Senin, 04 Agustus 2025
Term of Use Media Guidelines

AS Kritik Pembayaran QRIS dan GPN, Usik Kedaulatan Keuangan Digital

Saat ini pengguna QRIS sudah mencapai 26 juta orang lebih, dan bisa digunakan di 9 negara, terutama ASEAN. Tapi Amerika menilai QIRS merugikan perusahaan-perusahaannya. Jadi salah satu isu dalam negosiasi tarif.

By
in Headline on
AS Kritik Pembayaran QRIS dan GPN, Usik Kedaulatan Keuangan Digital
Ilustrasi penggunaan QRIS

Jakarta, TheStanceID Proses negosiasi antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, terus berlangsung di tengah semakin memanasnya tensi perang dagang.

Indonesia sebenarnya dianggap pasar potensial oleh AS. Namun, AS mengeluhkan beragam kebijakan baik berupa tarif maupun non tarif, yang dianggap menghambat kepentingan mereka, hingga kemudian menjatuhkan tarif 32% terhadap impor barang asal Indonesia.

Yang menarik, sebelum Trump mengumuman tarif resiprokal, AS melalui Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) menerbitkan sebuah laporan berjudul: 2025 National Trade Estimate (NTE) Report on Foreign Trade Barriers of the President of the United States on the Trade Agreements Program, yang terbit pada 31 Maret 2025.

Laporan itu terbit dua hari sebelum Trump mengumumkan kebijakan tarifnya.

Laporan itu secara umum menyoroti kebijakan pemerintah di sejumlah negara yang dianggap bertentangan dengan kepentingan AS. Ada banyak negara yang disorot dalam laporan itu, salah satunya Indonesia.

AS Keluhkan Kebijakan QRIS dan GPN

Trump Tarif

Dalam laporan tersebut, AS menyoroti sejumlah kebijakan pemerintah Indonesia yang dianggap menghambat kepentingan perdagangan AS. Salah satunya, kebijakan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN).

USTR menyatakan perusahaan-perusahaan AS, termasuk penyedia layanan pembayaran dan bank, tidak diberi informasi yang cukup mengenai perubahan sistem QR tersebut dan juga tidak diberi ruang untuk menyampaikan pandangan atau masukan.

"Perusahaan-perusahaan asal AS khawatir karena tidak diberi informasi lebih awal mengenai perubahan kebijakan QR code, dan tidak dilibatkan dalam proses penyusunan sistem tersebut, termasuk dalam hal bagaimana sistem itu seharusnya bisa diintegrasikan dengan sistem pembayaran global yang sudah ada," tulis USTR dalam laporannya.

Untuk diketahui, QRIS diberlakukan melalui Peraturan BI Nomor 21 Tahun 2019 yang mewajibkan seluruh transaksi menggunakan QR code di Indonesia mengikuti standar nasional yang telah ditentukan.

Sistem ini bertujuan menyatukan berbagai layanan pembayaran QR agar lebih efisien dan seragam secara nasional.

Namun, menurut USTR, kebijakan ini justru menyulitkan perusahaan asing karena tidak dirancang kompatibel dengan sistem pembayaran internasional.

Laporan itu juga menyinggung kebijakan terbaru BI yang diberlakukan pada Mei 2023, yakni mewajibkan transaksi dengan kartu kredit pemerintah diproses melalui sistem GPN dan menggunakan kartu kredit lokal.

Baca juga: Presiden Trump, Darah Proteksionistis Kaum Republiken, dan Perang Tarif

Kebijakan ini dianggap dapat semakin mempersempit penggunaan layanan pembayaran internasional, khususnya dari perusahaan asal AS.

"Perusahaan pembayaran asal AS khawatir, kebijakan baru ini akan membatasi penggunaan layanan pembayaran elektronik dari Amerika di Indonesia," tulis USTR.

Secara keseluruhan, AS menilai arah kebijakan sistem pembayaran Tanah Air, termasuk pengembangan QRIS, menunjukkan kecenderungan yang protektif dan semakin tertutup terhadap pelaku usaha asingl.

Pemerintah AS berharap agar ke depan, pemerintah Indonesia dan BI lebih terbuka terhadap masukan dari pelaku industri internasional guna menciptakan sistem pembayaran yang lebih terintegrasi dan kompetitif secara global.

Respon Bank Indonesia

Destry Damayanti

Menanggapi keluhan AS soal sistem pembayaran QRIS dan GPN yang dinilai merugikan mereka, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI), Destry Damayanti, enggan menjawab secara spesifik saat ditanya terkait hal tersebut.

Dia hanya menekankan bahwa pada dasarnya, implementasi Quick Response Code Indonesian Standard alias QRIS antarnegara tergantung kesiapan masing-masing negara.

“Tapi intinya, QRIS ataupun fast payment lainnya kerja sama kita dengan negara lain itu memang sangat tergantung dari kesiapan masing-masing negara. Jadi kita tidak membeda-bedakan kalau Amerika siap, kita siap, kenapa enggak?” ujar Destry dalam keterangannya, Senin (21/4/2025).

