Membaca Ulang Kartini
Kartini adalah sosok yang awalnya dimunculkan Belanda demi kepentingan politik etis. Orde Baru mereduksinya menjadi sosok domestik di wilayah sumur, dapur, kasur. Jarang kita dengar narasi anti-penjajahan dikaitkan dengan Kartini.

Jakarta, TheStanceID - Masyarakat Indonesia memperingati Hari Kartini tiap tanggal 21 April. Peringatan Hari Kartini ini tidak lepas dari sosok Raden Ajeng Kartini, perempuan asal Jepara, Jawa Tengah, yang dinarasikan sebagai pejuang emansipasi perempuan.
Peringatan hari Kartini di tanah air biasanya diisi dengan sejumlah kegiatan. Di sekolah, para siswa biasa menyelenggarakan berbagai perlombaan dalam rangka memperingati hari Kartini, mulai dari lomba pakaian adat, melukis, hingga baca puisi.
Sementara di instansi pemerintahan atau perkantoran, para perempuan juga ikut serta merayakannya dengan mengenakan kebaya, sebagai ciri khas perempuan Indonesia zaman dahulu.
Tak ketinggalan, sejumlah pemerintah daerah dan tenant belanja biasanya juga memberikan beragam promo dan potongan harga bertepatan dengan peringatan Hari Kartini.
Misalnya, Pemprov Daerah Khusus Jakarta (DKJ) yang memberlakukan tarif Rp1 khusus untuk perempuan yang menggunakan transportasi umum di Hari Kartini, Senin, 21 April 2025. Pengurangan tarif itu berlaku untuk kendaraan umum Transjakarta, MRT, dan LRT yang ada di wilayah ibu kota.
Lantas, siapakah Kartini ? Mengapa sosoknya begitu istimewa dibanding pahlawan-pahlawan Indonesia lainnya sampai ada perayaan menggunakan namanya di tiap tahunnya ?
Persoalan makin “rumit” karena tidak ada pahlawan nasional lain yang hari kelahirannya ditetapkan oleh negara sebagai hari khusus. Misalnya, tidak ada Hari Cut Nyak Dien atau Hari Christina Tiahahu. Bahkan, tidak ada Hari Sukarno ataupun Hari Hatta.
Kartini Bukan Pahlawan Perempuan Pertama
Penulis Zen RS pernah mempublikasikan serial esai tentang RA Kartini di kanal berita Yahoo Indonesia yang terbit berturut-turut pada 16 April 2013 – 19 April 2013 dengan judul: “Kartini Bukan Pahlawan”, “Kartini ‘Bikinan’ Belanda”, “Kartini ‘Menjadi’ Gerwani”, dan “Kartini Sebagai Kuntilanak Wangi”.
Serial esai itu hendak mendiskusikan kembali posisi Kartini dalam lanskap historiografi Indonesia. Premis dari serial esai itu memaparkan bagaimana wacana tentang Kartini direproduksi di zaman kolonial, zaman Sukarno dan zaman Orde Baru secara berbeda, dan dengan itulah Kartini hadir secara berbeda-beda di setiap zaman.
RA Kartini adalah pahlawan nasional nomor 23. Dia juga bukanlah pahlawan nasional perempuan yang pertama. Posisi Kartini dalam daftar urutan pahlawan nasional setelah nama Cut Nyak Dien dan Cut Meuthia, dua pejuang Aceh yang angkat senjata melawan pendudukan Belanda.
Pahlawan nasional nomer 1 ditempati Abdoel Moeis, seorang lelaki yang merupakan pengarang asal Sumatera.
Kartini secara resmi ditetapkan sebagai pahlawan nasional melalui Keputusan Presiden (Kepres) No. 106 Tahun 1964 pada 2 Mei 1964. Ada tiga nama yang ditetapkan sebagai pahlawan nasional melalui Kepres yang ditandatangani Presiden Sukarno itu.
Tiga nama itu secara berturut-turut adalah Cut Nyak Dien, Cut Nyak Meuthia dan Kartini.
Penetapan tiga pahlawan perempuan ini dilakukan, setelah Sukarno mendapat kritik sekaligus desakan untuk sesegera mungkin mengangkat perempuan sebagai pahlawan nasional. Ini dikarenakan daftar pahlawan nasional Indonesia sebelumnya hanya diisi laki-laki.
Salah satu pihak yang mendesak penetapan Kartini sebagai pahlawan nasional adalah Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), organisasi perempuan di bawah Partai Komunis Indonesia (PKI).
Tiga tahun sebelum Kartini ditetapkan sebagai pahlawan nasional, Gerwani bahkan sudah menerbitkan sebuah majalah perempuan yang dinamai “Api Kartini”.
Kartini, Narasi Bikinan Belanda
Sebagai narasi, Kartini memang dibuat oleh orang-orang Belanda. Bisa dikatakan orang-orang Belanda punya andil dalam membuat narasi Kartini sehingga kita bisa mengenal sosok Kartini dan pemikirannya.
Kartini sudah dikenal oleh banyak orang Belanda sebelum ajal menjemputnya pada 17 September 1904 di usia ke 25 tahun. Pembicaraan tentangnya sudah muncul sejak dia mulai menulis di beberapa surat kabar dalam bahasa Belanda.
