Jakarta, TheStance – Kebebasan pers di Indonesia kembali diuji menyusul gugatan Menteri Pertanian Amran Sulaiman terhadap penerbit Tempo, dengan menuntut ganti rugi senilai Rp200 miliar.

Gugatan yang ditujukan kepada PT Tempo Inti Media Tbk itu dinilai sebagai upaya pemiskinan media dan pembungkaman pers.

Konsorsium Jurnalisme Aman (JA) yang terdiri dari Yayasan Tifa, Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN), dan Human Rights Working Group (HRWG) menilai gugatan itu mengancam kemerdekaan pers dan ruang demokrasi di Indonesia.

Konsorsium juga menyoroti beredarnya surat instruksi internal Kementerian Pertanian (Kementan) yang memerintahkan Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk melakukan serangan digital terhadap konten Tempo di kanal YouTube-nya.

Instruksi internal di Kementan itu berupa perintah ASN diwajibkan untuk memberikan dislike serta melaporkan video yang diunggah Tempo dengan keterangan ‘misinformasi’ dan ‘hatespeech’.

Selain itu ditemukan juga perintah membanjiri kolom komentar dengan narasi keberhasilan Kementan. Konsorsium Jurnalisme menilai tindakan-tindakan itu bentuk sistematis upaya membungkam kritik dan juga penyalahgunaan wewenang.

“Ketika gugatan bernilai fantastis disertai instruksi kepada ASN untuk menyerang produk jurnalistik, itu bukan lagi sengketa biasa, melainkan bentuk tekanan negara yang terencana,” kata Direktur Eksekutif PPMN Fransiska Ria Susati dalam keterangan resmi, Jumat (31/10/2025).

Kasus Amran vs Tempo

cover tempo

Gugatan yang dilayangkan Amran bermula dari poster Tempo edisi 16 Mei 2025 berjudul “Poles-poles Beras Busuk”. Poster ini menjadi pengantar ke dalam artikel “Risiko Bulog Setelah Cetak Rekor Cadangan Beras Sepanjang Sejarah”.

Pemberitaan berjudul “Poles-Poles Beras Busuk” serta poster di media sosial ini kemudian memantik reaksi Amran yang menganggap mencoreng citra lembaga dan memuat pelanggaran etika jurnalistik.

Dewan Pers kemudian memutuskan bahwa poster Tempo melanggar Kode Etik Jurnalistik, yaitu Pasal 1 mengenai akurasi serta Pasal 3 tentang pencampuran fakta dengan opini.

Dewan Pers merekomendasikan Tempo mengubah konten yang dipermasalahkan, mengelola komentar publik lebih ketat, dan menyampaikan permintaan maaf kepada masyarakat, dan melaporkan hasil rekomendasi ke Dewan Pers dalam waktu 3x24 jam.

Tempo sendiri kemudian mengganti judul poster menjadi “Main Serap Gabah Rusak” pada 19 Juni 2025.

Namun, Kementan menilai langkah koreksi tersebut belum sepenuhnya memulihkan kerugian reputasi yang dialami, sehingga jalur hukum tetap ditempuh. Di titik inilah Amran menuai kritik.

Direktur Eksekutif HRWG, Daniel Awigra, mengatakan Konsorsium JA juga mengecam surat instruksi di internal Kementan yang menggunakan ASN untuk kepentingan pembentukan opini.

“Menggerakkan ASN untuk menyerang produk jurnalistik adalah pelanggaran serius terhadap etika pemerintahan dan prinsip kebebasan berekspresi. Negara seharusnya menjamin kemerdekaan pers, bukan mengorganisir pembungkamannya,” kata dia.

Baca Juga: Media Direpresi dalam Liputan Demonstrasi 25 Agustus

Atas dasar itu, Konsorsium JA menuntut empat hal, sebagai berikut:

  1. Pencabutan gugatan Rp200 miliar terhadap Tempo dan penghentian segala bentuk tekanan hukum terhadap media;

  2. Pencabutan segera surat instruksi internal Kementerian Pertanian yang memerintahkan ASN untuk menyerang konten media;

  3. Penegakan prinsip netralitas ASN dan penghormatan terhadap kebebasan pers;

  4. Komitmen pemerintah untuk memastikan jurnalisme dapat bekerja tanpa ancaman hukum, politik, atau digital.

Lebih lanjut, Konsorsium Jurnalisme Aman pun menyerukan kepada pemerintah dan publik untuk tidak membiarkan praktik ini menjadi normal baru dalam relasi antara negara dan pers.