Ia juga memastikan bahwa sistem pembayaran asal AS, yakni Visa maupun Mastercard masih mendominasi pembayaran di Indonesia, meski Indonesia memiliki QRIS maupun Gerbang Pembayaran Nasional (GPN).

“Sekarang pun kartu kredit yang selalu diributin, Visa, Mastercard, masih dominan, jadi itu enggak ada masalah sebenarnya,” tuturnya.

Saat ini, kata Destry, Indonesia tengah memperluas penggunaan QRIS antarnegara yang memungkinkan transaksi menggunakan mata uang lokal.

Setidaknya WNI yang berada di negara Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina, Vietnam, Laos, Brunei Darussalam, Jepang, Korea Selatan sudah dapat berbelanja menggunakan QRIS, begitupun sebaliknya.

Warganet Dukung QRIS Dipertahankan

QRIS BCA

Meski dikeluhkan Amerika Serikat, warganet Indonesia justru menyuarakan dukungan dan pembelaan terhadap sistem pembayaran karya anak bangsa ini.

"Kalau sampai GPN dan QRIS yang bikin Indonesia 🇮🇩 berdikari dikorbanin demi 'yes sir, thank you sir' sih beneran omon-omon doang," tulis akun @ainunnajib.

"QRIS ini salah satu government win di Indonesia. Kalau sampai manut Amerika soal ini, nggak tau lagi deh. Agenda titipan Visa/Master mungkin...," ujar @NOTASLIMBOY.

"QRIS dan GPN harus nonnegotiable. Transaksi domestik seharusnya tidak perlu melibatkan payment asing. Transaksinya di Indonesia, rekeningnya Indonesia, usernya orang Indonesia, uangnya rupiah, gak perlu bayar persenan ke luar negeri," ucap @habibienomics.

Warganet lain banyak yang menyebut QRIS sebagai simbol kedaulatan digital bangsa yang tak bisa ditawar-tawar.

Sejak diluncurkan BI tahun 2019, Per akhir 2023, jumlah merchant pengguna QRIS mencapai lebih dari 26 juta, dari warung kaki lima hingga ritel modern. Sistem ini juga sudah mendukung transaksi lintas negara, atau cross-border, yang memungkinkan turis asing menggunakan aplikasi pembayaran dari negara asalnya.

Indonesia Punya Alasan Kuat Gunakan QRIS

Ekonom Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat menilai pemerintah Indonesia memiliki alasan kuat untuk mempertahankan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) walaupun oleh pemerintah Amerika Serikat, QRIS dinilai sebagai salah satu hambatan perdagangan.

Menurut Achmad, QRIS bukan sekadar teknologi pembayaran berbasis kode QR, tapi juga merupakan infrastruktur publik digital yang menyatukan berbagai metode pembayaran elektronik agar kompatibel secara nasional.

“Dalam konteks negara berkembang seperti Indonesia, di mana inklusi keuangan menjadi tantangan utama, QRIS telah menjadi salah satu katalis penting dalam mendorong ekonomi digital yang inklusif,” kata Achmad dalam keterangan tertulis pada Senin, (21/4/2025).

Apalagi sebelum ada QRIS, transaksi yang menggunakan jaringan internasional sering kali dikenakan biaya tinggi karena harus melalui switching luar negeri. Hal ini memberatkan konsumen serta pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).

Selain itu, kehadiran QRIS mampu menekan biaya transaksi, sehingga semakin banyak pelaku usaha informal dapat bergabung ke ekosistem keuangan digital.

Achmad menilai ada paradoks dalam pernyataan AS tentang QRIS. Sebab, di satu sisi negara itu ingin ada integrasi sistem dengan negara lain, tapi di sisi yang lain mereka enggan menyesuaikan diri dengan standar lokal.

“Alih-alih memaksa Indonesia mengadopsi standar global, perusahaan asing bisa berinovasi agar layanannya selaras dengan QRIS. Justru ketidakmampuan beradaptasi dengan kebijakan lokal yang menjadi akar masalah,” kata dia.

Sementara itu, Ekonom PT Bank Danamon Indonesia Tbk. (BDMN), Hosianna Evalita Situmorang, mendorong pemerintah agar menjelaskan manfaat QRIS maupun sistem Gerbang Pembayaran Nasional atau GPN kepada Amerika Serikat, sebagai upaya negosiasi soal tarif Trump.

Dirinya percaya, apabila pemerintah melalui dialog dan kerja sama yang konstruktif, Indonesia dapat menjelaskan manfaat dan tujuan dari implementasi QRIS dan GPN kepada mitra internasional.

“Hal ini dapat membuka peluang bagi kolaborasi yang lebih erat dalam pengembangan sistem pembayaran yang inklusif dan efisien, serta memperkuat posisi Indonesia dalam ekosistem keuangan global,” ujarnya.

Menurut Hosianna, hal ini bisa menjadi momentum bagi Indonesia untuk memperkuat sistem pembayaran digitalnya, meningkatkan transparansi, dan mendorong inovasi yang dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang terlibat.

Sebagaimana diketahui, Indonesia mendorong penggunaan QRIS baik di dalam negeri maupun di luar negeri dengan penggunaan mata uang lokal. (est)

Untuk menikmati berita peristiwa di seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.

\