskah RUU per 11 Juli 2025.

Salah satu hal yang mendasar, kata dia, adalah tidak seriusnya aturan penguatan advokat dan hak atas bantuan hukum bagi masyarakat miskin dan kelompok marginal, dan pencegahan praktik penyalahgunaan wewenang.

Demikian juga terkait pelanggaran hukum dan HAM seperti penyiksaan, kriminalisasi, salah tangkap, rekayasa kasus, maupun urgensi penguatan mekanisme pengawasan dan akuntabilitas upaya paksa penyidik.

“Berkaitan dengan hal itu, pimpinan dan anggota Komisi III DPR RI menyampaikan komitmennya untuk tidak tergesa-gesa mengesahkan RKUHAP, akan transparan, membuka ruang pembahasan kembalis secara substansi,” tegas Isnur melalui keterangan tertulis The Stance.

Catatan Kritis YLBHI

YLBHI memberikan beberapa poin penting terkait RUU KUHAP. Pertama, proses penyusunan RKUHAP tergesa-gesa, sehingga mengabaikan prinsip konstitusi dan partisipasi publik yang bermakna.

“YLBHI mendesak DPR untuk betul-betul membuka ruang partisipasi publik yang tulus dan bermakna serta mempertimbangkan secara serius seluruh masukkan dan kritik dari YLBHI, akademisi, masyarakat sipil, dan berbagai organisasi lainnya, termasuk mendengar suara warga yang selama ini menjadi korban proses hukum yang buruk,” tegasnya.

Kedua, penguatan advokat dalam RKUHAP belum maksimal dan serius. Dalam Pasal 141 (poin E dan J) RKUHAP, advokat diberikan akses terhadap bukti dan berkas perkara atau pretrial discovery rights.

Akan tetapi, tidak dijelaskan secara konkrit bagaimana pengujian dan penegakan hukumnya apabila bukti-bukti tidak diberikan: bagaimana bila terdapat pelanggaran dalam proses pemeriksaan tersangka, bagaimana jika advokat ingin menolak proses?

“Bila tidak ada mekanismenya, maka pengaturan tersebut akan sulit untuk dijalankan. Selain itu, terdapat ketimpangan untuk menyanggah pembuktian dalam persidangan bagi advokat dibandingkan dengan aparat penegak hukum lain. Hak imunitas bagi advokat dan pemberi bantuan hukum penting untuk dijamin,” tegasnya.

Advokat, tegas Isnur, tak boleh dituntut baik pidana ataupun perdata atas tindakan pendampingan yang dilakukan advokat dengan itikad baik.

Baca Juga: Pakar: Sempat Tutupi Penembakan Gamma, Institusi Polri Mendesak Direformasi

Selain itu, YLBHI juga menyoroti hak atas bantuan hukum bagi tersangka, terdakwa, saksi, dan korban yang belum dijamin secara eksplisit dalam RKUHAP.

Termasuk adanya masalah bantuan hukum dan penunjukan advokat oleh penyidik. Pasal 134 (poin C) RKUHAP menyebutkan bahwa penyidik dapat menunjuk pengacara jika tersangka tidak mampu dan tidak punya kuasa hukum. Artinya, tidak wajib.

Melegitimasi Praktik Buruk

Ketiga, RKUHAP melalui Pasal 146 (ayat 4) melegitimasi praktik buruk yang selama ini dialami tersangka, yaitu adanya klausul yang memungkinkan tersangka menandatangani berita acara penolakan pendampingan advokat.

Dengan mencantumkan bahwa tersangka bisa menandatangani pernyataan menolak didampingi pengacara, RUU ini seolah-olah menyetujui bahwa pendampingan hukum bisa dilepas begitu saja.

Keempat, RKUHAP memberikan kewenangan tanpa batas pada penyelidik. Menurut Pasal 5, penyelidik bisa melakukan tindakan lain menurut hukum tanpa penjelasan.

Kemudian, Pasal 16 RKUHAP menyatakan bahwa pembelian terselubung (undercover buy) dan penyerahan di bawah pengawasan (controlled delivery) sebagai metode penyelidikan.

“Padahal, penyelidikan adalah tahapan mencari ada atau tidaknya tindak pidana. Hal ini dikhawatirkan menyebabkan adanya penjebakan serta membuka banyak ruang bagi diskresi,” ujarnya.

Kelima, YLBHI juga menyoroti pemberian kewenangan besar kepada penyidik Polri karena ditetapkan menjadi penyidik utama yang membawahi penyidikan pegawai negeri sipil (PPNS) dan Penyidik Tertentu (“Kepolisian Superpower”).

“Ketentuan ini berbahaya sebab berpotensi untuk menghambat efektivitas penyidikan yang berbasis keahlian teknis yang dilakukan oleh Penyidik PPNS,” tuturnya.

Keenam, RKUHAP juga memberikan kewenangan bagi Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjadi penyidik. Pasal 7 (ayat 5) dan Pasal 20 (ayat 2), membuka ruang bagi TNI untuk menjadi penyidik tindak pidana umum dan melakukan upaya paksa.

“Pelibatan TNI sebagai penyidik kasus pidana umum potensial menormalisasi kesewenang-wenangan aparat penegak hukum. Pelanggaran HAM bisa terjadi dalam urusan penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan, penetapan tersangka,” ujarnya.

Disahkan Desember 2025

HabiburokhmanHabiburokhman mengeklaim pengesahan RUU KUHAP tidak akan dilakukan secara tergesa-gesa. Menurutnya, draf final baru disahkan setelah seluruh masukan dari berbagai pemangku kepentingan dikaji dan dipertimbangkan secara menyeluruh.

DPR sebelumnya telah menargetkan agar pembahasan RUU KUHAP dapat rampung pada tahun ini. Anggota III DPR RI Fraksi PKS Nasir Djamil menegaskan RUU tersebut diharapkan dapat disahkan pada akhir Desember 2025.

“Ya rencananya nih akan disahkan itu tanggal 31 Desember 2025. Kenapa? Karena hukum acara pidana kita yang sekarang ini berlaku itu juga disahkan pada 31 Desember. Mudah-mudahan bisa terwujud seperti itu,” ujar Nasir di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (6/5/2025).

Meskipun draf RKUHAP sudah berada di tim perumus dan tim sinkronisasi, YLBHI mengaku skeptis RKUHAP akan memperbaiki aturan yang berorientasi mencegah korban perlakuan hukum yang salah karena para korban tidak pernah dilibatkan.

Dengan berbagai catatan kritis, Isnur mendesak DPR dan pemerintah membuka kembali ruang partisipasi publik yang lebih luas dan bermakna dalam pembahasan RKUHAP, serta tidak terburu-buru mengesahkannya tanpa menjawab masalah substansial yang menyangkut hak warga negara dan prinsip negara hukum.

Dia berkomitmen mengawal proses pembahasan RKUHAP dan melakukan pendidikan publik, aksi demonstrasi, serta membangun gerakan sosial lainnya sebagai bagian dari partisipasi publik.

Dengan tenggat waktu yang kian mendekat, publik perlu memahami bahwa substansi RUU KUHAP harus benar-benar mencerminkan prinsip-prinsip keadilan dan perlindungan hak asasi manusia (HAM), dan tak sekadar kejar target selesai. (par)

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance.

\