“‎Kebebasan pers adalah hak publik untuk tahu. Jika media dibungkam dengan gugatan dan tekanan politik, maka yang dirampas bukan hanya suara Tempo tapi juga hak publik atas kebenaran,” tegas Daniel.

Kementan Bantah Kriminalisasi Pers

Sementara itu, Kementan menegaskan bahwa langkah hukum tersebut tidak dimaksudkan untuk membatasi kebebasan pers atau membungkam kritik publik.

Menurut Kementan, setiap media memiliki tanggung jawab moral dan profesional untuk menyajikan informasi secara akurat, proporsional, dan tidak mencampur fakta dengan opini.

Mereka juga membantah tudingan bahwa gugatan Rp200 miliar itu untuk menghancurkan Tempo secara finansial. Hal ini dibuktikan bahwa dalam petitumnya, Kementan tak meminta sita jaminan terhadap aset Tempo agar operasional tetap berjalan.

Jalur hukum dipilih sebagai opsi lanjutan setelah rekomendasi dinilai tidak sepenuhnya dijalankan.

“Langkah ini bukan bentuk kriminalisasi pers, melainkan upaya mencari keadilan atas pelanggaran etika jurnalistik yang nyata,” demikian penjelasan resmi Kementan.

Meski menimbulkan pro dan kontra, Kementan menegaskan pihaknya tetap menghormati pers sebagai pilar demokrasi. Namun kebebasan pers, menurut Kementan, harus berjalan seiring dengan tanggung jawab etis agar tidak menyesatkan masyarakat.

“Kami mendukung pers yang kritis, tetapi kritis yang berdasar data dan fakta, bukan opini yang membingungkan publik,” tegas pernyataan Kementan.

Dewan Pers Sesalkan Gugatan Menteri Amran

Komarudin Hidayat - Dewan pers

Sebelumnya, Ketua Dewan Pers, Komaruddin Hidayat, menyayangkan tindakan hukum yang ditempuh Amran dalam penyelesaian permasalahan pemberitaan dengan Tempo.

"Saya menyayangkan, mengapa mesti sampai ke ruang pengadilan," kata Komaruddin dalam keterangannya, Selasa (16/9/2025).

Sengketa antara Kementerian Pertanian dan Tempo pun telah diupayakan penyelesaiannya sesuai Undang-Undang Pers (UU Pers) No. 40/1999.

Kedua belah pihak sudah melakoni mediasi yang difasilitasi Dewan Pers. Dewan Pers juga telah menerbitkan Pernyataan, Penilaian, dan Rekomendasi (PPR) pada Juni lalu.

Lima poin dalam rekomendasi itu adalah mengganti judul di poster yang diunggah di akun Instagram Tempo. Lalu, menyatakan permintaan maaf dan melakukan moderasi konten.

Sisa poin lainnya berisi soal Tempo mesti melaporkan kembali ke Dewan Pers bahwa telah melaksanakan rekomendasi tersebut "Semula saya berharap, jika terjadi sengketa produk jurnalistik cukup dimediasi dan berakhir damai di Dewan Pers."

Sikap Pejabat Tidak Taat Hukum

Nany Afrida

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Nany Afrida, menegaskan bahwa Menteri Amran harus mematuhi UU Pers, yang mengamanahkan secara tegas soal sengketa pers merupakan ranah Dewan Pers.

Oleh karenanya, putusan Dewan Pers termasuk rekomendasi di dalamnya mesti dimaknai bersifat final.

Gugatan hukum yang diajukan justru menunjukkan sikap pejabat negara yang tidak taat hukum, sekaligus menjadi ancaman serius bagi kebebasan pers dan demokrasi di Indonesia.

"Tindakan ini bisa menjadi preseden buruk yang membuka jalan bagi kriminalisasi media, padahal UU Pers sudah memberikan mekanisme penyelesaian yang jelas," kata Nany dalam keterangannya.

AJI Indonesia pu mendesak Amran menarik gugatan tersebut, serta mengingatkan seluruh pejabat publik agar menjunjung tinggi kebebasan pers sebagai pilar demokrasi.

Menurut Nany, kerja-kerja jurnalistik makin hari makin mendapat tekanan, seiring banyaknya gugatan atas produk jurnalistik yang kerap juga dipermasalahkan pejabat negara.

"Ada keinginan untuk membungkam pers," kata Nany. (est)

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance