Peluang dan Ancaman Perang Tarif AS-China: Siapa Untung, Siapa Rugi?
Waspadai produk ‘tak bertuan’ yang cari pasar baru, dari China (senilai US$460 miliar) & AS (US$200 miliar).

Oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies), akademisi yang mengawali karir di Institut Bisnis Indonesia (IBII), peraih gelar Magister Ekonomi Bisnis dari Erasmus University Rotterdam (Belanda) dan gelar profesional di bidang akuntansi manajemen dari Institute of Certified Management Accountants (Amerika Serikat).
Perang tarif antara Amerika Serikat (AS) dan China semakin tajam. Hanya dalam satu hari, atau hitungan jam, AS-China saling balas kenaikan tarif impor.
Posisi saat ini, tarif impor produk China ke AS dikenakan tarif 125%. Sebaliknya, produk AS ke China dikenakan tarif 84%. berlaku seketika.
Dengan tarif impor sebesar itu, dan tidak ada tanda-tanda kompromi, praktis hubungan dagang AS-China akan terputus.
Kedua negara tidak mungkin bisa berdagang lagi. Kemahalan. Seandainya pun ada pihak yang nekat impor, produk tersebut tidak akan laku. Konsumen akan mencari barang sejenis, barang substitusi, yang lebih murah.
Di lain sisi, AS menunda masa berlaku tarif impor resiprokal bagi semua negara lainnya selama 90 hari.
Pertanyaannya, apa konsekuensi dari terputusnya hubungan dagang AS-China tersebut bagi ekonomi dunia, bagi negara-negara lainnya, dan khususnya bagi Indonesia? Dan bagaimana Indonesia harus menyikapi atau mengantisipasi kondisi ini?
Nilai transaksi perdagangan AS-China mencapai sekitar US$660 miliar pada 2024: AS mengimpor produk China sekitar US$460 miliar, sedangkan China mengimpor produk AS senilai US200 miliar. AS mengalami defisit sekitar US$260 miliar, tahun lalu.
Putusnya hubungan dagang kedua negara tersebut pasti membawa konsekuensi besar terhadap tatanan ekonomi dunia. Pertanyaannya, negara mana yang akan diuntungkan, atau dirugikan?
India Menang Besar
Sebagai gambaran, total perdagangan sebesar US$662 miliar hampir setara dengan separuh Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Atau sekitar 3,5 kali lipat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia. Jumlah yang sangat besar.
Putusnya hubungan dagang AS-China bagaikan pedang bermata dua bagi negara-negara lain. Sisi peluang dan sisi ancaman. Di satu sisi, akan ada negara diuntungkan, di lain sisi akan ada negara dirugikan.
Importir AS, seperti Walmart, akan mencari substitusi pemasok baru di negara lain. Importir China juga akan mencari pemasok baru pengganti produk AS. Total keseluruhan senilai US$662 miliar.
Baca Juga: Prabowo Pilih Negosiasi dengan Trump, Keran Impor Dibuka, TKDN Dilonggarkan
Untuk sementara ini, India mempunyai posisi cukup strategis untuk menggantikan produk China. Sebagai contoh, India sudah ekspor ke Walmart, peritel terbesar AS (dan dunia) dalam jumlah cukup besar.
Impor Walmart AS dari India naik signifikan, dari sekitar 2% (2018) menjadi sekitar 25% (2023) dari total kebutuhannya. Impor dari India bervariasi dari produk mainan, elektronik, sepeda, farmasi, serealia (biji-bijian), dan lainnya.
Meskipun China masih menjadi pemasok terbesar Walmart saat ini, tetapi porsinya turun cukup signifikan, dari 80% (2018) menjadi 60% (2023).
Sebagai informasi, total penjualan Walmart AS sekitar US$450 miliar tahun lalu. Selain itu, India juga menjadi pemasok penting bagi Amazon, kompetitor Walmart.
Amazon memperkirakan, impor dari India bisa mencapai US$20 miliar pada 2025. Dengan adanya disrupsi perang tarif AS- China, kemungkinan besar perkiraan ini akan terlampaui.
Vietnam Bisa Untung, Indonesia Waspada
Selain India, Vietnam juga mempunyai posisi cukup strategis di pasar AS. Total ekspor Vietnam ke AS sekitar US$150 miliar pada 2024. Indonesia hanya US$38,3 miliar.
Impor barang elektronik seperti smartphone (iPhone, Samsung) sangat mungkin sekali beralih ke Vietnam (dan India).
Kalau skenario ini terjadi, tidak sulit bagi India dan Vietnam ‘menampung’ sebagian besar ekspor AS ke China yang ‘hanya’ US$200 miliar.
Di lain sisi, setiap negara di dunia harus waspada mendapat pengalihan produk ‘tidak bertuan’ yang sedang mencari pasar baru, dari China sekitar US$460 miliar dan dari AS sekitar US$200 miliar.
Dalam hal ini, Indonesia bisa menjadi sasaran empuk, khususnya bagi produk China seperti consumer goods, karena Indonesia mempunyai pasar sangat besar, dengan nilai PDB lebih dari US$1,3 triliun.
Indonesia juga harus waspada dari kemungkinan terjadi dumping. Periode 90 hari ke depan merupakan masa kritis, dapat menjadi penentu nasib masa depan kita, apakah akan menjadi pemenang atau pecundang.***
Untuk menikmati berita peristiwa di seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.