Kemampuan Kartini berbahasa Belanda ini didapatkannya setelah menempuh pendidikan sekolah dasar di Europesche Lagere School (ELS), sebuah sekolah dasar Eropa, pada 1885.
Pada 1896-1903, Kartini mulai menuliskan pemikirannya tentang emansipasi perempuan. Latar belakangnya yang putri seorang bupati Jawa dan memiliki strata tinggi, membuatnya banyak menjelaskan mengenai tradisi feodal yang menindas, pernikahan paksa dan poligami bagi perempuan Jawa.
Namun, yang lebih sering disinggung adalah mengenai pentingnya pendidikan bagi anak perempuan. Di sisi lain, surat-surat tersebut juga mencerminkan pengalaman hidup Kartini sebagai priayi.
Tulisan-tulisan itu diterbitkan oleh majalah perempuan di Belanda. Dia juga rutin berkirim surat dengan sahabat penanya dari Belanda, Rosa Abendanon.
Surat-suratnya kemudian dikumpulkan dan diterbitkan dalam bentuk buku oleh suami Rosa, yang seorang pejabat publik di Belanda, J.H. Abendanon pada 1911. Buku itu berjudul Door Duisternis tot Lict atau dalam Bahasa Indonesia 'Habis Gelap Terbitlah Terang', dicetak sebanyak empat kali.
Buku ini kemudian mendapat respon publik Belanda hingga kemudian merembet ke Hindia-Belanda (nama Indonesia saat itu sebagai wilayah koloni Belanda). Ulasan buku itu juga banyak ditulis di surat kabar di Belanda, termasuk iklan-iklan tentang buku itu juga tersebar di banyak surat kabar.
Belanda memang berkepentingan memunculkan sosok pribadi maju dari negeri jajahan seperti Kartini demi kepentingan kampanye politik etis mereka. Sekaligus untuk membuktikan bahwa pemerintah kolonial mereka tidak kalah dengan Inggris di India dalam hal memajukan rakyat jajahan.
Apalagi, sebelumnya Belanda disorot akibat tindakan pemerasan terhadap pribumi lewat cultuurstelsel dan sistem tanam paksanya, hingga kemudian diangkat dalam sebuah novel berjudul Max Havelaar (1860) oleh penulis Belanda, Eduard Douwes Dekker alias Multatuli.
Lewat sosok Kartini, mereka seolah ingin menunjukan narasi “Lihatlah, kami orang Belanda juga bisa melahirkan pribadi pintar dan tercerahkan”.
Itulah sebabnya, dua tahun sejak penerbitan surat-surat Kartini, orang-orang Belanda yang sedang giat-giatnya mempromosikan gerakan memajukan rakyat jajahan melalui pendidikan, segera membuat Yayasan Kartini, yang salah satu proyeknya adalah mendirikan sekolah Kartini di Semarang. Dan peristiwa itu diliput secara besar-besaran oleh surat kabar bergengsi di Belanda.
Sejak itulah Kartini sebagai narasi mulai mencuat. Buku surat-surat Kartini diterbitkan terus-menerus, juga terus diperbincangkan. Yayasan Kartini di Belanda bekerja dengan bagus untuk mempopulerkan narasi tentang Kartini ini.
Narasi Kartini secara visual bahkan sudah ada sejak 1914. Pada parade perayaan 50 tahun Ratu Wilhelmina, organisasi pemuda Jong Java menampilkan episode Kartini di sebuah truk/gerobak besar dengan Sujatin Kartowijono, yang seorang aktivis perempuan yang kelak ikut menginisiasi Kongres Perempuan pertama, memerankan sosok Kartini.
Sujatin saat itu mengenakan kebaya dan sanggul, seperti potret Kartini yang kita kenal sekarang, dan itulah barangkali awal mula citra Kartini sebagai perempuan Jawa dimulai secara visual.
Sejak itu, dalam semua perayaan mengenang Kartini di tahun-tahun berikutnya, potret besar Kartini yang berkebaya dan bersanggul tak pernah absen dipajang.
Di dalam buku semibiografi Kartini berjudul Panggil Aku Kartini Saja (1962), tokoh Lekra, Pramoedya Ananta Toer, melihat bagaimana Abendanon butuh menciptakan Kartini demi ambisi politiknya.
Bahkan, Pram mengatakan bahwa Abendanon bisa masuk ke dalam kabinet Belanda besar kemungkinan gara-gara pemanfaatannya menciptakan ketokohan Kartini, seorang pribumi “cerdas” yang menginginkan dididik dan kebebasan ala Eropa.
Kartini, Tokoh Kesayangan Setiap Zaman
Dalam serial tulisannya, Zen RS menyebut bagaimana Kartini adalah “anak kesayangan semua orang” bahkan sejak era kolonial Belanda.
Parafrase “anak kesayangan semua orang” ini perlu digarisbawahi untuk menegaskan kekhususan posisi Kartini dalam historiografi Indonesia.
Mengapa? Karena setelah Indonesia merdeka, narasi ketokohan Kartini yang dibikin Belanda ini tidak dihapuskan oleh para intelektual Indonesia. Tidak banyak sosok yang dipuji dan disokong sedemikian rupa oleh pemerintah kolonial dan pemerintah Indonesia merdeka sekaligus.
Padahal, salah satu fase penting dalam perkembangan ilmu sejarah di Indonesia adalah proyek nasionalisasi historiografi. Dalam proyek ini, dekonstruksi terhadap sejarah Hindia Belanda dilakukan.
Apa yang dulu dalam sejarah kolonial dianggap sebagai pengacau dan perusuh (misalnya Diponegoro), dalam proyek nasionalisasi historiografi ini ditinjau ulang menjadi pahlawan penuh jasa.
Tetapi Kartini berbeda, Kartini tetap diperlakukan secara terhormat, walau pun semua tahu narasi Kartini ini juga dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial dalam kampanye keberhasilan politik etis mereka.
Bahkan, pada April 1946 atau belum setahun umur Indonesia merdeka, perayaan Hari Kartini sudah digelar Pemerintah Indonesia. Ketika itu, narasi tentang Kartini hampir sama dengan yang direproduksi di masa kolonial. Kartini disebut sebagai pejuang hak pendidikan perempuan dan (tentu saja) emansipasi perempuan. Nyaris tidak ada yang baru.
Kartini sebagai Pejuang Anti Feodalisme dan Anti Kolonialisme
Modifikasi terhadap narasi Kartini justru dilakukan oleh gerakan kiri di Indonesia. Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) dan Gerwis (Gerakan Wanita Sedar) yang merupakan dua organisasi yang berafiliasi dengan PKI, gigih berkampanye mengenai Kartini sebagai perempuan yang bukan hanya memperjuangkan hak perempuan di bidang pendidikan, tapi juga pejuang anti-feodalisme dan anti-kolonialisme.
Dua isu itu menjadi perhatian di masa Sukarno. Contohnya adalah pengubahan judul dan lirik lagu berjudul “Raden Ajeng Kartini….” ciptaan WR. Soepratman menjadi “Ibu kita Kartini…”. Lagu itu ditulis WR. Soepratman setelah meliput Kongres Perempuan I yang digelar di Yogyakarta pada 1928 dan terinspirasi pada Kartini.
Pengubahan judul dan lirik lagu itu tak lain dan tak bukan untuk menghilangkan elemen feodalisme dari narasi Kartini.
Pada masa puncak kejayaan Demokrasi Terpimpin, Kartini pun berhasil “keluar” dari dalam rumah, masuk ke area publik, dan menjadi orang yang dinarasikan sebagai manusia yang sangat sadar politik. Ini paralel dengan kondisi gerakan dan organisasi perempuan saat itu yang memang sangat melek politik.
Namun, setelah pembantaian para jenderal di Lubang Buaya, gerakan perempuan mengalami titik balik. Seiring dengan dihancurkannya PKI dan Gerwani, baik secara politik maupun fisik, gerakan perempuan pun digelandang paksa untuk kembali mendekam di dalam rumah. Tidak ada lagi politik, yang ada hanya urusan domestik.
Orde Baru Kerdilkan Narasi Kartini
Orde Baru ikut-ikutan mengambil-alih Kartini dan ikut memodifikasi narasi Kartini. Dalam narasi ini, Kartini “disempitkan” hanya menjadi ibu dan lebih spesifik lagi, yakni ibu yang bersanggul dan berkebaya.
Sejak itulah, menyitir istilahnya Saskia Weiringa, seorang spesialis dalam sejarah perempuan Indonesia, Kartini di masa ore baru dinarasikan tampil sebagai “kuntilanak wangi”. Kartini pun kembali ke dapur, sumur dan kasur.
Orde Baru tidak menghapus konsep “ibu” dari narasi Kartini, tapi memodifikasinya sedemikian rupa dengan cara mengirim “ibu” dan Kartini kembali ke dalam rumah, fokus mengurus kasur, dapur, sumur, dan mendampingi anak dan suami.
Jika pun harus ke luar rumah untuk beraktivitas/berorganisasi, itu harus bersama organisasi PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga) atau Dharma Wanita.
Penulis yang juga Aktivis Perempuan, Julia Suryakusuma, menyebut konsep perempuan ala Orde Baru ini sebagai “ibuisme negara”. Dalam konsep ini, perempuan diletakkan melulu dalam fungsi “reproduksi” dan “melayani”.
Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) mengkanonisasi (standardisasi) perempuan itu berdasar 5 fungsi: meneruskan keturunan, sebagai ibu yang mendidik anak-anaknya, sebagai pengurus keluarga, penambah penghasilan suami, dan anggota masyarakat.
Fungsi kelima sebagai anggota masyarakat inilah yang oleh Orde Baru distandarkan dengan keterlibatan dalam organisasi-organisasi resmi, seperti PKK dan Dharma Wanita. Dengan begitu, perempuan dan ibu dipaksa menjadi bagian operasi kekuasaan guna memobilisasi suara Golkar dalam Pemilu era Orde Baru. (est)
Untuk menikmati berita peristiwa di seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.